Sunday, July 26, 2009

Mama Mau Memaafkan bukan...?

”Mama...Jilan boleh main kerumah Nuri?” putri semata wayangnya meminta izin untuk kerumah tetangga sebelah yang punya anak tujuh tahunan sebaya dirinya.

 

”Boleh sayang, tapi sudah mesti pulang untuk shalat ashar ya... Setelah itu kita akan ke arisan...”, Lanisa mewanti-wanti anaknya.

 

”OK Maaa...mmuach...! Assalamualaikum...!” Jilan yang kesenangan segera menghambur keluar sambil membawa dua buah raket bulu tangkis mainan.

 

Tapi sampai Lanisa selesai shalat ashar dan siap berangkat, Jilan belum juga pulang ke rumah. Tampaknya ia lupa dengan janjinya. Akhirnya sambil memutuskan untuk pergi sendiri, Jilan yang masih asyik bermain bulu tangkis di rumah tetangga dipanggilnya, disuruh mandi dan shalat, lalu harus menunggu di rumah Nuri. Setelah terjadi kesepakatan, Lanisapun dengan tenang melangkah ke gang sebelah.

 

Sedang asyik-asyiknya bicara dengan para ibu sambil menikmati hidangan arisan, tiba-tiba putrinya Jilan datang menyusul bersama seorang temannya. Ia belum mandi seperti kesepakatan, penuh kotoran di baju dan basah oleh keringat. Penampilannya berantakan sekali, kontras dengan Lanisa ibunya yang rapi dan segar setelah mandi sore. Perasaan Lanisa kontan jadi kurang enak.

 

”Ma, semangka-ku manna?” ujarnya centil sambil melewati ibu-ibu yang lesehan menuju Lanisa.

 

”Sayang? Kok malah kesini? Kenapa belum mandi sepeti kesepakatan kita tadi?” suara Lanisa tertahan dan tak berdaya untuk merubah keadaan.

 

Sebenarnya aneh juga, baru kali ini Jilan menyusul segala begini. Biasanya ia bahkan tak mau diajak arisan dan lebih memilih bermain bersama teman daripada diajak ikut arisan yang baginya membosankan.

 

”Ini Naak..., silahkan diambil semangkanya...”, Bu Wit tuan rumah arisan kali ini mempersilahkan dengan ramah.

 

”Terima kasih Bu...dua boleh?”, ujar Lanisa tersenyum lebar sambil mengambil dua buah semangka lalu kembali melangkah keluar melewati ibu-ibu arisan yang keheranan.

 

Lanisa hanya mampu tersenyum sumbang dan menatap putrinya berlalu.

 

Acara arisan yang intinya silaturahmi itupun dilanjutkan. Obrolan dengan aneka tema sampai chek and  rechek aneka produk yang ditawarkan para ibu-ibu yang berbisnis rumahan sambil menunggu siapa yang terpilih untuk menjadi tuan rumah bulan depanpun berjalan lancar. Lanisa sempat usul agar ada sedikit sharing tentang keIslaman yang sempat di baca peserta untuk dibagi buat yang lain dalam setiap pertemuan. Namun belum beberapa menit berselang ketika putrinya muncul kembali.

 

”Ma semangkanya nambah ya.., ada teman lain yang belum dapat!” Jilan sudah kembali berdiri di pintu rumah Bu Wit, kali ini dengan sepasukan temannya.

 

”Aa..ggghhhh, Jilan! Kenapa balik lagi, dan kenapa teman-temannya diajak kesini?” Lanisa takjub dan bicara dengan suara yang ditahan menjadi rendah namun mata yang membulat. Ia merasa sangat tidak enak pada tuan rumah dan ibu-ibu yang lain. Hmmmmhhhh....

 

”Tak apa Bu Lanisa, ini anak-anak...  semangkanya masih banyak...! silahkan ambil saja...!” Bu Wit membagikan semangka yang telah terhidang.

 

Anak-anak yang kepanasan sehabis bemain itupun menyerbu semangka arisan ibu-ibu. Suaranya heboh bukan kepalang, berebut mendapatkan semangka paling duluan.

 

 ***

Sepanjang perjalanan pulang Lanisapun berpidatolah.

 

”Jilan, mama kan sudah mengatakan sejak siang, bahwa Jilan harus pulang saat shalat sehingga setelahnya bisa siap-siap agar kita bisa ke arisan bersama. Tapi Jilan tidak menepati janji untuk pulang pada waktunya sehingga yang bisa berangkat hanya mama. Itupun sudah kita sepakati kalau Jilan harus menunggu dengan manis di rumah Nuri setelah  mandi dan shalat sendiri di rumah. BENAR?”

 

”Benar Ma...”

 

”Lalu kenapa semuanya dilanggar dan Jilan bukannya mandi dan shalat, malah menyusul mama dengan badan dan pakaian yang sudah sangat kotor begitu. Trus kenapa juga... pakai acara bawa-bawa teman yang banyak tanpa izin siapapun dan minta semangka buat temannya! Aduh Jilan... Sudahlah  tidak menepati semua kesepakatan dengan mama, lalu ...bla bla bla...”, Lanisa berpidato semakin berapi.

 

”Jilan itu....bisa diberi pengertian nggak sih.... sebenarnya...?”

 

”Bisa Maa...”

 

”Jilan selalu saja bilang bisa..., iya..., baik..., atas apa yang mama katakan, tapi kenyataannya? Segera pula apa yang disepakati itu dilanggar lagi!”

 

”Nanti ndak lagi Ma...” Jilan menatap mamanya dengan wajah sangat menyesal.

 

Hati Lanisa melunak, terpengaruh tatapan putrinya yang bening. Namun kata-kata dari mulutnya kemudian masih saja berbau penyesalan.

 

”Tapi, tapi mama benar-benar tak habis pikir, kok bisanya... bla bla bla...”, Lanisa masih terus menyesali tindakan dan sikap putrinya. Akibatnya kepalanya mulai terasa berat. Semakin dibahas, semakin ia terbakar.

 

”Dan lagi...”

 

”Tapi Ma....”

 

”Tapi apa?"

 

”Tapi mama akan memaafkan Jilan kaaaan?” anaknya menatap Lanisa penuh harap.

 

Lanisa  terdiam. Tak menyangka pertanyaan Jilan akan seperti itu.

 

Ya Allah, aku begitu mencintainya mahkluk cantik yang Kau amanahkan padaku ini. Tentu saja aku memaafkannya.

 

Tapi bukan berarti aku tak boleh membahas hal ini kan? Lalu, walaupun akan dimaafkan, bukan berarti kesalahan yang sama boleh selalu diulang kan?

Ya Robbi, bimbing aku agar lebih sabar...

 

Kesalahanku jelas ada. Aku mungkin kurang tegas dan jelas dalam memberi instruksi dan membuat kesepakatan dengan putriku...

Mungkin karena tergesa aku telah berkata terlalu cepat sehingga tak mudah ditangkap olehnya. Bukankah bicara pada anak haruslah jelas dan dengan tempo yang sesuai?  Ah, begitu banyak kemungkinan.

 

Lanisa menatap lurus pada belahan hati yang tengah berharap maaf darinya. Betapa ia teramat menyayangi gadis itu. Wajah mungil itu begitu ingin berdamai. Lanisa tak berniat menyakitinya dengan kata, tapi beberapa saat yang lalu ia sempat begitu gusar dibuatnya. Dihembuskannya nafas panjang.

 

”Jilan..., mama tentu saja memaafkanmu sayang...  Maafin mama juga ya, kurang sabar dan tenang bicaranya...?”

 

Dan, pelukan sang permata yang melingkari pinggangnya setelah itu, begitu nyaman dirasakan Lanisa.

 

 

Monday, July 20, 2009

Mengintip Gedung Kementrian Putra Jaya




Dalam sebuah lawatan kerja ke Malaysia beberapa bulan berselang, bersama pimpinan dan rekan sekantor mendapat kesempatan berkunjung ke kompleks dan gedung Kementrian Malaysia. Menyenangkan bisa "mengintip" kantor Perdana Menteri, mengamati dan mengagumi bangunan yang khas, melihat bagian-bagian kantor bahkan view dari bagian teratas, dekat kubahnya gedung kementrian.