Tuesday, January 6, 2009

Sebuah sms dari guru terbaik

”Hm, semua tampak terkendali,” pikirku lega. Beberapa asisten praktikumku tampak menyebar ke kelompok-kelompok kecil praktikan yang sedang mengamati lebih jauh morfologi dan anatomi hewan dengan memakai sampel katak.  Mereka sibuk melayani pertanyaan antusias para mahasiswa angkatan pertama yang diwajibkan mengikuti praktikum Biologi Umum. Aku baru saja duduk ketika kudengar ada sms yang masuk.

"Hen, satu jam lagi saya sampai di Kanazawa", begitu pesan yang terbaca.

Hmm, dari pak Intan. Beliau adalah adalah seorang dosen di Laboratorium Entomologi, ketika aku mengambil program S2 di Jurusan Biologi ITB. Dosen istimewa yang selalu ada untuk mahasiswanya, khususnya member laboratorium kami ketika itu.

"Hah? Satu jam lagi? Berarti si bapak mengirim sms dari kereta api?

Langsung terbayangkan olehku perjalanan Pak Intan dengan kereta selama 3 jam-an antara Tokyo dan Kanazawa, ke sebuah provinsi bagian tengah-sebelah utara pulau Honsyu Jepang. Kanazawa, kota provinsi yang penuh kenangan bagiku, setelah melewati 7 tahun yang tak terlupakan disana.

" Kanazawa? Waah, asyik dong pak...! Tapi, kenapa Bapak ke Kanazawa ketika henny sudah di Padang sih? Tapi nggak papa, have a nice trip yach. Jangan lupa salam kangen buat Nakamura sensei dan semua warga lab Ekologi, terutama teman-teman yang dari Indonesianya ya...,  Pak Dahelmi, Indah, Ida, Rama dan Yanto yang baru datang ...", balasku penuh semangat.

Memang kebiasaanku kalau balas sms sejenis ini, mirip membalas email, segala ditulis he he. Kupencet bagian send. Dua detik menunggu, tertulis bahwa pesan telah terkirim. Kena charge berapa ya? palingan 1000 rupiah…. Klu dipikir-pikir lagi, enak benar dunia sekarang ini. Berkomunikasi antar negara cuma kena seribuan, bahkan ada program di intertnet yang membuat kita bisa ngobrol gratis, bisa saling melihat pakai kamera .hhmm Subhanallah….Alhamdulillah…

Aku kembali teringat Pak Intan yang baik. Sekian tahun telah berlalu, tapi beliau sama sekali tak berubah. Beliau tetaplah pribadi yang hangat seperti adanya beliau sejak pertama aku bertemu di gedung lama Jurusan Biologi ITB. Wajah yang tak lepas dari senyum pada siapapun yang dijumpai, dilengkapi dengan sapa berisi tanya tentang kabar dan progres yang terjalani. Menurutku, Bapakku yang satu ini memang spesial. Bersikap positif adalah stylenya, waktunya tak terbatas bagi kolega atau mahasiwa. Jika sedang sibuk, kita boleh membuat janji. Langsung menemui, atau lewat email dan sms. Perhatian sekali, dan aku banyak belajar dari proses interaksi dengan beliau.

Dulu, ketika aku di Jepang untuk mengambil S3 atas rekomendasi laboratoriumku di ITB, tiba-tiba aku dan Rully yang juga berasal dari lab yang sama di ITB, mendapat kejutan manis berupa  kiriman kartu pos dari Pak Intan.

”Hallo Henny dan Rully, how have you been? Saya sedang di Belanda nih, ada...”, pesan singkat tertulis disitu.

Kartunya berwarna krem sederhana, tapi menerimanya terasa manis sekali, karena dikirim oleh seorang  dosen kami yang baik dan rendah hati. Yang jika pergi kemana-mana, masih ingat pada kami, bagian kecil dari mahasiswanya yang tak terhitung jumlahnya hingga kini.

Suatu hari, ada email dari beliau untukku. Isinya pesan singkat.

" Henny, saya sedang di Tokyo, Hotel A, kamar B, besok sudah ke Chiba, telponnya ....", tulis beliau.

Maka dengan penuh semangat aku dan keluarga akan menghubungi, menanyakan kabar dan bercerita kesana kemari. Sebuah silaturahmi yang indah layaknya keluarga pun mengalir diantara kami.

 

”Ting ting!”

Kubuka sms, balasan dari Pak Intan.

"OK Hen, sekarang saya ke lab Fisika dulu, ke senseinya Acep, setelah itu baru ke Ekologi, ketemu Prof Nakamura-mu, besok saya sudah harus ke ...... Salamnya disampaikan, salam jg tuk keluarganya...".

Begitulah Pak Intan, dosen yang saat ini adalah Dekan Sekolah Tinggi Ilmu Hayati ITB. Orang sibuk yang dipercaya sebagai Reviwer oleh Dirjen Pendidikan Tinggi, ikut menangani bagian IT di kampus, mengelola perusahaan yang berhubungan dengan pertanian, dan seringnya bolak balik keluar negeri, baik karena tugas, bisnis dan prestasi.

Ketika jam praktikum habis dan aku kembali ke Jurusan, aku bicara pada Pak Dahelmi, dosenku yang tengah menempuh S3 di Kanazawa University. Kebetulan Yahoo Messengernya sedang bersatus available.

”Pak, Pak Intan sudah sampai di situ belum? Tadi beliau sms dari kereta?”

”Sudah tadi, sekarang lagi ke Fisika, nanti malam kita ke Tenggo (nama restoran), diundang sensei bersama mahasiwa yang dari Indonesia juga. Oh ya, kok Pak Intan tau henny habis dari India?

”He he, biasalah Pak, Pak Intan kan senang kalau bekas mahasiswanya maju...”, balasku.

”Nih ada foto kita tadi sama pak Intan, accept ya”

”OK, arigatou

Beberapa detik kemudian aku sudah bisa mensave file foto yang dimaksud di komputerku. Ketika kubuka filenya, Pak Dahelmi, Indah, Rama dan Ida tengah berdiri, berpose bersama Pak Intan yang duduk pada sebuah kursi dibagian tengah. Semua memakai pakaian musim dingin, mengingatkannku pada suasana akhir tahun di Kanazawa yang terkenal dengan saljunya yang lebat. Mereka semua tersenyum. Dan ketika kuperhatikan Pak Intan, beliau tak berubah dari 10 tahun yang lalu ketika pertama kali aku meminta tanda tangan untuk Kartu Rencana Studiku di ITB, tampak muda diusianya yang hampir setengah abad. Dan sudut tempat berfotonya...., hah.....? Itukan jendela tempat aku menghabiskan waktu paling banyak ketika di laboratorium itu? Didekat komputer umum yang aku dominasi pemakaiannya untuk mengolah data disertasiku.  Dan, dibelakangnya? Itu...kan...? jembatan yang harus kulewati kalau ke kafeteria? Dan kursi yang diduduki pak Intan, aku yakin, itu dulu kursi yang diduduki Tokunaga san, kolega se laboratorium yang hobi mengoleksi model hp terbaru. Yang kabarnya sekarang sudah berhasil jadi guru, setelah 3 kali ujian nasional, hm...

Aku jadi bernostalgia kembali tentang suka dukaku menuntut ilmu dan menjalani kehidupan berkeluarga di negeri Sakura.

”Arigatou gozaimasu Pak Intan..., semoga Allah selalu memberkati Bapak..."

Padang, 7 Januari 2008

Dengan sepenuh rasa terima kasih dari seorang murid

Monday, January 5, 2009

Dosen Dengan Senyum Paling Menawan

"Selamat ya kak!", suara ceria Ai, mahasiswi jurusan Farmasi yang aktif di ESQ Sumbar  itu menghentikan lamunanku di suatu subuh yang dingin pada bulan Februari 2008. Saat itu kami sedang antri untuk memakai kamar mandi di rumah gadang tempat kami menginap di Minang Village Padang Panjang. Wajah kami masih dibalut kantuk, setelah tadi malam mengadakan acara Pelepasan Dosen Purnabakti, dan kuliah lapangan umum Jurusan Biologi UNAND di panggung terbuka, Medan Nan Bapaneh. Sehabis menyelesaikan tugas sebagai MC, aku memang langsung membawa putriku Jilannisa yang telah tertidur di pangkuan Pak Johanes Allen ke rumah gadang tempat penginapan dosen dan alumni, lalu merebahkannya di atas dipan berkelambu tradisional yang terdapat di salah satu kamarnya. Ternyata aku telah ikut pulas tertidur hingga subuh, sehingga tak sempat mengikuti berbagai acara keakraban dan hiburan dari mahasiswa-alumni setelahnya.

"Selamat kenapa Ai..? Kamu datang sama siapa? Kok bisa nyasar kesini?", kataku terheran-heran dengan kehadiran anak Farmasi di acara Jurusan Biologi, walaupun dua jurusan ini memang terbiasa bergabung untuk urusan kuliah lapangan pada mata kuliah tertentu, seperti morfologi atau taksonomi tumbuhan.

"Sama Pak Dayar dan lain-lain kak...", terangnya menyebutkan nama profesor senior UNAND, pakar farmasi yang memang sangat akrab dengan semua orang, apalagi beberapa dosen biologi yang memasuki masa pensiun sekarang ini adalah sahabat dekat beliau.

"O...., pantes...,  trus, kakak diselamatin kenapa tadi?"

"Kakak kan terpilih sebagai nominator dosen berpakaian termodis dan terpilih sebagai dosen dengan senyuman paling menawan di jurusan biologi...", Ai menggodaku dengan tersenyum penuh arti.

" Hah?, kenapa? kok bisa? eh?...tapi....makasih infonya ya....., kakak duluan ya....!" kataku tak sempat berpikir lagi karena harus segera masuk ke dalam kamar mandi untuk berwuduk. Antrian dibelakang kami masih panjang....

Siangnya, para mahasiswa yang kutemui saat akan mengambil sampel di lapangan juga memberiku ucapan selamat.

"Selamat ya Bu, Ibu mendapat hadiah bunga...", begitu kata mereka, walaupun sampai hari ini bunga itu tak pernah sampai ketanganku.

Anehnya pernyataan Ai di Minang Village masih terlintas dibenakku. Kalau aku jadi nominator dosen berpakaian termodis dan hanya terpilih sebagai termodis kedua karena dosen berpakaian termodis satu adalah Bu Zozy yang terbiasa tampil rapi dan maskulin dengan stelan baju kerja dan celana panjang yang apik, masih masuk akal bagiku. Aku malah bersyukur walau hanya menjadi nominator, karena penampilanku khasku dengan gamis dan jilbab panjang termasuk dikategorikan modis oleh para mahasiswaku. Artinya, usahaku untuk berpakaian Islami seperti yang dianjurkan telah pula menjadi pilihan sebagian dari mereka.

"Alhamdulillah, ini pertanda baik, semoga suatu hari nanti, berpakaian Islami menjadi pilihan utama para mahasiswiku....", bathinku.

Yang menjadi ganjalan dihati adalah bahwa aku terpilih sebagai "dosen dengan senyum paling menawan?". Aku menjadi bertanya-tanya, kenapa bisa para mahasiswa dari berbagai angkatan telah memberiku predikat demikian? Walaupun ini hasil angket khusus untuk acara tersebut saja, hasilnya membuatku tak habis pikir dan cendrung merasa cemas. Apakah aku telah tanpa sengaja menyebar senyum menawan kepada mahasiswaku sehingga...terlihat.... me-na-wan dimata mereka? Kalau demikian.... Astagfirullah... betapa aku takut akan murkamu ya Allah... Tiada maksudku seperti itu... Segala kebimbangan dengan konsekwensi dari profesiku sebagai dosen wanita bermunculan di kepalaku. Berbagai pro dan kontra pendapat tentang wanita bekerja menurut pandangan Islam dan segala resikonya kembali berputar dalam pikiranku.

Sampai beberapa hari kemudian,  Arfellina, asistenku di Paraktikum Taksonomi Hewan Invertebrata memberikan penjelasan atas pertanyaanku.

"Ibu..., senyum yang menawan bagi kami itu, maksudnya adalah...bahwa senyum yang Ibu berikan pada kami .... begitu tulus...." jelasnya dengan tatapan dan ekspresi penuh rasa hormat dan sayang.

"Alhamdulillah..., jika demikian maksudnya..., terimakasih Felli", jawabku dengan rasa haru.

Terimakasih ya Allah, kalau ketulusanlah yang terbaca oleh para mahasiswaku. Senyum, terkadang tak kusadari telah hadir begitu saja ketika berjumpa dengan orang-orang disekitarku. Hanya kepadaMu aku berlindung dari kebinasaan...karena sikap dan perilaku-ku...

Perlahan, aku kembali teringat dengan komentar perpisahan dari salah seorang rekan satu laboratorium di Kanazawa Jepang di penghujung 2005, yang kemudian ditulisnya dalam album kumpulan pesan yang dilengkapi foto-foto rekan satu lab sebagai kenang-kenangan bagiku sebelum pulang ke Indonesia. Album istimewa yang selalu akan membuatku didera rasa haru jika membuka dan membaca komentar-komentar mereka...

"Hallo Henny san.....Aku adalah anggota baru di laboratorium Ekologi ini. Ini tahun pertamaku masuk laboratorium. Aku tak terlalu banyak berbicara dengan orang lain termasuk dengan Henny san. Tapi Henny san pasti selalu tersenyum padaku saat berjumpa, kapan dan dimana saja. Itu membuatku merasa bahagia menjadi bagian dari laboratorium ini. Henny san..., arigatou ne...".

Ah, aku jadi tersenyum mengingatnya...,dengan rasa syukur yang kental...

Padang, 5 Januari 2008