Tuesday, November 10, 2009

Tenda Cahaya




Alhamdulillah, adik-adik dan pembina FLP Sumbar kembali memberi kesempatan kepada saya untuk bergabung dalam salah satu kegiatan mereka. Kali ini dalam kegiatan "Tenda Cahaya", sebuah kegiatan yang dikoordinasikan dengan FLP Pusat untuk membantu rehabilitasi mental anak-anak sumbar pasca gempa.

Berbaur dalam aktifitas kepedulian bersama aktifis FLP, guru dan murid SDN 27 Sungai Sapih Padang adalah kesempatan istimewa. Sekolah dasar yang mengalami rusak parah pada gedungnya setelah peristiwa gempa 30 September 2009 lalu dan terpaksa mengarahkan siswa untuk belajar ditenda, teras rumah dan baru-baru ini sebagian sudah dapat pindah ke kelas dari triplek ini untuk sementara harus membiasakan diri belajar bergantian di dalam kelas yang jumlahnya masih terbatas.

Kehadiran kakak-kakak dari FLP dengan rangkaian kegiatan interaksi ceria dalam bentuk game, mendongeng, lomba gambar dan puisipun disambut hangat murid-murid.

Wednesday, November 4, 2009

Aku tak rela Ma!

Sejak mulai bisa melihat, Jilan telah mengenal mamanya sebagai wanita berjilbab. Kalau keluar rumah, ia melihat mamanya  pasti memakai jilbab. Di dalam rumah, jilbab biasanya akan dibuka, tapi kalau ada tamu laki-laki atau walau hanya ada anggota keluarga yang kata mama “bukan muhrim” seperti para om (suami Ibu Nina dan Ik adik-adik mama) di sekitar kami, maka mamapun pasti tak akan melepas jilbabnya.

 

Dengan berjalannya waktu Jilan semakin memahami makna berjilbabnya seorang muslimah. Sejak lama, ia akan segera menghambur mengambilkan jilbab mama untuk segera dipakai jika tiba-tiba ada tamu yang harus ditemui. Ia juga terbiasa menjadi orang pertama yang membukakan pintu, melihat tamunya laki-laki atau perempuan, dan meminta menunggu sebentar karena mama harus berkerudung dulu.

 

Mama punya jilbab untuk bekerja dan bepergian, juga untuk dipakai di rumah. Jilan boleh mencoba semua dan mematut-matut diri dengan jilbab mama. Mama selalu memakai jilbab-jilbabnya dengan baju yang sesuai, dan Jilannisa juga suka sekali melihatnya. Beberapa dari baju dan jilbab mama sangat disukainya, sehingga mama dengan senang hati akan memesankan baju senada khusus buatnya. Menyenangkan sekali punya beberapa baju muslim yang kembar dengan mama.

 

Akhir-akhir ini, kalau mama akan membelikan jilbab santai baginya, Jilan maunya juga dibelikan yang agak panjang. Alasannya, biar jilbabnya seperti mama. Sepertinya ucapan-ucapan dan pelurusan-pelurusan dari ustazahnya sejak di TK yang selalu mengingatkan jika jilbabnya terlalu pendek, lengan bajunya yang sudah kependekan, atau malunya jika aurat anak perempuan terlihat oleh anak laki-laki, cukup mempengaruhinya. Mama tentu saja bersyukur, karena walaupun keinginan memakai jilbab di luar jam sekolahnya yang “all day” itu masih angin-anginan, putrinya mencintai penutup kepala yang benar-benar berfungsi menutupi aurat perempuan. Lagian menurut mama, Jilan memang tampak cantik... sekali dengan jilbab warna-warninya yang modis.

 

Kemaren malam, Jilan kaget sekali melihat mama, tanpa jilbab tengah berjalan membungkuk ke balkon lantai dua rumah mereka. Mama terlihat menyiram bunga-bunga sambil berjongkok.

 

“Ma, hati-hati! Nanti kalau ada yang lihat mama bagaimana? Tiba-tiba ada tamu laki-laki  bagaimana!” serunya dengan wajah serius dan mata yang membola. Ia lalu sibuk memperhatikan sekitar dengan waspada, bolak-balik melihat pada mama dengan heran.

 

Mama agak kaget dengan teriakannya tapi segera tersenyum melihat ekspresi Jilan yang sungguh-sungguh mengkhawatirkan dirinya. Bagi mama, perilakunya menunjukkan bahwa Jilan mulai merasa tak rela aurat mamanya akan terlihat oleh orang lain. Kehangatan yang lembut mengalir di hati mama.

 

“Tidak apa-apa sayang... Disini gelap dan tertutup pagar kebawah, jadi mama yakin tidak akan ada yang melihat. Tapi terimakasih ya, sudah menjaga mama..mmuach..”, ujar mama ambil menciumnya dan berlalu ke dalam.

 

Jilan tersenyum. Ciuman mama selalu nyaman terasa.

 

 

Monday, November 2, 2009

Musibah Setelah Musibah

Buya H. Gusrizal Gazahar, Lc. MAg.,  Ketua Bidang Fatwa MUI Sumbar menuturkan bahwa  pada masa rehabilitasi pasca Gempa 30 September 2009 seperti sekarang ini, masyarakat memerlukan perhatian dan bimbingan lebih dari para dai dan ulama serta saudara seiman agar dapat menyikapi musibah secara benar dan tetap kuat mempertahankan akidah.

Menurut beliau, tanda-tanda adanya upaya pembelokan akidah mulai terasa di beberapa titik Kabupaten Padang Pariaman yang sedang berduka dan dengan terseok tengah berupaya bangkit dari keterpurukan. Masyarakat yang sangat membutuhkan bantuan banyak pihak untuk bertahan

dan bangkit dari derita amatlah rentan dipengaruhi. Menurut Buya, Rasulullah Muhammad saw sangat mengkhawatirkan hal seperti ini ketika musibah terjadi dimasa beliau, sehingga Rasul sangat konsen memperingatkan agar jangan sampai terjadi musibah yang lebih besar setelah sebuah musibah terjadi. Musibah besar yang dimaksud adalah: tergoyahkannya akidah ummat.

Untuk itu MUI Sumbar menghimbau agar masyarakat selektif menerima bantuan dan tidak menerima tawaran bantuan asing maupun lokal yang diboncengi niat-niat terselubung. Ummat Islam sendiri juga dihimbau untuk menunaikan zakat, wakaf infak dan memupuk solidaritas sehingga dapat lebih leluasa untuk membantu saudara seiman yang tengah mengalami cobaan. MUI bersama ormas Islam di Sumbar tengah menggiatkan proses rehabilitasi korban gempa dengan kegiatan pendampingan di lapangan dalam segala aktifitas keseharian, disamping senantiasa mengadakan majlis-majlis ilmu untuk memperteguh keimanan ummat.

Agar masyarakat korban gempa tidak merasa pesimis dan kebingungan dalam menyikapi bencana, MUI Sumbar juga berupaya mensosialisasikan kepada masyarakat tentang cara mukmin bersikap pasca bencana. Sejenis buku-buku saku yang bertemakan: “Bencana, Fitnah atau Azab” dan “Menyikapi Bencana dengan Islam” disebarkan sebagai salah satu upaya untuk membuat masyarakat lebih tenang dalam menyikapi musibah.

Diibaratkan seperti dua mata pisau,  jangan menganggapnya musibah ini sebagai Azab Allah, karena selama masih ada takbir dan orang-orang yang berzikir, semua ini bukanlah azab. Tapi jangan pula menganggap musibah gempa Sumbar sebagai suatu kejadian yang ringan saja sehingga tidak membuat ummat berupaya untuk meningkatkan taraf keimanan.

Menyadari bahwa keimanan seseorang tidak dapat dibentuk secara instant, beberapa hal penting dalam berdakwah perlu mendapat perhatian penggiatnya, antara lain dengan memperhatikan secara serius mengenai materi yang disampaikan, metoda, kesiapan pelaku dakwah dan menggunakan fasilitas penyampaian dakwah yang sesuai bagi ummat.


*Disarikan dari acara Nuansa Iman edisi 30 Oktober 2009 di TVRI Sumbar dengan tema: Musibah dan Perubahan Akidah

Foto kanan: Buya masih berdiskusi dengan kru sehabis acara

Foto kiri: Buya memperlihatkan salah satu brosur yang ditemukan disebarkan dilokasi korban gempa pariaman

 

Sunday, November 1, 2009

Nuansa Iman: Membuat Musibah Terasa Ringan

Bila berpedoman pada firman Allah QS Al Hadid, 57:22:

 

Tiada satu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah,

 

maka umat Islam tentulah dapat menyadari bahwa suatu musibah sudah ada dalam rencana Allah. Sehingga, seyogyanyalah seorang muslim dapat menghadapi semuanya dengan lebih tenang dan sabar agar tidak terbawa dalam kepanikan dan keterpurukan yang tak berujung. Dengan berzikir, menyebut asma Allah dan menyadari bahwa kita senantiasa dalam pengawasanNya, ketenangan InsyaAllah didapatkan .

 

QS Ar-Ra'd 13: 28:

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tentram.

 

Gempa tanggal 30 September 2009 dengan kekuatan yang mampu meluluhlantakkan Sumbar terutama di Padang dan Kabupaten Pariaman sedapat mungkin menyebabkan kaum muslimin dapat mengambil pembelajaran:

 

Dengan musibah ini, kita belajar untuk mempersiapkan diri dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.

 

Dengan musibah ini, selayaknya kita melihat tujuan mulia dari Allah, agar musibah membuat kita bermuhasabah, mengevaluasi diri dan berusaha menjadi lebih baik dari sebelumnya.

 

Dengan musibah ini, kita dibawa dan diarahkan untuk menjadi manusia yang saling peduli satu sama lain.

 

 

Agar bisa menjadikan musibah ini terasa lebih ringan, ada beberapa hal yang dapat kita teladani dari Rasullullah ketika beliau dihadapkan dengan musibah. Antara lain adalah:

 

  1. Membandingkan musibah yang kita alami dengan musibah yang pernah terjadi pada zaman para nabi terdahulu, agar kita bisa melihat bahwa musibah yang sedang kita alami masih jauh lebih ringan. Misalnya ketika kita kehilangan orang-orang yang dicintai, berkacalah bagaimana Rasul juga di mengalami beberapa kali hal demikian, terutama ketika meninggalnya paman dan istri yang sangat beliau cintai dan sedang sangat dibutuhkan. Merasa sedih dan kehilangan adalah sangat manusiawi, namun pada gilirannya kita harus dapat bangkit dan menghadapi kenyataan.

  1. Menyadari bahwa selama kita masih hidup di dunia, kemungkinan akan datangnya musibah akan selalu ada, dalam bentuk yang berbeda-beda pula.

  1. Menyadari bahwa semakin tinggi tingkat keimanan seseorang, ujian yang akan dialami semakin berat pula

QS. Al-Ankabut, 29: 2-3:

 

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan; “Kami telah beriman”, sedangkan mereka tidak diuji lagi?

Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan seungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.

 

 

Disarikan dari acara interaktif mingguan Nuansa Iman TVRI Sumbar, 23 Oktober 2009, 17.00-18.00 WIB, Narasumber: Ustad Suhefri, MAg- Fakultas Adab (Budaya Islam) IAIN Imam Bonjol Padang. Tema: Jadikan Musibah Pemicu Kualitas Iman