Thursday, May 28, 2009

Menguji Wali Kelas

Ini hari yang istimewa bagiku karena ditugaskan sebagai penguji bagi wali kelasku ketika SMA dalam sebuah forum ilmiah.  Alhamdulillah Ibu Yulnetti, guru wali kelasku di SMA 1 Payakumbuh (1989-1991) berhasil menyelesaikan sidang akhir beliau dalam mempertahankan tesis untuk meraih gelar Master Sains di Program Studi Pasca Sarjana Biologi UNAND siang tadi. Meskipun statusku sebagai penguji kali ini, posisi itu tak sedikitpun mengurangi rasa hormat dan sayangku pada Bu Neti. Aku tetap mengagumi beliau sebagaimana seorang murid mengagumi dan menghormati gurunya. Apalagi, diusia yang tidak muda lagi, disaat anak-anak beliau telah remaja, dengan penuh semangat beliau masih mau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Berkendara 2-3 jam antara Payakumbuh-Padang tak menyurutkan niat baiknya.

 

Bu Neti memang mengagumkan. Rasa percaya diri beliau yang tinggi  tampak jelas sekali. Tegar dan selalu penuh senyum. Meskipun beberapa pertanyaan penguji tak terjawab tuntas, beliau tidak serta merta menyerah. Bahkan, ketika pimpinan sidang mencoba “menggoda” beliau beberapa saat sebelum hasil sidang diumumkan dengan mempermainkan kata seolah-olah beliau harus “mengulang lagi mendaftar…”, Ibu Neti masih menjawab dengan senyum bahwa beliaupun telah siap dengan hasil seperti itu. Siap juga mencari dana lagi untuk perpanjangan studi jika diperlukan (selain mengajar sebagai guru SMA, beliau juga berwiraswasta, berjualan di pasar dengan mobil). Tak mempan digoda, ketua sidang terpaksa menerangkan bahwa Ibu Neti “diminta mengulang lagi mendaftar… untuk ikut upacara wisuda!” he he he.

 

Semua terharu ketika Ibu Neti memberikan kesan dan ucapan terima kasih beliau pada pembimbing dan penguji. Pada pernyataan terakhir, beliau berterima kasih pula atas support dariku sambil berlinangan air mata haru. Padahal sejujurnya, partisipasiku dalam pendidikan S2 beliau di labku nyaris tak ada, tertutupi oleh kesibukanku sendiri. Paling-paling jika sempat berbincang saat berjumpa dalam waktu-waktu yang sempit, materinya lebih kepada keluarga dan nostalgia. Walaupun begitu, dari percakapan kami yang jarang sekali itu aku semakin tahu bahwa Ibu Neti adalah sosok bunda jelita yang selalu membimbing dan mengajar muridnya dengan lembut namun tetap tegas dan disiplin. Beliau termasuk guru yang menentang “sikap galak” dalam membina murid. Ini saaangat…. cocok sekali denganku.

 

Aku memang tak melihat perlunya bersikap keras dan berlebihan agar mahasiswa atau murid menyegani dan patuh pada kita, seperti pendapat yang dipaksakan orang-orang tertentu padaku. Sebagaimana sikap lembut Bu Neti padaku di SMA 1 dulu, sebagaimana sikap pak Intan dan Pak Soelaksono yang begitu memberi kepercayaan dan harapan besar padaku saat di ITB, sebagaimana Pak Dahelmi pembimbing skripsiku  yang sangat yakin dan bangga pada kemampuan akademis dan prestasiku sejak aku masih S1, seperti itu pulalah aku memandang para mahasiswaku. Alih-alih bersikap galak dan seram, bagiku mahasiswa adalah sosok istimewa dan unik, yang perlu diajak bersahabat dan diberi kepercayaan bahwa mereka semua berpotensi dan punya harapan kedepan.

 

Berbekal sikap positif yang pernah aku terima dari para guru tercintaku selama ini termasuk Bu Neti, aku yakin sekali akan perlunya selalu bersikap positif terhadap orang lain. Sekali lagi kuingin mengucapkan selamat atas kelulusannya Bunda… Aku selalu bangga menjadi muridmu.

 

Padang, 28 Mei 2009

Saturday, May 23, 2009

Dijadikan tokoh fiksinya Fauzul Izmi (2)

     DOSEN MULTITALENTA (II)

       oleh: Fauzul Izmi

      

Ketika launching buku GANS (Getar Asa Negri Sakura) sekalian membedahnya beberapa bulan yang lalu di gedung Bagindo Aziz Chan Padang beliau jadi pembicaranya. Aku pun berusaha membantu mengangkatkan acara tersebut walaupun tidak maksimal.

 

Beliau terharu saat mengisahkan kehidupan sehari-hari mahasiswa muslim dan muslimah yang kuliah di Jepang. Beliau berusaha menggambarkan situasi orang muslim melaksanakan puasa, berjilbab, shalat ditengah ketidakpedulian orang Jepang terhadap agama. Sesaat kemudian beliau sesenggukan. Tak kuasa menahan tangis. Butiran bening itupun luruh menandakan betapa menggetarkan sekali kisah yang beliau alami. Setelah menghapusnya dengan sebuah sapu tangan, beliau kembali bercerita. Sementara hadirin semakin khusyuk mendengarkan. Sampai-sampai ada diantara mereka yang tak kuasa menahan tangis.

*  *  *

            Aku menemui beliau menjelang pergi Silnas FLP ke Jakarta. Ada harapan agar beliau membantu memasukkan proposal kami ke instansi yang ada. Maklum beliau lebih banyak punya link dengan perusahaan atau pihak-pihak terkait. Di daerah kami sungguh sulit sekali mendapatkan dana untuk kegiatan organisasi. Hanya beberapa instansi yang mau membantu dan itupun ada juga birokrasinya yang berbelit-belit dan memakan waktu yang lama sampai dana turun. Kalaupun ada itupun tidak membantu banyak. Kami harus merogoh kocek dalam-dalam dari kantong sendiri. Kesabaran sebagai penulis benar-benar ditempa.

            Handphoneku bergetar. Sebuah sms masuk. Dari Buk Henny rupanya. Segera kubuka.

            “Assw. Kapan jadinya pergi silnas FLP di Jakarta? Ibuk mau membantu tapi tidak banyak. Mungkin hanya bisa untuk jajan di jalan. Silahkan datang besok ke gedung Rektorat. Ibuk tunggu! Wass

            Membaca sms tersebut perasaanku tidak enak. Aku tidak ingin menyusahkan siapa-siapa. Tapi menolak pemberian itu juga bukan hal yang tepat. Pasti buk Henny akan kecewa, ujarku dalam hati. Setelah dipikir-pikir lagi karena dana yang juga kebetulan minim maka akupun memenuhi tawaran itu meski dengan hati yang gugup.

            Esoknya aku langsung berangkat ke kampus dan menemuinya. Setelah berbincang-bincang beberapa menit, ia menyerahkan sebuah amplop.

            “Ini sedikit dari Ibuk, jangan ditolak! Titip salam ya untuk teh Pipiet, mbak Helvy, Asma, FLP Jepang dan teman-teman FLP lainnya disana. Semoga acaranya sukses”, tambah beliau kemudian.

            Sekali lagi aku terharu dibuatnya. Meskipun isi amplop itu tidak banyak tapi bagiku sebagai mahasiswa sudah sangat membantu selama perjalananku ke Jakarta. Baru kali ini seorang dosen memberikanku uang secara percuma. Baru kali ini aku melihat potret perjuangan seorang wanita lebih dekat. Tak kenal menyerah sebelum menggapai apa yang dicita-citakannya. Itulah Buk Henny. Dosen serba bisa yang telah menginspirasiku untuk terus menempa diri.

                                                                                    

                                                                                                        21 Agustus 2008

                                                                                                        Pasar Baru, Padang

           

            

Fauzul Izmi kelahiran Bukittinggi, 23 November 1984. Saat ini menjabat sebagai Sekretaris Forum Lingkar Pena Sumatera Barat. Karya-karyanya sudah terbit di harian lokal Sumbar, majalah Islam SABILI, dan media kampus. Puisinya berjudul: Tadarus Hujan tergabung dalam Antologi Cerpen dan Puisi FLP Sumbar 2008. Selain itu pernah beberapa kali memenangkan lomba menulis tingkat daerah di kota Padang. Masih tercatat sebagai mahasiswa tingkat akhir di Fakultas Ekonomi Universitas Andalas Padang. 

                                                             

                                                           (tamat)

Dijadikan tokoh fiksinya Fauzul Izmi (1)

Melalui email, Fauzul mengirimkan karyanya yang lolos seleksi saat diperuntukkan dalam antologi bertemakan ahkwat padaku. Dijelaskan bahwa karya ini fiksi dan jika ada kesamaan nama dan tempat memang disengaja he he.

 

Aku terheran-heran dengan kemampuannya mengumpulkan data, me-review kebelakang. Hal yang dilebih-lebihkan olehnya, membuatku tersenyum-senyum sendiri..

 

Terlepas dari semua itu, tulisannya memaksaku untuk lebih berinstrospeksi. Semoga Fauzul dan adik-adik FLP Sumbar terus berkibar menebar karya bermakna. Amin...

 

 

 

DOSEN MULTITALENTA (I)

                                                                                    Oleh: Fauzul Izmi

 

Panas mentari tak lagi mencucuk hingga ubun-ubun. Awan gelap menggumpal di langit. Biasanya seusai kuliah aku menyempatkan diri untuk selalu hadir dalam setiap diskusi FLP unit yang diadakan setiap hari rabu pukul 16.00 di kampus Unand, Limau Manis Padang. Kadang peserta yang hadir membludak. Kadang yang hadir tidak sampai lima orang.

 

Begitulah memang, selalu ada ujian yang datang terhadap organisasi kepenulisan ini. Meskipun begitu aku tidak ingin mengecewakan anggota FLP yang sudah bersusah payah pergi ke kampus untuk mengikuti diskusi rutin. Aku harus selalu datang karena sudah ditunjuk sebagai ketua unit kampus. Kalau aku tidak datang maka bisa dipastikan diskusi tidak akan jalan jika ikhwannya 1 orang dan akhwatnya 1 orang.

 

Segala upaya telah dilakukan untuk memberitahukan kepada mahasiswa agar mengikuti diskusi tersebut. Termasuk melalui sms, pamflet, dari mulut ke mulut, dan sebagainya. Sayang, hanya beberapa orang saja yang tetap konsisten. Yang lainnya jarang  datang dan ada pula yang mundur tanpa berita seolah-olah diskusi adalah suatu hal yang paling menakutkan bagi mahasiswa. Begitulah kebiasaan kami di kampus. Ketika yang lain pulang kuliah kami tetap mengisi waktu sampai sore dengan mendiskusikan karya-karya yang ada. Berharap dari tangan-tangan kami akan lahir karya-karya yang mencerahkan ummat.

*  *  *

            HP bututku menjerit beberapa kali. Lantunan ringtone Hai Mujahid Mudanya Izzis membangunkan tidur siangku. Sms Azwar masuk. Segera kubuka.

            “Assw. Akhi, ada dosen UNAND Padang yang dulunya bergabung dengan FLP Jepang. Namanya buk Henny. Silahkan dihubungi. Mudah-mudahan beliau mau jadi pembina kita. Salam".

            Beberapa saat kemudian kuterima nomor orang yang dimaksudkan. Segera kusimpan dalam memory card.

            “Assalamu’alaikum. Ini dengan Ibuk Henny?" tanyaku setengah gugup

            “Wa’alaikumsalam”

            “Ya saya sendiri. Ini siapa?” balasnya kemudian

             “Kami dari FLP Sumbar. Dapat nomor Ibuk dari Azwar. Beliau mengusulkan agar Ibuk menjadi pembina FLP Sumbar. Katanya Ibuk dulu tergabung dengan FLP Jepang. Bersediakah Ibuk jadi pembina kami?”

            Entah shock atau apa, terdengar suara helaan nafas dari seberang sana.

            “Salam kenal untuk rekan-rekan FLP Sumbar ya. Saya baru disini dan tidak pantas menjadi pembina. He-he. Banyak yang lebih dalam ilmunya dari saya yang hanya lulusan Eksakta dan tidak mendalami bidang sastra. Yang lain saja. Nanti saya akan silaturrahim dengan rekan-rekan FLP Sumbar”, ujarnya ramah.

            Sejak saat itu aku selalu mengajak beliau untuk mengikuti diskusi rutin FLP baik di unit kampus maupun di wilayah yang biasanya diadakan sekali dua minggu di taman budaya Sumatera Barat

            Gayungpun bersambut. Beliaupun berjanji akan datang dalam diskusi sekalian ingin berkenalan dengan keluarga besar FLP Sumbar. Dalam ta’aruf singkat bertempat di sebuah mushola di Taman Budaya Sumatera Barat aku mulai mengenal sosok itu. Henny Herwina Hanif. Itu nama lengkapnya. Lahir di kota Payakumbuh 35 tahun yang lalu. Kuliah di jurusan biologi Unand Padang tahun 1991. Kemudian melanjutkan S2 di ITB  dan S3 di sebuah Universitas Kanazawa Jepang. Aku pikir gelar beliau baru S1 atau S2. Sudah doktor ternyata. Dan hebatnya ketika lulus dari ITB IPKnya 3,83. Subhanallah!Puluhan peserta diskusi yang hadir waktu itu terkagum-kagum. Di akhir acara tersebut beliau menyerahkan buku berjudul Getar Asa Negri Sakura persembahan FLP Jepang.

            Aku belajar banyak dari beliau yang biasa kupanggil buk Henny. Aku belajar tentang kerja keras, keuletan, kesabaran, keikhlasan, pantang menyerah dan lain sebagainya yang terlihat dari sikapnya. Menurutku ini tidak berlebih-lebihan karena aku sudah melihat dengan mata kepala sendiri. Ia adalah salah seorang akhwat yang mengabdikan hidupnya untuk orang banyak. Gigih berjuang dan terus menggali potensi yang dimiliki. Selain itu ia juga supel, dekat dengan siapapun apalagi dengan anak didiknya para mahasiswa.

            Aku juga belajar kesederhanaan dari seorang doktor yang sudah merasa puas dengan handphone bermerek Nokia 3315 itu. Takjub!Ya, aku sangat takjub padanya. Disamping seorang dosen dan Ibu rumah tangga, ia juga seorang penulis, asisten Pembantu Rektor Unand, penyiar, presenter, MC, pemain film( pernah berakting dengan Gusti Randa). Semuanya dilakoni. Itu baru profesi yang ku ketahui. Mungkin ada lagi profesi yang lainnya.

            Dengan kesibukan seperti itu beliau masih sempat untuk menulis dan menghasilkan goresan kata penuh hikmah dari setiap ujung jarinya. Beliau masih sempat menghasilkan tulisan untuk antologi kisah FLP Jepang berjudul Getar Asa Negri Sakura yang sangat mengharukan itu. Catatan cinta suami istri menyusul kemudian. Aku saja yang mengaku-ngaku sudah menulis di surat kabar harian daerah dan nasional sudah berbangga diri dengan prestasi kecil itu. Padahal masih banyak waktu yang kumiliki untuk mengasah kemampuan dan potensi diri yang ada untuk lebih baik lagi. 

                                             (bersambung)