Tuesday, April 29, 2008

Launching Buku Persembahan Cinta dan Bedah GANS di Pesta Buku dan Pendidikan Minangkabau 2008

InsyaAllah, pada hari Sabtu tanggal 3 Mei 2008, pukul 13.30 s/d 16.00 WIB, di Gedung Bagindo Aziz Chan Padang (meneruskan amanat dari  Teh Pipiet Senja dan penerbit Zikrul Hakim) akan di adakan:

Launching Buku: Persembahan Cinta (Pipiet Senja, dkk, Zikrul 2008)

dan

Bedah Buku :Getar Asa Negeri Sakura (FLP Jepang, Zikrul 2007)

dalam acara PESTA BUKU DAN PENDIDIKAN MINANGKABAU 2008.

Ditunggu kehadirannya buat yang bisa datang, mohon doa sahabat semua yang  belum bisa bergabung...

Semoga acaranya lancar dan semua yang terlibat mendapatkan hikmah dan manfaat dari kegiatan ini.

Catatan khusus:

Sangat ditunggu sekali, dukungan, masukan dan saran dari para penulis yang tulisannya tergabung dalam buku Persembahan Cinta dan Getar Asa Negeri Sakura ya....

Henny H

 

 

 

Friday, April 25, 2008

J u m p a S a k u r a

J u m p a  S a k u r a

Kuyakin hanya dalam seper-sekian detik perbedaan waktu, disaat aku
sedang membaca nomor telepon genggam seorang sahabat yang terekam di
telepon genggamku untuk kuhubungi pagi itu, tiba-tiba nada dering
pertanda adanya telepon masuk menyentakkanku. Sesaat aku terpana
karena nomor yang berpijar di layar teleponku adalah nomor yang
kelihatannya persis sama dengan yang ingin kuhubungi. Dengan
kesadaran yang belum lengkap, segera kupencet tombol
Answer.

"Mbak…. Seri....?" aku menebak dengan suara yang pastinya
terdengar ragu.

***
Angka 26 dibagian dua angka terakhir dari nomor telepon ini secara
otomatis mengingatkanku pada seorang sahabat, yang kemaren
menghubungiku dari Jakarta. Ia menyebutkan jadwal penerbangan dan
waktu kedatangannya di Bandara Internasional Minangkabau Padang, dan
aku menyesal sekali tidak bisa menjemputnya karena tengah berada di
Padang Panjang dalam rangka Kuliah Lapangan Umum dengan ratusan
mahasiswa, alumni dan dosen Jurusan Biologi UNAND. Ketika ia
meneleponku, aku sedang menggali tanah bersama beberapa orang
mahasiswa untuk memasang pitfall trap dan mengumpulkan sarasah dari
beberapa tempat yang kemudian dimasukkan kedalam kantong kain putih
untuk dibawa ke laboratorium.

Lokasi tempat kami membuat transek saat itu ternyata dihuni oleh
banyak Haemadipsa, sejenis pacet, sehingga kewaspadaan harus prima
kalau tidak ingin hewan yang termasuk ke dalam Phylum Annelida
tersebut bersemayam pada bagian tubuh yang tidak diinginkan, dan
dengan diam-diam menghisap darah kita sepuas hatinya. Aku gemas
bukan kepalang dengan mahkluk yang sekilas tampak lembut seperti
ulat kupu-kupu Papilio namun ketika sudah berhasil menancapkan
caudal suckernya di kulit kita, dengan lahap ia akan menghisap darah
kita yang merah segar. Lihai. Wajarlah hewan tak bertulang belakang
ini sering disebut dengan lintah darat. Aku bergidik memikirkan
makna dari istilah "lintah darat" dalam peradaban umat manusia.


Beberapa mahasiswa yang sudah terbiasa dengan kehadiran pacet,
dengan bangga hanya memakai sandal sebagai ganti sepatu boot untuk
lapangan. Bahkan ada yang hanya bertelanjang kaki seolah menantang
si lintah darat yang lihai ini. Aku hanya menggelengkan kepala
ketika menyadari tidak semua mahasiswa bersepatu lapangan seperti
seharusnya.

"Nggak sempat mengganti dengan sepatu Buk, kan kita diajak ke area
ini dadakan...," mereka beralasan.

Dan tentu saja, tinggal menunggu saatnya...


"Aiiiiii!, Au Au, Aaaaa….!" terdengar jeritan kaget dan jijik dari
mulut Arika, seorang mahasiswi bimbinganku.
" Wuauuaa..pacet dikakikuuuu…. !, teriakannya bernada kaget dan
jijik.

Tubuh mungilnya meloncat-loncat tak terkendali. Dengan sabar dan
senyum tipis seolah melihat hal kecil, Awal, mahasiswa yang menjadi
asistenku pada beberapa praktikum memegang pacet yang sudah gendut
kekenyangan dari sela-sela jari kaki Arika, lalu membuangnya ke
semak di jalan setapak di dalam hutan yang masih masuk kawasan Cagar
Alam Lembah Anai itu. Teman meraka yang lain tersenyum-senyum
menggoda.

"Kok yang ditempeli pacet hanya orang-orang penakut padanya ya...?"
Desman, yang berperawakan tegap dan terlihat dewasa dari umurnya
pura-pura bertanya.

Mata Desman menatap angkasa dengan dibuat-buat. Ia nampak banggga
karena para pacet tak berminat padanya, padahal ia sudah
bertelanjang kaki dengan gagah berani. Memang sejauh ini Desman
aman. Entah karena kulitnya yang nampak tebal dan kehitaman, atau
pacet tidak menyukai bau tubuhnya.

"Ternyata ada manfaatnya kan jadi perokok?" ujarnya tersenyum puas.
"Hanya ....untuk kasus ini saja, mungkin ya, untuk kasus lain, tak
ada toleransiku!"protes Rita yang hidungnya sangat sensitif terhadap
bau rokok, persis sama denganku.

Aku sendiri yang pernah punya pengalaman tersendiri dengan pacet
pada saat masih mahasiswa memang cukup khawatir dengan mahkluk yang
tiba-tiba sudah mencapai paha bagian atas, padahal celana panjangku
sudah diikat dipergelangan kaki dengan karet gelang. Sendainya aku
tak merasakan isapan pertamanya yang agak perih di paha, entah
kemana pacet itu akan melanglang buana ditubuhku. Wiiiiw...!

Diantara kehebohan pengambilan sampel dan perjuangan menghadapi
kelicikan pacet itulah Mba Seri meneleponku.

"Diperkirakan pukul 17.00 WIB Mbak Seri sudah sampai di Bandara ya?
Oooo, ada adeknya yang menjemput? Ok...," aku memperjelas informasi
yang diberikannya ketika itu.

"Kalau saya bisa mencapai Padang sekitar pukul lima saya akan ikut
ke Bandara juga, tapi kalau tidak bisa, kita janjian untuk ketemuan
disuatu tempat, dan dipastikan lewat telepon aja ya Mba...," begitu
kataku, merasa senang sekali, akan berjumpa sahabat yang selama ini
hanya dapat kujumpai melalui tulisannya di mailing list atau akhir-
akhir ini satu dua kali di multiply.

Ternyata perkiraanku meleset, karena hujan deras dan rasa kantuk
akibat kurang tidur di lapangan yang sudah sampai pada taraf
membahayakan untuk menyetir mobil sendiri, aku sempat menumpang
tidur di sebuah Mushalla di pinggir jalan barang beberapa menit,
setelah sukses melewati daerah Silaiang yang terkenal karena banyak
kelokan tajamnya. Jilannisa putriku, satu-satunya penumpang di mobil
kami, dengan segera tertidur pulas di lantai musholla beralaskan
mukena berwarna pink kesayangannya. Kami anak-beranak terkapar
beberapa saat.

Setelah menunaikan shalat Ashar baru aku bisa melanjutkan perjalanan
balik ke Padang, sementara gadisku kembali tertidur pulas ketika
mobil mulai bergerak. Karena kami juga membawa sepeda anak ke lokasi
perkemahan (dengan maksud membuatnya senang bermain menikmati MinangVillage karena diperkirakan mamanya akan konsentrasi pada acara),
jok mobil yang biasanya bisa didorong ke belakang sehingga ia bisa
merebahkan diri, menjadi tertahan. Jadilah ia tertidur dalam posisi
duduk. Aku meliriknya dengan agak prihatin lalu menghibur diri
sendiri bahwa perjalanan kami hanya sekitar satu jam lagi.

Setelah mentransfer Jilannisa pada papanya, aku melanjutkan
perjalanan ke kampus karena harus memasukkan 20 sampel ke dalam
Winkler litter shifter. Baru pukul 22.30 malam semua pekerjaan
selesai walaupun sudah dibantu dua orang mahasiswa. Sempat pula aku
dibuat cemas karena Deco, mahasiswa yang berbadan tinggi dan
tenaganya sangat diperlukan untuk menggantungkan bahan penelitian ke
langit-langit ruangan, ditelepon oleh orang tuanya pada pukul 21.00.
Ketika kutanya mengapa, ia menjelaskan bahwa biasanya ia pulang
kerumah paling lambat pukul 22.00 WIB, jika melewati batas itu,
tidak ada yang akan membukakannya pintu rumah. Akibatnya kami
bekerja dengan tempo dipercepat dan perasaan hampir tak yakin akan
bisa menyelesaikan pekerjaan sebelum pukul 22.00. Belum lagi waktu
yang dibutuhkan untuk berkendaraan pulang dari kampus kami yang
berada diatas bukit Limau Manis menuju ke rumahnya di daerah Air
Tawar yang dekat dengan pantai. Kami semua kelelahan, karena seluruh
proses di laboratorium kali ini dilakukan dengan berdiri dan tak ada
waktu untuk istirahat barang sejenak. Akupun lupa menelepon Mba Seri
kembali malam itu.
***

"Iya Mba, Henny...," terdengar suaranya lembut menyadarkanku dari
keraguan.
"Aduh…, Mba Seri…, barusan saya mau telepon. Dimana Sekarang Mba?"
"Saya ada di Matahari bareng Adek dan Bapak, siang ini langsung ke
Bandara...".
"Saya susul kesana ok, Mba Seri mau lihat-lihat pasar Padang dulu?"
" Sudah, saya tinggal ingin ketemu Mba Henny…".
Aku memikirkan bagaimana baiknya, karena dibutuhkan sekitar 30 menit
kalau saya turun gunung dari Kampus Limau Manis menuju kota.
"Mba Seri, mungkin kita bisa ketemuan di salah satu restoran?"
tawarku.
"Kami sudah makan, barusan saja...".
"Mau beli oleh-oleh mungkin? Karena butuh waktu sekitar setengah jam
dari kantor saya sekarang. ..".
"Nggak, sudah nggak mau kemana-mana lagi, saya tunggu Mba Henny
dimana?"

Aku jadi kelabakan karena sepertinya tak ada pilihan lain, juga
karena kasihan membuat Mbak Seri dan keluarga akan menunggu,
sementara berbagai alternatif aktifitas sebagai perintang waktu yang
dicoba tawarkan nampaknya tak mempan untuk Mba Seri saat ini.
"Sekarang lagi dimana persisnya Mba?" tanyaku akhirnya untuk
memastikan posisi.

"Depan Sari Anggrek, toko buku".
"O.. kalau begitu, Mbak Seri lihat-lihat buku sebentar ya..., saya
langsung naik mobil kesana, sekarang juga.....," pintaku sambil
masih merasa kurang enak membuat mereka menunggu di tempat itu.
"Keluar sebentar Mba Maya!" teriakku pada seorang pegawai Jurusan
sambil berlalu ke tempat parkir tanpa mengharapkan jawaban apapun
darinya.

Saat mengemudi, aku membayangkan alangkah baiknya kalau Mba Seri dan
keluarga bisa duduk sambil menunggu di sebuah toko kue di depan toko
buku Sri Anggrek. Akupun menelepon lagi.

"Mba, kalau Bapak dan anak-anak capek menunggu, sebaiknya...."
"Nggak kok, kita lagi makan es krim...," potong Mba Seri terdengar
santai.
"Kalau begitu baiklah.."

Kubayangkan mereka telah dapat menemukan cafe kecil disekitar toko
buku. Kutambah kecepatan. Sekitar 10 menit sebelum sampai di toko
Sari Anggrek yang terletak di jalan Permindo, aku sempat mampir
disebuah toko kue guna membeli sekedar oleh-oleh ringan. Aku baru
sadar kalau belum sempat menyiapkan apa-apa bagi Mba Seri. Sedikit
ada masalah disini, karena penjaga toko tak mau menjual kotak kue
padaku, karena yang aku beli adalah semacam keripik.

"Nggak bisa Buk, kotak ini hanya untuk roti," katanya sambil
menatapku dengan gaya tegas.

Aku menatap kotak-kotak kertas bermotif menawan yang tersusun rapi
dan menjulang tinggi di sala satu sudut ruangan. Jumlahnya
kuperkirakan cukup banyak.

"Tapi kalau boleh, saya ingin membeli kotak kertas ini, satuuu saja,
agar bisa memasukkan keripik yang hanya diplastikin ini kedalamnya
karena akan saya berikan ke teman sebagai oleh-oleh, nanti saya
bayar kotaknya..," jelasku.
"Ndak bisa Buk, kotak ini hanya untuk roti..," ia masih bertahan.
"Uni..., saya kan sama-sama beli makanan disini, sebagai pengganti
roti saya membeli keripik ini saja kali ini, karena untuk dioleh-
olehin ke teman... ," protesku tak sabar, soalnya aku merasa sedang
bertarung dengan waktu.

Penjaga toko tak bergeming. Aku tak habis pikir. Selanjutnya,
sebagai akumulasi dari kegusaran karena tak boleh membeli kotak dan
waktuku yang sangat sempit karena sedang ditunggu Mba Seri
sekeluarga, aku memutuskan bertindak sendiri. Kotak yang memang
tinggal diisi dan disusun menjulang dengan posisi terjangkau itu
kuambil sendiri dan kuisi dengan dua bungkus keripik tanpa
memperdulikan tatapan tak menentu sang penjaga toko. Aku melihat ada
wanita lain di bagian belakang toko yang dari penampilannya
kuprediksi adalah atasan si penjaga toko dan segera berseru.

"Ibuu....? Uniii.?...saya beli keripik dengan kotak ini ya?, akan
saya bayar kotaknya!" ujarku sambil memperlihatkan kotak dan sambil
setengah berteriak agar ia bisa mendengar dengan jelas. Kubawa
keripik didalam kotak tersebut ke meja kasir.
"Harga kotaknya mahal!" jawabnya sambil mulai melangkah ke meja
kasir.
"No problem, saya bayar berapapun harganya," balasku, sepintas
mungkin terkesan seperti ibu-ibu yang congkak.
" Oh, tolonglah, waktuku terbatas kawan...,"

Akhirnya dengan masih agak heran wanita atasan penjaga toko itu
memencet tuts-tuts tertentu di meja kasir dan keluarlah jumlah yang
harus kubayarkan. Dan lihatlah saudara-saudara, jumlahnya sama
sekali tidak mahal!
"Ditambah dengan kotaknya seribu lima ratus ya Buk.,." ucap sang
atasan.
"Oh…tentu saja, terimakasih....., ini uangnya,, aku tersenyum penuh
kemenangan.
"Haah ada-ada saja, syukurlah aku tak menyerah ..,." pikirku dalam
hati sambil menuju mobil dengan riang.
***

Setelah memarkir mobil di depan Toko Buku Sari Anggrek, aku mulai
mencari-cari Mba Seri. Dari kejauhan aku melihat dua orang gadis
kecil, sekitar 2 tahunan dan memakai Jilbab mungil yang seragam dan
lucu tengah bermain-main dengan seorang lelaki setengah baya,
didampingi seorang wanita berjilbab panjang berwarna ungu tua.
Mereka berdiri agak berpencar disekitar kasir. Tidak jauh dari
mereka, seorang wanita dengan jilbab coklat muda dan baju senada
menoleh kearahku.

"Mbak Seri?," aku mencoba menebak duluan.
"Mbak Henny?"

Kami bersalaman dan berpelukan penuh kelegaan. Bagiku pertemuan
dengan Mba Seri punya arti yang khusus. Kehadirannya seolah mewakili
kerinduanku untuk menjumpai sahabat terkasih yang sebagian besar
tengah berada di negeri Sakura. Sahabat-sahabat istimewa yang saling
bahu-membahu menuju kebaikan diri dan masyarakat melalui karya-karya
yang terus diupayakan sarat makna. Mereka yang
tergabung ke dalam Fahima dan FLP Jepang. Mereka yang sebelum hanya
dapat kutemui di alam maya, namun dekat dihati.
Aku membayangkan Mba Seri berbadan besar dan agak tomboy gara-gara
pernah melihat fotonya suatu hari di maillist atau entah dimana
tepatnya. Mba Seri yang sebenarnya, ternyata lembut dan keibuan he
he.

Selanjutnya aku dihadiahi omiyage dari Jepang yang kuterima
dengan sukacita dan kusimpan baik-baik ke dalam tasku. Setelah
dikenalkan dengan Ayah Mba Seri, dan adiknya Ifa, serta dua gadis
kembar lucu yang ternyata keponakannya, aku mengajak mereka ke
sebuah toko roti (lagi...) diseberang toko buku, agar bisa duduk
sejenak dan berbincang.

"Satu jam saja, ayooo...?" mba Seri meminta persetujuan ayah, adik
dan juga sopirnya.

Semua menyetujui. Berombongan kami menyeberang menuju toko bernama
Golden. Setelah memesan minuman yang hanya Teh Botol karena menurut
Mba Seri mereka sudah tak kuat memakan dan minum apa-apa lagi. Kami
ngobrol sebentar di sebuah meja makan. Mba Seri bercerita tentang
rencana umrahnya, jadwal perjalananya, adiknya sekeluarga yang
sekalian akan ikut untuk pindah ke Jawa, anak-anak yang ditinggal di
Jepang dengan suaminya untuk semantara dan FLP Jepang tentu saja.

"Wooo, Mbak seri diminta anaknya bikin kue dulu sebelum pulang?
Nggak sempat tidur? Ehm Fifi chan ya?"
"Kiki..."
"Oh Kiki chan, maaf nih, saya ingat nama Kiki dari postingan Mba
Seri ke milis berupa cerpen anak, settingnya di lampu merah kalau
tidak salah...? " ujarku bersemangat, mencoba mengembalikan ingatan
tentang tulisan Mba Seri sekitar dua tahun yang lalu.
"Benar....!" Mba Seri tersenyum cerah sekali. Akukun senang masih
ingat tulisanya itu.
"Oh Iya, mana bukunya yang ditulis bareng teh Lizsa?, sudah tidak
tahan pengen baca neeeh...," tagihku tak sabar..
"Wuaa,... lupa..., nanti saya kirim ya? saya juga baru dapat GANS,
udah baca..".
"Gimana? Bagus? Saya baca semua tulisan waktu diedit Mba Aan dan
saya baca lagi setelah jadi buku, isinya persis sama, tapi rasanya
beda kalau sudah jadi buku ya......!."
"Iya, menurut pembaca saya juga begitu. Ada yang sudah punya kedua
buku saya, termasuk GANS, dan komentarnya melegakan...!"

Aku dan Mba Seri tidak memerlukan waktu dulu untuk menjadi akrab,
otomatis sudah demikian. Sesekali Mba Seri meminta ayahnya memotret
kami, bersama sikembar atau berdua saja. Aku menyesal tak membawa
kamera.

"Nanti kuposting di multiply deh...," janji Mba Seri menghiburku.


Diperkirakan baru 45 menit kami berbincang namun si kembar tampak
mulai bosan di dalam ruangan. Aku jadi tidak tega melihat Ibu dan
kakek mereka yang kelelahan menyabarkan. Setelah aku dan Mba Seri
berpandangan, kami memutuskan untuk membungkus saja minuman dan
dibawa ke mobil. Artinya, Mba Seri sudah harus pergi. Ah...

**
Perlahan, mobil hitam yang membawa Mba Seri dan keluarganya bergerak
mundur, keluar dari area parkir. Masih kuingat tatapan Mba Seri
melalui jendela mobil yang dibiarkannya terbuka. Mata teduh yang
sedang berbicara banyak.

"Benar Mba..., pertemuan ini memang terlalu singkat...," jeritku
dalam hati.


Ada rasa sesak menerpaku ketika harus berpisah dengan sahabat yang
baru saja hadir satu jam yang lalu dihadapanku. Tapi tak apa Mbak
Seri, kita telah sepakat untuk segera kembali berjumpa bukan?
Bersama dengan sahabat yang lainnya, senantiasa berusaha merajut
kata dan mempersembahkan karya, agar
suatu ketika dapat menjadi cahaya...

InsyaAllah...

Padang, 31 Maret 2008


Pitfall trap: perangkap jebak
Caudal sucker: alat isap bagian bawah
Wingkler litter shifter: semacam alat pengoleksi serangga

Catatan:

 Tuk Mba Seri yang mo Ultah tanggal 27 ini... witLuv...

Saturday, April 19, 2008

Launching Buku Persembahan Cinta di Acara Pesta Buku & Pendidikan Minangkabau 2008

Start:     May 3, '08 1:00p
End:     May 3, '08 4:00p
Location:     Gedung Bagindo Aziz Chan, Padang
Kumpulan tulisan dari penulis yang berdomisili di Mancanegara telah dirajut indah menjadi sebuah buku berjudul "Persembahan Cinta (Jendela, Zikrul Hakim, 2008)". Jangan lewatkan acara launching buku ini, di Padang Kota Tercinta...
Ada juga Bedah Buku: Getar Asa Negeri Sakura (FLP Jepang, Zikrul Hakim, 2007) oleh FLP Sumbar...

Monday, April 14, 2008

Persembahan Cinta-ku




Alhamdulillah, salah satu tulisanku di multiply kembali terbit dalam bentuk buku. Kalau sebelumnya di buku Getar Asa Negeri Sakura (GANS) (FLP Jepang, Zikrul, 2007), kali ini lewat rajutan karya 30 penulis dari mancanegara yang oleh Pipiet Senja dipadukan dalam bentuk Persembahan Cinta (FLP, Jendela, 2008). Semoga bermanfaat bagi pembaca...
Rencananya neeh, Persembahan Cinta akan di Launcing di Padang, tunggu berita selanjutnya ya...

Monday, April 7, 2008

Menggapai Masa Depan yang Lebih Pasti dan Pengabdian Tanpa Batas

Mendekati pukul 24.00 WIB pada Sabtu Malam 29 Maret 2008, akhirnya tugasku sebagai host di acara Melepas Dosen Purnabakti Jurusan Biologi 2008 berakhir. Oies, seorang alumni yang lebih muda melanjutkan tugasku dengan acara Kesenian dan Keakraban yang tampaknya dibawakan dengan baik dan berpengalaman. Ia berhasil mengundang Rektor UNAND, Prof Musliar Kasim untuk naik kembali ke Panggung dan menyumbangkan suara emasnya. Tak ketinggalan, dengan gaya pembawa acara livebshow yang sedang ngetop di televisi, empat dari lima dosen purnabakti pun didaulat sebagai Juri, menilai penampilan olah vokal Bapak Rektor dengan gaya khas masing-masing. Sorak sorai pun membahana, meningkahi komentar setiap juri.

Aku mendekati Bapak Yohanes Allen, alumni Biologi yang saat ini menjadi dosen di Jurusann  Farmasi, untuk mengambil gadis kecilku yang ketiduran di pangkuan beliau. Anak baik, sejak awal acara ia dengan tenang ikut duduk lesehan diantara hadirin, sampai akhirnya jatuh tertidur karena hari memang sudah beranjak tengah malam. Sebuah pengertian yang besar dari seorang anak untuk mamanya yang sedang bertugas. Terimakasih cinta...

Walaupun jadwal pasti tentang penyelenggaraan perhelatan akbar Jurusan Biologi ini baru diperoleh tiga minggu terakhir dan undangan baru disebar seminggu sebelum hari H,  diluar perkiraan, peserta Kuliah Lapangan Umum (KLU) dan undangan yang hadir untuk melepas dosen purnabakti membludak. Diperkirakan sebagian besar Keluarga Besar Jurusan Biologi, berikut para undangan dari rektorat, dekanat dan Jurusan lain di FMIPA (Dekan dengan aparatnya, Rektor beserta Ibu dan para Pembantu Rektor, para pejabat dan mantan pejabat fakultas dan rektorat), karyawan administrasi, mahasiswa dari berbagai angkatan yang sejak pagi harinya melakukan kuliah lapangan dan alumni mahasiswa dari generasi tertua sampai termuda, sebagian membawa pasangan atau anak-anak bahkan bayi, semuanya tumpah ruah di Medan nan Bapaneh Minang Village, sebuah area khusus yang sangat sesuai untuk acara kebersamaan. Ada yang duduk di tribun, yang lain duduk lesehan dibawah tenda dimana tikar telah dibentangkan, dan masih banyak pula yang berdiri disamping kiri dan kanan panggung, penuh antusias. Setiap orang tanpa dikomando telah melingkarkan selendang segitiga berwarna hijau mengkilat yang bertuliskan KLU dan Melepas Dosen Purnabakti Jurusan Biologi ke leher masing-masing, menyatukan hadirin ke dalam suasana khas kegiatan lapangan.

Acara pemutaran movie file Profil Jurusan Biologi yang berjudul ”Menggapai Masa Depan yang Lebih Pasti” adalah gebrakan pertama setelah sambutan dari Panitia dan Ketua Jurusan. Lampu dimatikan. Film berdurasi 12 menit dan disutradarai oleh salah seorang alumni, Tandri Eka Putra, menggunakan teknik pengambilan gambar yang profesional dan backgroud musik yang dinamis sehingga nuansa keindahan kehidupan kampus Jurusan Biologi benar-benar muncul dihadapan hadirin. Sound systempun mendukung. Menyaksikan film ini, semua hadirin, terutama keluarga besar biologi dibuat bangga dan bersyukur, karena telah berada dan menjadi bagian sebuah komunitas yang komit terhadap ilmu, sibuk karena berbagai kegiatan kuliah, praktikum, penelitian, kemahasiswaan dan pembinaan, namun semua orang enjoy dengan segala aktifitasnya. Kuliah lapangan adalah salah satu ciri khas Jurusan Biologi UNAND, dimana pendalaman materi dan nuansa ”kebersamaan” diantara sesama mahasiswa dan antara mahasiswa dengan dosen lebih ”nyata” mengalir. Digambarkan tentang tersedianya 13 Laboratorium, Hutan Penelitian Biologi, Arboretum, ditunjang pula dengan berbagai fasilitas terkini di perpustakaan dan laboratorium komputer plus koneksi internetnya yang dapat diakses oleh setiap mahasiswa, sehingga harapan untuk menggapai masa depan yang gemilang semakin jelas di depan mata. Aplaus yang diberikan hadirin pertanda takjub dan sukacita terdengar hampir di setiap perubahan adegan. Aku melirik Abenk, panggilan akrab sang sutradara yang duduk berjongkok dipinggir pentas. Ia tersenyum penuh arti dan aku bersyukur, segala perjuangan dan ketegangan  sebelum film ini bisa selesai seolah terbayar lunas, melihat reaksi hadirin yang luarbiasa.

 Profil Biologi ini diakhiri dengan cuplikan komentar Wakil Gubernur Sumatera Barat Prof. Marlis Rahman, sebagai alumni Jurusan Biologi, tentang betapa beruntung dan berpotensinya Jurusan Biologi dan lulusannya sebagai aset bangsa, karena Ilmu Biologi dapat diaplikasikan pada berbagai bidang lainnya, seperti Pertanian, Peternakan, Kesehatan, Lingkungan bahkan Hukum, Perbankan, Social, Seni, dan lain sebagainya. Yang diperlukan dilapangan adalah kreatifitas dan kemampuan mengaplikasikannya. Lalu dengan latar lagu dari Peterpan; Semua tentang Kita , hadirin disuguhi running messages, yang cuplikannya sbb;

 

........

Jurusan Biologi lahir pada tahun 1962 sebagai salah satu Jurusan Ilmu pasti dan Ilmu Alam Universitas Andalas.

Pada tahun 1981 Jurusan Jurusan Biologi Pindah ke Ulu Gadut setelah menempati kampus Air Tawar selama 10 tahun.

Di kampus Ulu Gadut ini Jurusan Biologi mulai berbenah. Berbagai Kerjasama di Jalin dengan lembaga asing dan universitas terkemuka di dalam dan diluar negeri .

Sejak saat itu, setapak demi setapak Jurusan Biologi UNAND mulai mengukuhkan dirinya menjadi salah satu Jurusan terbaik dan diperhitungkan di negeri ini.

Setelah 40 tahun menjadi bagian dari Universitas Andalas, saat ini Jurusan Biologi telah menjelma menjadi Jurusan pavorit yang dituju oleh calon mahasiswa untuk mencapai masa depan yang lebih pasti, seperti yang telah ditunjukkan oleh ribuan alumninya.

 

Copyright Jurusan Biologi

........

 

Kembali, tak terbendung, tepuk tangan membahana di seantero Medan Nan Bapaneh...

 

 Penampilan dari vokal group Himabio yang  sempat menjadi juara I pada lomba Folk Song MIPA 2006 menambah segar suasana hati para hadirin untuk kemudian melangkah ke acara utama, yaitu Melepas Dosen Purna Bakti yang bertema, ”Bapisah Bukannyo Bacarai, Basamo Untuak Kedjayaan Bangsa”. Bagian ini kembali diisi dengan pemutaran film. Kali ini mengenai kelima dosen purnabakti yang juga merupakan tokoh dan perintis Jurusan Biologi UNAND. Pada bagian awal dari film berjudul ”Pengabdian Tanpa Batas” yang didedikasikan khusus bagi Drs. Rusjdi Tamin (Taksonomi Tumbuhan), Prof. Drs. Anas Salsabila, MSc (Taksonomi Hewan Vertebrata, Ornitologi), Drs. Hamru (Genetika), Drs. Jafnir (Fisiologi dan Anatomi Hewan), Prof . Dr. Marlis Rahman, MSc (Ekologi Tumbuhan) tersebut, hadirin diperkenalkan dengan FIPIA yang berdiri pada tahun 1962, yang merupakan cikal bakal Jurusan Biologi. Satu persatu, kelima dosen purnabakti (termasuk Prof. Marlis Rahman yang sedang menunaikan umrah dan tak berhadir pada malam ini) memberikan kesan dan kenangannya tentang proses-proses awal berdirinya Jurusan, lengkap dengan penampilan foto disana sini sebagai pendukung. Ternyata banyak informasi tentang sejarah Jurusan  Biologi yang diperoleh dengan menonton tayangan ini. Selanjutnya , masih di film ini, secara berurutan dosen purnabakti menuturkan alasan mereka memilih bidang Biologi untuk belajar, memilihnya sebagai profesi, keinginan dan harapan terhadap Jurusan Biologi, dan rencana kegiatan setelah memasuki purnabakti. Semuanya ditampilkan secara menarik dan hampir dapat dipastikan bahwa mata penonton tidak beranjak dari layar monitor. Apalagi didalam tayangan ini juga terdapat komentar mahasiswa atau dosen tentang para dosen purnabakti. Tepuk tangan pun tak henti-hentinya meningkahi sesi-sesi pemutaran movie yang berdurasi 32 menit ini. Ada banyak tawa ketika melihat cuplikan foto dengan adegan lucu atau foto para dosen disaat muda, banyak pula momen yang menimbulkan keharuan. Rasa haru tak tertahankan misalnya melihat adegan salah seorang dosen yang digambarkan sedang penutup pintu ruang kerjanya lalu dengan gerakan sangat pelan (ditambah pula dengan effect  slow motion) berjalan menuju pintu koridor Jurusan, berjalan semakin lama semakin jauh. Atau ketika pengambilan gambar dengan zoom yang tepat, sehingga kerutan di jari atau mata yang berkaca-kaca saat bertutur tertangkap jelas oleh kamera. Film yang diawali dengan sejarah Jurusan biologi yang ternyata apada awalnya dulu kantornya dibuat sendiri pada bekas area parkir motor dan ruang belajarnya sangat terbatas dan kebanyakan dibangun dengan bergotong royongnya dosen dan mahasiswa, diakhiri dengan memperlihatkan kondisi biologi saat ini yang telah menjadi Jurusan berfasilitas lengkap dan dikenal secara Nasional maupun Internasional.Secara keseluruhan, film ini membuat hadirin semakin mengenal ke lima lelaki dengan langkah-langkah luarbiasanya, yang sejak awal acara tadi dipersilahkan untuk duduk diatas kursi khusus, yang berjajar disamping kanan depan, berhadapan dengan layar monitor dimana film tengah diputar.  

            Setelah kesan dan kenangan dari Dekan dan Rektor, Dosen purnabakti berkenan menerima kenang-kenangan berupa cincin emas bertuliskan nama beliau masing-masing dan Bio-UA dari Jurusan Biologi yang penyerahannya dilakukan Rektor, Dekan, Ketua Jurusan dan Ketua Ikatan Alumni FMIPA. Suasana haru kembali menyergap, ketika penyerahan kenang-kenangan ini dilatarbelakangi oleh alunan suara serunai yang menggigit dan pembacaan puisi penuh penghayatan, kolaborasi dosen (M. Najri J) dan mahasiswa (Taufik dan Emil).

           

Cintamu adalah memberi

            Cintamu adalah inspirasi

            Cintamu menghangatkan hati

            Satu dalam kasih, menggapai Ridha Ilahi

 

Semoga segala baktimu

Ayahanda kami

Senantiasa menyebar wangi

Menghiasi catatanNya

Berkilau dihati

Anak negeri ini

Selalu

 

Bapisah Bukannyo Bacarai, Basamo untuak Kedjayaan Bangsa...

 

        Prof. Satni Eka Putra pun tak ketinggalan mempersembahkan sebuah puisi ciptaan sendiri bagi kelima rekan beliau. Puisi yang sarat kenangan dan semangat pengabdian. Setelahnya, tugasku sebagai pemandu acara ditutup dengan penampilan Lagu Minang  yang memukau......

 

 ”Hmmm.... mudah-mudahan semua orang puas dengan acara ini, terlepas dari beberapa kekurangan secara teknis yang terjadi”, aku membathin sambil menggendong gadis kecilku ke arah rumah bagonjong / rumah gadang Rajo Nan Babandiang  yang diperuntukkan sebagai penginapan bagi Dosen, karyawan dan alumni.

 

”Selamat Hen, acaranya OK punya, beda dari biasa, itu, profil jurusan, keren hlo..., film para dosen purnabakti juga!”, seru Pak Syaifullah, Sekretaris Jurusan, yang tenyata telah berada di rumah gadang tersebut bersama beberapa orang lainnya.

 

”Thanks Sir, Alhamdulillah kalau begitu, Selamat !”,  jawabku tersenyum lebar, hilang rasa lelahku karena harus menaiki tangga rumah gadang sambil menggendong gadisku yang tetap pulas.

 

Sayup-sayup, suara musik Gamaik terdengar ditelinga. Acara keakraban antara mahasiswa, alumni, dosen dan undangan tampaknya masih akan terus berlangsung, mungkin beberapa jam lagi, karena masih akan ada Indo Biologi Award 2008, yang akan mengumumkan hasil poling mahasiswa tentang dosen, mahasiswa dan asisten dalam berbagai katergori, lelang kue oleh Himabio, Sumbangan acara dari setiap leting dan alumni...

 

Padang Panjang, Dini hari, 30 Maret 2008

Henny Herwina Hanif