Monday, July 25, 2005

Wednesday, July 20, 2005

Hanya mama yang ada di hatinya





                   Rasa bersalah itu tak berhenti menghantuiku. Berawal dari “pertengkaran” tadi malam dengan Jilannisa, putriku semata wayang yang berumur tiga setengah tahun.Lebih tepatnya, kekurangsabaranku menghadapinya. Walaupun sebenarnya aku tahu bahwa ia hanya berusaha mencari perhatian lebih jika aku pulang kerumah terlalu malam, apalagi telah mendekati jam tidurnya, kali ini aku telah gagal mengendalikan diri dan terpancing. Setelahnya aku merasa terlalu lemah dan bersalah.


Sebenarnya, aku tidak membentaknya telalu keras, tidak pula sampai memukulnya, tetapi kata-kataku telah keluar dengan deras dan raut wajahku pun tentu telah mengeras, menyesali perbuatan ini dan itu yang dilakukanya. Tentu saja ia kecewa, seperti pula diriku pada saat yang bersamaan. Bahkan rasa kecewa bercampur sesal itu menjadi lebih hebat lagi sekarang. Tak ada habisnya kuberfikir dan menyesali. Kenapa aku tak bisa sabar hanya satu jam saja sebelum anakku tertidur ? Bagaimana kalau memorinya merekam terus peristiwa itu dan dimatanya aku ini adalah mama tidak perhatian padanya ? Bagaimana kalau aku terlanjur dicapnya sebagai mama yang pemarah ? Yang tidak mengerti dirinya ? Padahal aku telah terlalu banyak meninggalkannya di sekolah agar secepatnya bisa menyelesaikan sekolahku sendiri dan hanya bersama papanya dari pagi hingga malam, hampir setiap hari ? Bukankah setelah semua kenyataan ini berusaha diterimanya aku seharusnya menjadi lebih sabar, manis dan lemah lembut terhadapnya ? Kenapa aku tak mampu melakukan semua itu demi permata hatiku sendiri, hanya dimenit-menit terakhir sebelum mata indahnya terpejam direngkuh mimpi?


Kusadari bahwa setelah sekian jam berpisah, yang kami berdua ibu dan anak inginkan adalah pertemuan penuh kerinduan dan kebersamaan yang indah saja. Kenyataannya semua itu hanya terjadi pada tahap awal. Kejadian selanjutnya adalah bermunculannya aneka trik dari anakku untuk mengerjakan hal-hal yang tak kuperbolehkan lagi saat itu: menyalakan lagi televisi pada saat seharusnya ia pergi tidur, membawa beraneka mainan ke atas kasur, membaca atau minta dibacakan lagi buku cerita kesanyangannya, padahal lampu telah diredupkan. Pokoknya semua hal yang tak seharusnya lagi dilakukannya kecuali tidur, karena besoknya ia harus bangun pagi dengan jam tidur yang cukup. Yang lebih utama lagi adalah karena sebenarnya dia sudah sangat lelah dan mengantuk.


Rasa lelah dan kantuk yang juga mulai menyerangku, berbaur dengan kecemasan bahwa anakku akan semakin lelah dan tak cukup istirahat, telah membuatku kalap dengan mengeluarkan kata-kata yang mengalir deras bak air terjun. Isinya tentu saja adalah larangan, ancaman, dan ceramah singkat atas tindakan-tindakan ekstrimnya. Diakhiri dengan perintah agar dia menghentikan seketika semua aksinya yang tidak diperlukan saat itu. Dilengkapi dengan volume yang lebih tinggi dari biasa. Reaksi yang muncul, tentu saja tangisan yang pilu, hanya sesaat sebelum akhirnya ia tertidur dalam isak dipelukannku, yang membuatku semakin panik dan menyesal. Ya Ampun! kenapa anakku harus tidur setelah kumarahi dulu? Padahal, dengan segala keterbatasan waktuku, aku seharusnya tak pantas bersikap seperti ini, bukankah kami baru saja bertemu kembali satu jam yang lalu ? Kalau sudah begini, apakah cukup kata maafku baginya?


Sesungguhnyalah, aku amat sangat tak ingin ada kejadian seperti itu antara aku dan putriku. Orang lain mungkin akan menganggapku terlalu cengeng dan berlebihan dengan kecemasanku menyikapi hal ini. Tapi bagiku, anak dan keluarga adalah segalanya. Aku dan suami telah berfikir matang sebelum memutuskan memilikinya. Tuhanpun telah mengabulkan doa kami akan kehadiran seorang anak setelah kami merasa cukup siap lahir batin. Aku begitu mencintai, begitu ingin menjadi seorang ibu yang baik baginya. Kudambakan kehadiarannya dirahimku dengan persiapan akan waktu dan cinta. Kukandung ia dengan takjub, rasa sayang dan doa-doa dimalam sunyi saatku ingin berdekatan dengan sang MAHATINGGI. Kurindukan amat sangat pertemuan kami didunia barunya saat aku melahirkannya, yang entah pertemuan keberapa bagi kami karena selama ia didalam kandunganku kami telah terbiasa saling berbicara dengan bahasa sentuhan dan tepukan yang akan dibalasnya dengan tendangan berpola. Kususui ia dengan kasih dan ketakjuban akan karunia yang kuasa sehingga tubuhku dengan begitu anehnya menyesuaikan fungsi agar bisa menghidupinya. Kupeluk, kubelai, kubisikkan dengan penuh kasih; doa dan lagu pengantar tidurnya. Kucintai ia dengan segala rasa yang dianugrahkanNYA sambil senantiasa bersyukur akan cintaNYA.


Tapi sebagai anak maupun orang tua, kami punya berbagai keterbatasan, diantara tebaran kebahagiaan dan cinta yang dibawa anakku, ada saatnya ia menjadi cengeng atau memprlihatkan kenakalan yang biasanya aku sikapi dengan mencari tahu dari buku, teman dan gurunya, bagaimana menghadapi setiap proses perkembangannya dan variasi perlakunya dengan kecendrungan yang berbeda-beda, searah dengan pertambahan umurnya. Sejauh ini semua dapat berjalan dengan baik. Akupun menikmati semua proses yang ada sebagai sebuah karunia, dalam suka dan dukanya.


Tidak selamanya semua berjalan sesuai rencana. Apalagi dengan segala keterbatasanku saat ini dalam berinteraksi dengannya. Pertemuan kami yang mungkin hanya satu sampai dua jam sebelum dia jatuh tertidur, beberapa jam setelah bangun pagi, bahkan akhir-akhir ini tak sempat kubersamanya di hari libur sekalipun. Usahaku untuk secepatnya menyelesaikan program doctor di negeri sakura ini agaknya telah terlalu banyak menyita waktuku sebagai ibu.


Walaupun senantiasa dihantui perasaan bersalah karena keterbatasan waktuku untuk bersama Jilannisa, pengertian luarbiasa yang diberikan suami dan gadis kecilku ini, yang tampak bisa menerima keadaan kami untuk sementara ini, telah membuatku bertekat untuk menyelesaikan kuliah secepatnya. Tak sabar rasanya menunggu saat dimana aku akan bebas merdeka menumpahkan segala waktu dan cinta buat keluarga. Namun kendala selalu ada. Terutama disaat-saat aku lepas kendali seperti malam itu.


Tak hentinya aku menyalahkan diri. Kasihan sekali kau anakku, setelah berpisah sangat lama, ketika akhirnya dipenghujung malam kita bertemu, mama tak mampu pula bersikap sabar…, batinku sepanjang hari ini. Rasa sesalku tak kunjung hilang walaupun pada akhir pertengkaran tadi malam kami telah saling memaafkan, lalu berangkat tidur dengan saling berpelukan seperti biasa. Tidak juga karena tadi pagi kami telah kembali lebur dalam canda, pelukan dan ciuman, melihat lagi gelak tawanya yang lepas. Bahkan tak hilang juga ketika akhirnya kami harus berpisah lagi saat gadisku melambaikan tangan dengan ceria dipintu sekolahnya, sampai aku sudah harus bersiap pulang kerumah kembali malam ini. Ugh!…penyesalan yang panjang, untuk sebuah ketidaksabaran, pikirku akhirnya, menghentikan perenungan ini. Terngiang komentar suamiku tadi pagi yang sebelumnya kuharapkan akan sedikit membantu mengurangi sesalku. Tapi ternyata tidak menolong. Dia hanya memintaku untuk lebih menahan diri. Tentu saja, siapa yang tak ingin begitu!,


Menjelang pukul sembilan malam, saatnya pulang kerumah, dan memulihkan hubungan dengan gadisku. Dengan tidak sabar aku membuka jalur chating di komputerku, lalu menghubungi suamiku yang memang selalu meng-online-kan messengernya di rumah.


 “Buzz!”


“Papa, mama sudah bisa pulang, jemput pliz, mohon bantuan ya pa, kalau nanti Jilan macam-macam lagi, tolong diingatkan, biar tidak terlanjur marah lagi…, sedih deh kalau marah…sakit dan penuh penyesalan…”, tulisku minta bantuan.


“Mama, berusahalah lebih sabar menghadapi Jilannisa…, walaupun sepulang sekolah waktunya lebih banyak dihabiskan bersama papa, hanya mama yang ada dihatinya…”, balasnya. 


Memang ia sudah sejak lama tak habis pikir dengan sikap Jilannisa yang sangat dekat padaku, walaupun dengan intensitas pertemuan kami yang lebih sedikit dibandingkan dengannya. Biasanya aku akan menjawab sambil bercanda, karena sebenarnya akupun tak kalah heran namun amat bersyukur.  


“Mungkin aku bawaannya lebih ekspresif, sehingga Jilan dapat merasakan betapa besar perhatian dan sayangku padanya”, jelasku setiap suamiku keheranan.


“Tring..!”, suara ada pesan masuk tiba-tiba menghentikan lamunanku. Suamiku rupanya masih melanjutkan tulisannya.


“Dari tadi sore sepulang sekolah, Jilan bermain dengan sterika kecilnya, menyetrika dan melipat baju-bajunya yang baru diangkat dari jemuran, katanya dilakukannya untuk membantu mama. Saat dia menggambar dibukunya, gambar wajah mamalah yang dibuatnya. Ketika makan dengan lahap, dia bayangkan mama akan senang mengetahuinya. Ketika mandi, dia bilang akan menceritakan pada mama nanti. Dia juga sudah siap dengan hadiah buat mama sejak dari sekolahnya tadi. Cepatlah pulang, Jilan sudah memasang sendiri sepatunya, kelihatannya sudah tidak sabar ingin menjemput!. Kami tunggu di tempat parkir, 5 menit lagi!”.


Lambang sign out langsung muncul dilayar.


Aku terpaku. Ingin rasanya kumenangis… Gadisku, ia memikirkanku sepanjang hari. Aku sibuk menyesali diri sementara ia juga sibuk berfikir dan beraktifitas, yang semuanya dihubungkan dengan aku. Aku mencemaskan bagaimana kesannya akanku, sementara dia sibuk memikirkan pula perbuatan apa yang akan menyenangkannku. Ya Tuhan…!


Kubereskan perlengkapan kerja yang harus kusambung lagi dirumah setelah dua penghuni lainnya terlelap nanti. Yang aku inginkan saat ini hanya menemui putriku lalu memeluknya. Melepaskan kerinduan seperti telah bertahun-tahun tak bertemu. Rindu yang memang selalu terpelihara seperti itu karena sedikitnya waktu kami untuk bersama setiap hari.


Baru saja kubuka lapisan terakhir pintu gedung, Jilan yang rupanya telah turun dari mobil langsung menghambur kepelukanku.


“ Mama…aitakatta yoo…!(Mama…, aku kangen deh…!)” teriaknya, lalu memelukku rapat seperti biasanya.


Kubalas pelukannya, kuciumi wajah cantiknya sepuas hatiku. Ia menikamatinya, tertawa kesenangan. Apakah aku pernah bisa puas menciumimu anakku? Wangi shampo dan sabun mandi yang segar tercium semerbak dari tubuh gempalnya, pertanda ia telah dimandikan suamiku malam ini*, tentu dengan teramat sabar, mengimbangi keaktifan anak kami diantara kelelahannya sendiri oleh pekerjaan. Bahkan hari-hari belakangan ini suamiku terlihat telah “mampu” mengucir ekor kuda rambut panjang anakku. Pekerjaan yang tidak gampang bagi seorang ayah, yang biasanya sengaja kusempatkan dulu sebelum meninggalkan mereka di pagi hari. Kemajuan yang sangat melegakan bagiku. Tak bisa kubayangkan sendainya gadisku seharian bermain dengan papanya dihari libur, dengan rambut panjang dan kekusutan yang sama sejak ia bangun dari tidur.


“Wah…papa sekarang jadi pintar mengikat rambut Jilan, lihat!”, pujiku senang dan bangga. “Terimakasih ya…!” kataku tulus, melirik suamiku yang menunggu kami di belakang kemudinya. Ia membalasnya dengan mempermainkan mata, dikedip-kedipkan, ikut bangga rupanya.


Anakku mengendorkan pelukannya. Tangan kanannya yang sedari tadi memegang sebuah botol plastik, dan belum sempat kuperhatikan, di sodorkan kearahku.


“Apa ini sayang?” tanyaku sambil menatap dengan teliti botol itu.


“Hai !, presento !, mamano tameni motte kitta no… ! (Yop!, hadiah!, aku bawa khusus buat mama…!)” Jilan bicara sambil tersenyum dengan mata kejoranya, menatapku bangga.


Jilan memang punya kebiasaan memebawakan hadiah apa saja bagiku dan papanya. Biji-bijian atau daun-daun kering berwarna warni, ranting atau batu unik yang ditemukannya dalam kegiatan jalan-jalan pagi disekolahnya. Pokoknya ada saja yang menjadi hadiahnya. Tapi kali ini, hhmm…? kutatap botol plastik bekas yang didalamnya berisi pasir dengan agak bingung.


“Sebenarnya pasir itu tak boleh dibawa pulang, itu dari taman bermain sekolahnya, tapi Jilannisa bersikeras sehingga gurunya akhirnya mengizinkan !” suamiku akhirnya bersuara, melihat tanya dimataku.


“Saat papa menjemput ke sekolahnya, temannya Asami chan rupanya ingin melihat botol itu, tapi dengan tidak sengaja menumpahkan pasirnya sehingga berserakan di halaman sekolah”, tambahnya lagi.


Aku terdiam menatap suami dan anakku bergantian, menunggu.


Syo! Asami chan dame dayo!, mama ni presento agetain gga ya…! (Betul!, Asami chan nakal deh!, padahal ini kan hadiah buat mama…!)” anakku ikut menjelaskan dengan ekspresi marah bercampur mengadu. Bibir bawahnya dimonyongkan kedepan dengan uniknya. Aku ingin tersenyum melihat ekspresinya, juga mendengar logat daerah Kanazawanya yang kental. Tentu akibat pergaulan dengan teman-teman sekolahnya.


“Jilannisa tanpaknya marah dan sedih. Sambil menagis ia berusaha mengumpulkan lagi pasir yang bertebaran dihalaman itu sedikit demi sedikit, memasukkan kembali dengan susah payah ke mulut botol yang kecil itu. Papa yang tadinya ingin membantu malah ikut terkena marahnya, ia ingin melakukannya sendiri…!”.


Jilannisa menatap papanya dan aku bergantian seperti membenarkan.


“Gadis, sayang mama…” bisikku lirih.


Aku kaget, takjub, dan terharu membayangkan anakku telah bersusah payah mengumpulkan pasir-pasir yang berserakan di halaman dengan tangan-tangan kecilnya, hanya agar bisa membawa pulang hadiah yang sudah diniatkannya untukku. Aku, mamanya, yang tadi malam telah tega memarahinya hanya sesaat sebelum ia tertidur!.


Kupeluk anakku, kudekap sekuatnya, kukatakan betapa aku senang dengan hadiahnya. Jilan melepaskan diri dari dekapanku, menatapku lekat, lalu tersenyum teramat manis. Seperti ada rasa lega dimatanya… 


Adakah juga lega dimataku yang basah?




Kanazawa, 17 July 2005


Henny Herwina


***********************************


Catatan:


Kanazawa; nama kota setingkat kecamatan di Jepang


*= Kebiasaan mandi malam lebih umum daripada mandi pagi di Jepang, biasanya dengan berendam didalam bak mandi berisi air hangat.


(Kupersembah buat suamiku Edian Enif. Terimakasih atas limpahan pengertian, pengorbanan, kesabaran dan cintanya. Kamipun sangat mencintaimu papa…, sangat...., selalu...).



Wednesday, July 13, 2005

Saputangan untuk Aceh














 Tiba-tiba saya diminta memberikan pidato dalam sebuah
pertemuan pejabat antar Universitas di provinsi Ishikawa, yang dihadiri pula oleh wakil
dari pemerintahan, pengusaha maupun organisasi kemasyarakatan dalam rangka
pembuatan kebijakan mengenai pelajar/mahasiwa asing di daerah ini. Petugas dari  seksi internasional
Universitas Kanazawa  yang menelepon
saya mengatakan, isi pidatonya boleh apa saja, kesan, pesan, keluhan atau
permintaan saya kepada universitas dan pemerintah, selaku mahasiswa asing.
Syaratnya, harus dalam bahasa Jepang. Wuih, saya telah meninggalkan kelas
bahasa ini sejak tahun 2000 lalu…hm…




Walaupun
sebenarnya waktu saya sangatlah terbatas, setelah meminta
waktu satu hari untuk berfikir, akhirnya saya mengatakan kesediaan,
dengan syarat saya boleh bicara tentang Aceh/Tsunami di Indonesia.
Alasannya, sejak aktifitas
penggalangan dana terakhir February lalu, dan presentasi dalam acara lunch seminar Juni lalu, saya masih senantiasa menaruh
harapan
untuk bisa melakukan sesuatu bagi saudara kita disana. Kali ini, saya
berharap
dengan mempresentasikan Aceh, memperkenalkan keadaan sebelum dan
sesudah
tsunami serta keadaannya saat ini, akan lebih membuka mata mereka akan
situasi
sebenarnya dilapangan, memberikan informasi yang lebih jelas dari media
manapun
yang pernah mereka lihat, dan tentu saja, target akhirnya, akan lebih
banyak bantuan
untuk Aceh.




Kebetulan, saya pernah menulis sedikit tentang perhatian
masyarakat Jepang di provinsi Ishikawa terhadap musibah yang menimpa Aceh dan
telah diterjemahkan oleh sahabat saya dari Koran Yomiuri ke Bahasa Jepang,
jadi saya tinggal menambahkan dibeberapa bagian, maklum, kemampuan bahasa Jepang
saya sangatlah terbatas. Sayapun masih menyimpan dengan hati-hati file vidio
tentang tsunami yang dibuat  dengan
sangat luar biasa oleh rekan PPI Hiroda, serta naskah Surat untuk Aceh
yang ditulis
saudara Yayan Suyana dan Inoue Miki dari Chiba University yang pernah
kami
dapatkan dalam aktifitas pengumpulan dana sebelumnya. Hasil wawancara
singkat lewat telepon dengan Pak Nasrullah di Fukui yang baru kembali
dari Aceh untuk persiapan presentasi sebelumnyapun masih melekat
dibenak saya. Mungkin juga karena Pak Nasrullah sempat heran kenapa
saya akan mempresentasikan Aceh dengan berbagai persiapan, dengan cara
kembali menanyakan apa spesialisasi atau jurusan saya di kampus. Saya
hanya tertawa waktu itu, sambil berfikir, apakah orang dari science
akan terlihat agak aneh kalau ingin ikut kegiatan berbau sosial ? Yosh
!, Saya harus bisa
memanfaatkan kesempatan ini…




Alhamdulillah, presentasi berjalan dengan lancar. Saya
memang bicara tanpa beban, kecuali niat yang tulus agar ini akan ada gunanya
bagi Aceh. Tampaknya “kenyataan” yang saya paparkan lewat video dan pembacaan
narasi penuh perasaan tentang Aceh sebelum dan setelah tsunami, diakhiri dengan
kesan yang tak terlupakan dan rasa terimakasih akan perhatian warga Ishikawa
pada para korban tsunami yang ditunjukan oleh anak-anak, pelajar, orang tua dan segala
lapisan masyarakat yang begitu besar sehingga membuat semua orang merasa satu dalam solidaritas, cukup mengena.




Memang, adalah sangat menyentuh bagi saya  ketika
mengingat lagi seorang anak kecil yang datang
pada kami ditempat pengumpulan sumbangan bagi Aceh di musim dingin January lalu.
Diantara salju yang putih, ia datang kehadapan kami dan ingin
menyumbangkan semua uang yang ia miliki, bahkan sekaligus dengan
celengannya. Padahal
tentulah ia telah menabung dengan susah payah, berharap membeli sesuatu
dengan
menyisihkan uang sakunya. Tapi hari itu, ia merelakannya... bagi Aceh
(Kami bahkan tak tau siapa namamu adik kecil...)




Kekagetan,
ketika kami menerima sumbangan dalam jumlah
sangat besar dari seorang pelajar, yang walaupun sudah diingatkan,
tetap ngotot
mau memberikan, dengan alasan ia benar-benar niat ingin membantu para
korban
Tsunami. Keterharuan, ketika seorang kakek renta yang tertatih membawa
sepedanya ke posko kami dalam dingin, lalu dengan susah payah
mengeluarkan ribuan dari dompet kusamnya...




 Belum
lagi banyaknya
perhatian, kata-kata yang lembut dan menghibur, sampai tangisan dan
pelukan simpati dari
masyarakat pada kami saat itu. Kontras sekali dengan kenyataan akan
tidak adanya
kebiasaan untuk mengungkapkan perasaan secara terus terang dalam
masyarakat
Jepang, apalagi sampai berupa tangisan atau pelukan simpati pada orang
lain.Seorang Ibu tak dikenal memeluk saya yang berjilbab, orang asing
dengan pakaian tak biasa menurut ukuran disini. Tapi ia tak perduli,
bertanya apakah keluarga saya baik-baik saja, betapa ia tak bisa
berhenti menitikkan air mata melihat berita tentang tsunami yang
dilihatnya di televisi. Saya asli Padang, putra Indonesia. Tapi
tampaknya bagi Ibu ini, saya adalah Aceh itu sendiri...Ya, niat kami
memang hanya berbuat sebisanya buat Aceh disaat itu...


Dari peristiwa itu saya menyadari, sebagai
manusia, ketika kita di pertemukan dalam cinta sesama, cinta dan kasih
itu akan menjadi begitu kuatnya, sehingga mampu menembus  dinding yang membedakan negara, agama,
maupun budaya.





             Masih
terdengar isakan beberapa orang ketika saya kembali
ke kursi yang disediakan (padahal mayoritas bapak-bapak). Seorang
professor wanita,
dengan mata merah basah, mengirimkan lembaran tisuenya pada saya, ia
tampak
berusaha keras menghentikan tangisnya. Saya sendiri, memang tak
terhindar dari mata
yang berkaca-kaca, lagi dan lagi. Tak lama setelah itu, saya mendapat
kiriman
saputangan
yang cantik sekali dari mejanya, dihadiahkan untuk saya. Saya
berterima kasih atas
kebaikannya dengan ucapan tanpa suara dan gerakan tubuh karena acara
masih berlangsung. Giliran setelah saya adalah pidato seorang
mahasisawa Komatsu asal Cina, yang bercerita tentang kesannya pada
kegiatan upacara minum teh. Saya pandangi kembali saputangan hadiah itu,
dan kembali,
kesedihan yang teramat dalam
menerpa…







Berfikir tentang Aceh




saudara kita yang kehilangan hampir semuanya




yang masih harus berjuang panjang menata lagi hidup


bertahan tinggal di rumah sementara


menyambung hidup dari bantuan yang sebenarnya hanya mampu untuk membeli satu bungkus nasi sehari





anak-anak yang masih harus sekolah secara darurat




para angkatan kerja yang butuh fasilitas dan kesempatan untuk
memulai lagi hari-harinya




para orang tua




para ibu




balita






Sementara saya masih belum bisa berbuat apa-apa




kecuali mencoba




berusaha mengetuk hati orang-orang yang saya jumpai




dalam setiap kesempatan yang diberikan olehNYA


berharap





mungkin ini akan ada hasilnya




mungkin juga tidak akan berarti apa-apa…




 




Kanazawa, 12 July 2005




 




皆さん、こんにちは。金沢大学のHenny Herwinaと申します。今から、日本で経験した忘れがたい話をお伝えしたいと思います。よろしくお願いいたします。





年の12月、私の故郷、インドネシア・スマトラ島沖で地震と津波が起こり、31万人以上が命を失ったり、行方不明者になったりしています。私はテレビや新
聞で故郷の変わり果てた姿を見て、少しでも地震の被災者の役に立ちたいと、インドネシアの留学生や日本人の学生たちと一緒に募金活動を計画しました。その
募金活動で、私はたくさんの人たちの暖かい心に触れるすばらしい経験をしました。




「スマトラの津波被災者のために、ご支援をお願いします」。1月上旬、私は金沢市
のデパートや金沢駅の前に立ち、募金活動を始めました。初日は、「遠いインドネシアで起こった地震のために協力してくれる人がいるのかな?」と不安でいっ
ぱいでした。しかし、予想は大きく外れました。雪の舞い落ちる中、精いっぱい声を張り上げて募金をお願いすると、たくさんの人が足を止め、募金箱にお金を
入れてくれました。また、募金活動に参加する学生も日増しに増えて行きました。インドネシアの留学生とその家族はもちろん、私の通う大学院の研究室の学生
たちも忙しい研究の合間に自主的に参加してくれました。





る日のことです。デパートの前に立ち募金活動をしているとかわいらしいガラスの貯金箱を抱えた6歳くらいの小さな女の子が私たちに近づいて来ました。小銭
がいっぱい詰まった貯金箱を私たちに手渡すとその女の子はにっこりとほほえみました。私たちは、大切そうな貯金箱を受け取ってもいいのか、少しとまどいま
した。なぜなら、その貯金箱には、その女の子が今まで一生懸命貯めてきたお小遣いが入っていたのですから。しかし、女の子の母親が近づいてきて「このお金
は、娘がおもちゃを買おうと貯めてきたものです。でも、テレビで津波の様子を見て少しでも被災者の役に立ちたいと思っているのです。受け取ってください」
と話してくれました。私は、こんなに小さな女の子が私たちの故郷のことを思ってくれるのかと思うと胸がいっぱいになりました。





方で、一万円札を手に募金に来てくれた高校生もいました。私は、「あの・・・、まだ学生でしょう?こんなにたくさんのお金本当にいいんですか?」と確かめ
ると、「私は本当に被災した方の助けになりたいんです」とお金を入れてくれました。また、ある中年の女性は私たちに近づき、私を抱きしめてくれました。
「家族は大丈夫でしたか?津波の被災者のことを思うと、涙がとまらなくなります」。そう話す女性にやさしく抱きしめられると、私は涙が止まりませんでし
た。





本では、感情を直接的に表現したり、抱きしめたりする習慣がないことは知っています。でも、今回の活動ではたくさんの日本人が私たちに優しい言葉をかけて
くれたり、涙を流しながら心配してくれたりしました。そして、国籍や宗教、習慣の違いがあっても、人間として思い合い、愛する気持ちを持てば、壁を超えて
一つになれるのだと気付きました。このすばらしい経験と日本人への感謝の気持ちは、私の心の中にいつまでも残ることでしょう。












Terimakasih
yang mendalam senantiasa untuk
seluruh keluarga besar Indonesia di Kanazawa atas kerjasama tanpa
pamrih yang telah terjalin, tempat saya belajar teramat banyak, PPI
Ishikawa, PPI
Hirodai, PPI Chiba,
Koizumi san (Yomiuri Shimbun), PPI Fukui, Kedubes RI Tokyo, NIC,
Kanazawa University dan semua  pihak  yang telah
berpartisipasi dalam penggalangan dana buat Aceh di Ishikawa.
















Tuesday, July 5, 2005

Welcome to my school !


Jilannisa tak menyangka mamanya akan menemaninya di sekolah hari ini, walaupun hanya sebentar. Dia terkejut, senang, dan membangakan mama pada semua temannya.
Difotopun mau saja. Padahal biasanya susssaaa.............h!

Selama 5 hari dari tanggal 4 sampai 8 July 2005, para orang tua boleh datang ke Hoikuen dan mengikuti kegiatan anak-anak selama mereka disekolah. Kita (terutama mama) sangat menunggu nunggu kesempatan ini, karena ingin tahu apakah anaknya merasa nyaman disekolah, bagaimana kegiatan, pergaulan dan suasana belajar di kelas baru (3 th) selama 3 bulan ini. Terutama sekali karena waktu Jilannisa disekolahnya (terpaksa) sangat panjang, jam 9 pagi sampai 5 sore. Walaupun hanya sebentar bisa mendampingi (30-40 menit), gadisku sangat senang dan bangga. Papa ikut datang di hari ketiga dan hari terakhir menggantikan mama. Kita tentu senang dan lega melihat Jilannisa sangat menikmati dunia sekolahnya, nampak ceria, bahagia dan sehat pula. Alhamdulillah.
Jepret sana jepret sini...


Note:Album ini disunting berurutan berdasarkan tanggal liputan dan pengambilan gambar di Wakamatsu Hoikuen. Disimpan disini agar bisa dilihat setiap saat. Bawaannya kangen terus sich...

Monday, July 4, 2005

Terimakasih Cinta...




Betul, belakangan ini aku semakin sibuk di kampus. Alasannya biasa, mengejar persiapan ujian akhir,
disertasi. Aku harus mencapai target untuk selesai tahun ini, deadlinenya tinggal hitungan hari. Tapi
waktu yang diperlukan, sangat tidak biasa, serasa tak akan cukup sampai
dibatas waktunya, hari-hari terahir ini penuh dengan diskusi dan revisi, tak banyak yang bisa dikerjakan dirumah...




Untunglah
suami sangat pengertian, jadi aku terbantu sekali. Yang membuat
gelisah
hanya satu, ketakutan kalau gadisku semata wayang merasa kurang
akan perhatianku. Karena masih kecil, tak bisa kuharapkan ia akan mengerti dengan alasanku berpisah darinya
terlalu lama setiap hari. Pergi pagi, pulang malam sekali, termasuk
di hari libur. Kasihan Jilannisaku..., tak sempat lagi kita maka malam
bersama, memandikanmu, apalagi bermain dan menemanimu membaca





Tapi lihatlah yang terjadi. Semakin aku sibuk, semakin aku cemas, sikecil tak pernah rewel, malah menghujaniku
dengan aneka hadiah.
Setiap hari !.

Entah prakarya dari sekolahnya, entah
temuannya saat bermain, bunga liar yang dirangkai kedalam botol kecil, coretannya, semua
didedikasikan buat mamanya, diriku, insan biasa, yang punya banyak kelemahan
ini…

"Peresento buat mama", katanya selalu dengan manja, ia begitu pemurah...

Seolah ia mengerti, seakan tahu aku cemas, dan seolah menyemangati...





Tadi
malam, hadiah untukku adalah sebuah
buket bunga dari Jilannisa, yang diciptakan sendiri olehnya dari
gulungan iklan
supermarket warna-warni. Tak kusangka, kertas yang biasanya tak
kuperhatikan itu berubah demikian cantik disentuh jari-jari mungilnya.
Lebih kuhargai lagi, imajinasi dan niatnya memberiku "bunga".
Suamiku mengatakan bahwa ia sendiri juga tak menduga. Saat gadisku
menyerahkannya dengan mata berbinar
penuh rindu, aku hanya mampu berterimakasih dan memeluknya rapat-
rapat.


Selebihnya, rasa haru dan
syukur yang dalam padaNYA.




Terimakasih cintaku…