Wednesday, November 30, 2005

Gebyar Cinta FLP Jepang 2005, bersama Mba Helvy dkk.

http://www.flpjepang.com/workshop/
Ada acara "Bakar Sate" dan acara menariknya lainnya juga hlo...
Pokoknya seru !
Masih bisa daftar sampai tengah malam ini, buruan.....

Tuesday, October 4, 2005

Sajian Spesial dari FLP dan Radio Tarbiyah: "Pelangi Ramadhan"




Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

 

 

"...Mata saya basah, menyelami batin
Mimin. Tiba-tiba saya merasa syukur saya teramat dangkal dibandingkan
dengan nikmatNya selama ini. Rasa malu menyergap seluruh keberadaan
saya...(
dari Doa Yang Selalu Dikabulkan; Helvy Tiana Rosa)".

 

"Andai kamu tahu Keil...di jajaran
hari-hari itu beribu duka melesatkan serta mengombang-ambing aku dalam
perasaan bersalah telah meninggalkanmu dulu. Ada beribu andai
beterbangan mengintari kepalaku. Andai aku masih bisa membawamu
kembali...andai...(
dari Keil, Duka Itu; Arida Istiarti)".

 

 

Marhaban ya Ramadhan...

 

Sejumput sapa kami hadirkan

tuk temani anda

menapak titian hari

ke kesyahduan bulan yang suci ini

 

Selaksa kisah anak manusia

dengan berbagai goresan warna kehidupan

terangkum indah dalam untaian

"Pelangi Ramadhan"

 

 

Sebuah sajian spesial persembahan Forum Lingkar Pena Jepang

dan Forum Lingkar Pena Surabaya, bekerjasama dengan Radio Tarbiyah

 

Nantikan untaian hikmah yang menyejukkan jiwa !

 

di acara: "PELANGI RAMADHAN"

 

 

Setiap Hari !

mulai 1 Ramadhan 1426 H (5 Oktober 2005)

3 kali sehari pada kisaran waktu

03:30, 10:30 dan 16.30 JST atau 01:30, 08:30 dan 14.30 WIB

di Radio Tarbiyah (untuk mendengar klik  http://www.radiotarbiyah.net/listen.pls)

 

Jangan Lewatkan...

 

 

Untuk memberikan saran, kritikan, kesan atau usulan mengenai materi atau jam tayang acara ini, kami nantikan sapa anda di pelangi_ramadhan@yahoo.com

 

 

Tak lupa kami haturkan maaf lahir dan batin, semoga memasuki Ramadhan ini kita
diberi kebeningan hati dan keteguhan niat dalam meningkatkan ibadah
.

 

 

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

 

FLP Jepang





Saturday, October 1, 2005

Wisuda yang sepi di Kanazawa




Sebenarnya ini wisuda ke empat yang seharusnya kuikuti, tapi menjadi yang kedua, karena di tahun 1998 aku tak bisa ikut wisuda di ITB karena harus ke Jepang sehari sebelumnya. Lalu tahun 2001 tak bisa ikut wisuda di Univ Kanazawa, karena harus penelitian ke Indonesia hik hiks.

Kemaren, hampir 5 tahun setelah terpaksa bersikap tak peduli dengan hari wisuda, aku bela-belain ikutan, walaupun dengan persiapan teramat seadanya.

Karena 6 tahun yang lalu, aku pernah menyaksikan wisuda kelulusan seorang teman, aku tidak kaget kalau suasana wisuda di sini amat berbeda dengan di Indonesia.

Kalau di Indonesia, hampir seluruh keluarga terutama orang tua ingin ikut menyaksikan hari wisuda kita, kalau di Jepang, sangaaat.... jarang ada keluarga yang datang ke upacara. Maksudnya orang Jepang sendiri. Entahlah kalau di luar upacara...

Kalau mahasiswa asing sih, wajar saja, pikirku. Tapi pernah juga sih aku heran dan garuk-garuk kepala sendiri ketika bertanya pada seorang temanku, kenapa ia tak menghadiri wisuda suaminya di Kanazawa juga 6 th yang lalu itu. Doi malah balik heran, emangnya harus datang? hu hu hu, aku hanya bisa bingung, sudah ketularan kali ya...dah lama banget sih di Jepang doinya. Aku aja yang masih Ngindonesia mikirnya, bahkan sampe sekarang...tak ingin berubah ceritanya. Melihat binar bangga di mata orang tua, berbagi bahagia jika itu mungkin, kenapa tidak?

Wisuda yang kuikuti, pesertanya hanya lulusan S2 dan S3, otomatis menjadi lebih sepi lagi. Tapi toh kehikmadan, kebahagiaan dan keharuan tetap terasa. Bahkan ada teman yang keluarganya datang dari luar negeri khusus buat hari istimewa tersebut.

Untukku, hanya ada Uda, dan itu sudah lebih dari cukup :)
Alhamdulillah...

Wednesday, September 28, 2005

Meminta Mama pada Tuhan




Mencoba menerapkan doa baru setiap hari
pada anak, yang terinspirasi oleh kebiasaan seorang sahabat
yang kuanggap amat bagus, ternyata membutuhkan proses bertahap, tetapi tampaknya tidak
terlalu lama.

Awalnya anakku Jilannisa tak begitu saja menangkap apa yang kukatakan
tentang doa baru ini, juga pertanyaan pancingan yang kuberikan. Apalagi
aku harus terbata-bata mengarang kata yang tepat, mencocokkan dengan
bahasa Jepang yang sekarang masih lebih dimengerti olehnya. Tapi aku
tak bosan mengulang.

Akhir-akhir ini, setiap mau tidur, setelah
berdoa dan sambil rebahan aku selalu mencoba memancingnya untuk mengungkapkan
keinginan-keinginan, mengingatkan bahwa Tuhan akan selalu mendengar setiap doa
dan harapan. Setelah aku sendiri memberi contoh apa yang kuinginkan esok hari,
atau apa yang ingin kuminta dalam doa sebelum tidur, ia kelihatan mulai
terpancing.

“Hari ini dalam doa kita, Jilan mau minta
apa sama Tuhan?, tanyaku suatu malam sambil membayangkan ia akan meminta
hal-hal biasanya sangat diinginkannya, semacam mainan, es krim atau coklat
kesukaannya.

 “Etooo, Jilan wa, Tuhan ni, doa no naka
deeee
……..(mmm, Jilan, dalam doa, sama Tuhan mauuu….)”, matanya metatap
kelangit-langit kamar, berfikir dengan kepala agak dimiringkan ke kanan. Tangan
dan kakinya merapat memeluk boneka biru lembut berbentuk pingguin di atas perutnya. Ia
seperti bayi berukuran besar dimataku. Rasa cintaku mengalir, menggetarkanku.

“Ayo gadis…mau minta apa? Kalau kita selalu
berdoa dan mengingat Allah, Ia akan mendengar dan mengingat kita juga, dan
IsnyaAllah mengabulkannya. Sebab, Ia maha penyayang, sangat sayang pada
Jilan, mama, papa dan semua mahkluk-Nya…”, pancingku lagi, sambil membelai
rambutnya perlahan.

“Jilan mau minta mama sama Tuhan!”,
tiba-tiba ia berkata yakin. Senyumnya mengembang. Hatiku bersorak, gembira dan
bersyukur karena ini pertama kalinya ia mulai mengungkapkan keinginannya dalam
program doa baru setiap hari yang ingin aku terapkan ini.

“Mama?, kenapa gadis mau minta mama?”,
kataku bingung bercampur senang.

“Iya, habis, Jilan kan sayaaaang sekali sama mama… Jilan nggak
mau, kalau mama menghilang lagi seperti tadi pagi”, matanya yang indah
menatapku polos.

“Tadi pagi?”

“Ng, waktu Jilan nakal”, ia tersenyum malu.


Tak mampu berkata-kata,
kurengkuh buah hatiku ke dekapan, kuyakinkan ia bahwa mama akan
berusaha  selalu ada untuknya, karena ia adalah segalanya.

“Ah…”, peristiwa yang kupikir telah dilupakannya itu kembali muncul
ke dalam ingatanku.



Tadi pagi, ketika di rumah hanya ada kami
berdua, Jilan tak mau kupakaikan baju sehabis mandi. Bagaimanapun aku mencoba,
ia selalu berhasil mengelak dengan berlari atau bergulingan kesana kemari.
Kalau aku berhasil memaksakan memasangkan kaos dalamnya, baru sampai di leher,
dengan segera ia mencopotnya lagi, lalu sengaja bergulingan di atas kasur,
terkekeh-kekeh senang, begitu seterusnya sampai aku mulai tak sabar. Grrhhhh….
Gadis kecil yang sebentar lagi 4 tahun usianya ini mempunyai gerakannya yang
lincah dan hampir tak pernah bisa diam. Lama-lama, rasa marah karena
dipermainkan bisa meledak juga tampaknya. Mmmmhh………

Untunglah niatan untuk belajar menjadi
lebih sabar masih tertanam di lubuk hati. Alih-alih hatiku nantinya yang akan
menjadi lelah dan sedih karena harus marah, aku mengancam kalau ia tak menurut
juga, akan kutinggal sendiri. Lagipula, kupikir percuma memarahinya sekarang,
ia sedang senang menggoda mamanya, mungkin segar sekali sehabis mandi? Aku
menghentikan usaha memakaikan baju dan berlalu ke kamar mandi, sambil
menenangkan diri dan memasukkan pakaian kotor ke mesin cuci. Tiba-tiba timbul keisengan
untuk mengetahui apa gerangan reaksi anakku, kalau aku acuhkan dan benar-benar
menghilang. Aku pun masuk ke kamar mandi. Pintunya kubiarkan terbuka sedikit
dan mematikan lampunya.

Ketika mulai menyadari aku tak ada
disampingnya, Jilannisa mulai memanggil dan mencari keseluruh pelosok
apartemen.

"Mama?”

“Mama…? mama doko? (dimana)……?”, suaranya masih PD. Tapi ia tak melihatku dimanapun.

Awalnya masih dengan suara menggoda. Tapi ketika tak menemui
siapapun, suaranya pun mulai berubah perlahan, menjadi terdengar pelan, ragu
bercampur cemas…

“Ma....ma…..”, . Tampaknya mulai merasa kehilangan.

Ia mencariku ke toilet di sebelah kamar mandi, lalu balik lagi ke ruang tengah, setengah berlari.

“MAAAMAAAA…….nnggghhh…..”, terdengar suara yang mulai ingin menangis.


Tak jua menemukanku, ia muncul kembali
mendekati kamar mandi. Bayangannya jelas terlihat olehku dari balik pintu. Aku
menunggu.

Ia
berhasil menemukanku beberapa saat kemudian setelah mencoba memeriksa
dengan mendorong pintu kamar mandi. Dipeluknya aku dengan lega. Aku
keluar dengan senyum sambil berlagak seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Bedanya sekarang, aku bisa memintanya memakai baju dengan mudah, tanpa
kendala sedikitpun (hi hi hi).

Ah, rupanya peristiwa itu sangat berbekas baginya.

***

Anakku
sayang, belahan hati…,aku jadi ingat perkataan para ahli bahwa pada
anak-anak seusiamu sekarang, daya ingat sangatlah berkembang optimal.
Ah, aku harus lebih hati-hati, lebih banyak belajar dalam bersikap,
lebih bersabar dan mendekatkan diri pada Allah. Agar aku bisa, agar aku
dapat mengisi hari-hari indah tak ternilai bersamamu dengan benar…
Doakan juga mamamu ini ya nak…



Kanazawa
, 27 September 2005

Henny Herwina Hanif




Friday, September 23, 2005

(Liputan 2) Undangan amat terbatas pada pernikahan tradisional Jepang




Kanazawa, 27 Agustus 2005. Setelah sekian lama, akhirnya dapat kesempatan juga meliput upacara perkawinan tradisional Jepangnya teman, Tanaka san (istri) dan Komura san (suami).

Salah satu penyebab kelangkaan kesempatan melihat upacara perkawinan secara tradisional ini adalah, karena pestanya amat mahal. Seorang undangan diharuskan membawa amplop berisi uang sekitar 40 ribu yen atau lebih dari 3 juta rupiah (bisa lebih, tergantung status ekonomi).

Sebagai gambaran, seorang teman mahasiswa pernah harus menabung khusus, untuk dapat menghadiri pernikahan sahabatnya. Walaupun sebagai pelajar ia sudah mendapat diskon, tapi tetap saja jatuhnya diatas 20 ribu yen, atau diatas 1.5 jutaan. Bayangkan kalau dalam waktu berdekatan anda menerima beberapa undangan :)

Makanya tuan rumah pun sangat berhati-hati memilih siapa yang akan diundang. Biasanya kerabat amat dekat, beberapa orang saja dan petinggi di tempat bekerja (teman akrab sekalipun, sering tidak termasuk nominasi undangan, hiks)

Biasanya untuk teman dekat, agar meringankan, diadakan pesta susulan di restoran atau hotel. Pada pesta susulan ini, jumlah uang yang perlu dibayar lebih sedikit, hanya untuk makanan, sekitar 5-10 ribu yen, diluar bingkisan :). Acaranya pun tidak formal lagi.

Sebagai reporter, kita tidak dikategorikan undangan, boleh datang dan meliput tapi tidak semua bagian. Ruang resepsi tradisional benar-benar hanya buat "para undangan".

Bagaimanapun ini adalah salah satu pesta yang indah dan mengharukan, yang pernah saya lihat. Semoga menjadi pertautan hati yang kekal dan bahagia Tanaka san, eh Komura san....
Omedetou gozaimasu....

Friday, September 2, 2005

Innalillahi wainailaihi rojiuun...6 dari 7 awak dan penumpang telah berpulang...





Setelah doa, harapan dan simpati para sahabat kami terima disini,
akhirnya...secercah harapan akan adanya kabar yang mengatakan bahwa
selain co pilot, ada korban lain yang masih hidup, harus berhenti pada
satu titik. Kepasrahan pada kehendak Ilahi...



Innalillahi wainailaihi rojiuun...



21.17 waktu Jepang, 19.17.WIB, setelah mendengar kabar terakhir lewat telepon langsung dari mulut sang istri, Fenny Harison.



"Maafkan kesalahan Uda ya..., biar beliau tenang menghadap-Nya...",
bisiknya tegar.  Aku tak bisa membayangkan, jika aku yang berada
pada posisinya saat ini.



"Hanya kebaikan Uda saja yang teringat Ni..", ujarku sejujurnya.
Terdengar suara isakan, membuat suaraku tersendat dan sulit
berkata-kata.



Dengan sekuat tenaga aku mengendalikan kesedihan yang menggigit,
kuusahakan menyampaikan kata-kata untuk tetap tabah dan menguatkan
diri. Kata-kata yang mungkin telah didengarnya dari puluhan orang lain
pula. Ya Tuhan, apalagi yang sebaiknya kukatakan untuk dapat sedikiit
saja meringankan penderitaan yang sedang menimpa saudaraku ini?



Ia mengiyakan, berterimakasih...



"Anak-anak bagaimana ?" tanyaku kemudian ketika telepon berpindah pada kakak yang lain. Keluarga telah berkumpul di rumah duka.



"Alhamdulillah, anak-anak bisa sabar...", suara diseberang sana
menjelaskan bahwa keluarga telah bisa menerima kenyataan dengan tenang
dan tawakal. Suara yang terkendali, seakan aku, kami yang di Jepang inilah yang harus ditenangkan.





Selly, Naila, Sarah sayang...alangkah tidak ringan cobaan ini, tetapi
alangkah tegarnya kalian. Setegar mama kalian, dan tentu...sekuat
papa...



Seteguh niatnya berbakti pada negara, sekuat usahanya untuk selalu berusaha membela kebenaran sampai ajal menjemput...




Da Cong,

Biarlah air mata ini menetes melepasmu pahlawan...

bersama 5 jiwa yang saat ini telah menemui Sang Pencipta

Allah yang Maha Agung



Selamat jalan putra bangsa...


Lelaki yang pengasih...

Kami Mencintaimu...

selalu...



teriring doa,



"Ya Allah, ampunilah dosa saudara
kami Uda Cong (Harison Harmaini) dan angkatlah derajat kemuliaan ke
kelompok orang yang mendapat hidayah, berilah ganti keturunan
dibelakangnya, ampunilah dosa kami dan dosanya, wahai Tuhan pemelihara
alam semesta, lapangkanlah kuburnya dan terangilah tempatnya dalam
kubur". (Diriwayatkan Muslim).



dan renungan bagi diri;



"Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi (dan tidak pula) pada
dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan
berduka cita terhadap apa-apa yang luput darimu, dan supaya kamu jangan
terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong, lagi membanggakan diri".
(Al-Hadid: 22-23).






Kanazawa, 2 Sepetember 2005

Henny-Uda-Jilannisa



Catatan:

 

Foto adalah
Kombes Pol Drs Harison Harmainy M.Si.

(salah seorang perwira yang tewas dalam kecelakaan helikopter yang membawa rombongan Mapolda Sumbar dalam
penerbangan dari Padang Aro, Ibukota Kabupaten Solok Selatan serkitar
pukul 14.00 WIB, 1 September 2005 dalam rangka kunjungan kerja pengawasan hutan di
kabupaten tersebut terhadap praktik illegal logging dan pembakaran
hutan).



- Berita mengenai para korban pada 2 sept 2005 ada di sini
 


dan disini

- Percakapan terakhir dengan istri (Harison Harmainy)

- Sampai malam hari, 3 Sept 2005, upaya evakuasi korban

  masih berjalan, terhambat cuaca dan kondisi medan


-
Berhasil dievakuasi subuh, hari ini korban disemayamkan di


  Taman Makam Pahlawan Lolong Padang, 4 Sept 2005

- Berita suasana saat pemakaman TMP Lolong Padang 5 Sept 2005
















































Thursday, September 1, 2005

Penting!: Sahabat, Mohon diberi kabar jika ada info terakhir ttg Helikopter jatuh di Sumbar...




Betapa Tuhanlah yang maha penentu...

Sekiranya sahabat menemukan adanya  berita terbaru dari sumber  lain yang bisa ditemukan, mohon informasinya...


Berita selengkapnya yang tersedia di media lokal bisa dilihat di:


http://padangekspres.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=944


Cuplikannya:

Padang, Padek-Indonesia kembali berkabung. Sebuah helikopter yang membawa rombongan Mapolda Sumbar terjatuh di di kawasan hutan lindung perbatasan Padang-Solok, persisnya di kawasan perbukitan Hutan Raya Bung Hatta, Lubuk Paraku. Awak helikopter yang terdiri dari pilot dan Co pilot serta lima penumpang dilaporkan diduga tewas.

Di antara lima penumpang dua di antanya perwira menengah Mapolda
Sumbar, masing-masing Direktur Reskrim, Kombes Pol Drs Harison Harmainydan Direktur Intelkam Kombes Pol Drs Bambang Irawan. Pilot bernama Kompol Danny dan Co Pilot helikopter bernama Ipda Asep.

Sementara tiga korban lainnya Kasi Identifikasi Mapolda Sumbar, AKP
Jurnalis Johor, anggota Reskrim Mapolda Sumbar Bripda Welly Pramana. Ikut bersama rombongan itu juga salah seorang wartawan senior Harian Singgalang, Erman Tasrial yang juga
Ketua Forum Wartawan Unit PolriPolda Sumbar.


Berita terbaru dari media nasional, 12.47 WIB disini



Demikianlah, atas bantuan yang diberikan, kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga



Atas nama keluarga besar Kombes Pol Drs Harison Harmainy

Fenny Harison
(Istri),

Henny Herwina & Edian Enif (adik)

Note: last up date 15.54 WIB


Sunday, August 28, 2005

Cibiko Matsuri (Perayaan musim panas bagi anak-ortu-dan guru)




Sebulan berlalu (ceritanya sambil packing menjelang subuh nekad aja posting foto, memanfaatkan jatah dr MP bulan ini he he).

Ketika itu persiapan presentasi mama sedang dipuncaknya dengan Prof., tapi acara sekolah Jilannisa setahun sekali dan sudah kita tunggu-tunggu juga tak bisa di anggap angin lalu. Minta ijin pulang sekitar 2 jam saja dari lab, lalu balik lagi. Untung Prof mengizinkan.

Maaf ya sayang, mama tidak sempat menjahitkanmu kimono tahun ini. Untunglah tahun lalu mama menjahit dua buah, bingung soal warna. Jadi tahun ini yang biru bisa dipakai.... Tapi...
Hah? sudah kependekan? Wua....!!!

PD aja...kan banyak kimono kreasi baru juga...hiks

Alhamdulillah, semua senang. Mama-papa takjub melihatt gadisnya menari penuh percaya diri, kita seringnya saling berpandang-pandangan. Keheranan dan bangga tentu!

Ada juga acara menari bareng ortu, Jilan rupanya nggak mau menari bahkan masuk arena tanpa mama, padahal mama sudah mengendap-endap hendak cabut diam-diam. Untungnya salah konfirmasi sehingga papa nggak ketemu di tempat parkir, yang menyebabkan mama balik ke arena lagi. Rupanya sang gadis sedang mencari, jadilah kita bisa ikut menari bersama.

Terima kasih Tuhan...untuk mengatur semuanya, sehingga gadisku tidak kecewa berat, yang akan menjadi penyesalan berkepanjangan...

Malam yang indah, nggak nyesal nekad minta ijin, nggak nyesal gagal cabut yang pertama.

Wuah..., lega...!,walaupun harus sembunyi-sembunyi untuk yang kedua kalinya balik ke lab lagi ...
Ganbaru zooo!

Andai kita jaga



 




Ingin melangkah saja hari ini



berhenti dibanyak tempat



rasakan mentari





Nikmati teduh pepohonan



lembut angin membelai



biru langit memeluk



bergandengan daun pakis





Rerumputan tumbuh memanjang



meliuk dirayu angin





Canda capung merah biru



kepak lembut kupu-kupu



tergoda keanggunan bunga liar



arakan semut bagai ular



dan bayi kumbang yang sedang makan



Sungguh kita beruntung



melihat dan rasakan



aneka perbedaan





Andai kita jaga



sebuah kebersamaan



bersahabat dengan alam



rajut indah temali kasihNya








Kanazawa, 10 Agustus 2005




















Sunday, August 21, 2005

Rasa Hormatku Semakin Dalam





Kubuka mukena yang setia bersamaku sepanjang malam ini. Kulipat tiga memanjang, lalu kulilitkan ke leher. Dengan begini kuberharap dapat melindungi kudukku dari hembusan angin malam. Angin yang menerobos masuk lewat jendela kamar yang sengaja kubiarkan terbuka. Udara yang lembab dan menggerahkan telah muncul sejak awal Agustus ini, pertanda dimulainya musim panas di negeri sakura. Sebentar lagi tentu aku tak akan tenang di dalam rumahku sendiri tanpa kipas angin. Tak akan ada AC di apartemenku yang sederhana dan bergaya tradisional ini. Tapi aku amat menyukai “rumahku”, terutama karena lokasinya yang tepat di bawah sebuah bukit kecil. Lalu dari jendela manapun kumenatap keluar, mataku akan bertumbukan dengan pepohonan dan herba. Kehijauan, pemandangan yang selalu membuatku tenang.

Kulirik hamparan futon (kasur tradisonal Jepang). Dua belahan jiwaku tengah terlelap diatasnya, bergaya bebas. Gadis kecilku telah merubah posisi tidurnya menjadi horizontal, kakinya melipat di pingir dipan yang membatasi. Ah, ia telah tumbuh semakin tinggi. Bagian tengah yang seharusnya menjadi wilayah tidurku kosong. Sang papa, suamiku, tidur secara vertikal di bagian yang lain menghadap ke arah ruang keluarga, dimana aku tengah berada. Terdengar dengkuran halus dari bibirnya, pertanda kelelahan kata orang tua. Memang, setelah selesai bekerja kemaren sore seperti biasa ia langsung menjemput putri kami di hoikuen (sekolah setingkat taman-kanak-kanak), lalu menyuapinya makan dengan nato (sejenis makanan khas di Jepang, terbuat dari kedelai) kegemaran anakku. “Hanya setengah porsi”, katanya padaku kemudian, ketika kami harus makan di luar malam itu. Merayakan kelulusanku setelah melewati final defense, presentasi akhir mempertahankan penelitianku untuk mendapatkan gelar doktor. Setelah semua persiapan yang amat melelahkan bagiku, profesorku dan juga suamiku.


***
Suamiku adalah orang pertama yang ingin kukabari akan berita kelulusanku. Kuingat sore itu, ketika baru saja aku akan menulis email ke telepon genggamnya, suamiku sudah lebih dahulu menghubungiku lewat telepon seorang teman. Mengucapkan selamat. Hatiku bergetar ketika suaranya terdengar bahagia, lega. Perjuangan kami kini telah membuahkan salah satu hasilnya.

Ya, ini adalah perjuangan kami. Karena aku tak akan bisa menjalani semua ini tanpa dukungan, pengertian dan dorongannya. Padahal rasanya baru kemaren suara-suara itu terdengar olehku.

“Hen, kamu harus hati-hati, kamu kan mau S3, jangan nikah dulu deh…, gimana kalau suamimu nanti langsung pengen punya anak, sementara kamu harus pergi keluar negeri sendiri…?” kata seorang seniorku, ketika aku menjalani pendidikan S2 di Bandung dan tengah kebingunan dengan pilihan melanjutkan studi saja dulu, atau menikah sesuai permintaan Ibuku sambil tetap melanjutkan studi.
.
“Ibu sempat berdiskusi dengan teman-teman tentang rencanamu untuk menikah sebelum berangkat ke Jepang. Kamu kan masih muda, cantik dan pintar, nggak usah khawatirlah soal jodoh. Sekolah saja dulu, dan pria-pria akan berlomba ingin menyuntingmu…”, Ibu Tjadra, salah seorang dosen di laboratoriumku memberikan saran ketika kuminta pendapatnya. Dosenku yang satu ini amat lembut dan baik hati, jadi aku pun merasa dekat seperti berteman saja.

“Nggak usah nikah dulu atuh Hen…, calonmu dari IKIP? Belum mau melanjutkan lagi? Lihat deh nanti kalau kamu sudah doktor, beda gerak... Pasti deh kamu pengen sama doctor juga!” Ibu Ria, dosen biostatistikku yang campuran sunda-batak itu ikut pula menyumbangkan pendapat. Lengkap dengan gaya khasnya berbicara ketika kami berjalan bersama di koridor kampus suatu siang. Aku tersenyum melihat gaya beliau tapi belum yakin untuk setuju dengan pendapat seperti itu. Tidak kuberikan komentar apa-apa saat itu.

Belum lagi “serangan” keluarga suamiku bagi dirinya.

“Benar nih, mau menikah dengannya? Kamu nggak takut kalau pendidikannya diatasmu? Bagaimana kalau nanti dia ngelunjak dan jadi berkuasa? Apa enak jadi suami dikomandoi istri?” dan berbagai kecurigaan lainnya terhadap rencananya untuk menikahiku.

Saat itu aku baru saja menyelesaikan sidang akhir program master. Untunglah aku tidak terpengaruh dengan berbagai pendapat yang muncul, karena telah kupasrahkan pada-Nya segala. Berdoa agar diberikan jalan terbaik jika memang ialah jodohku.



Ijin Tuhan telah membuatku dengan lapang dada menerima ketika ia mengurus semua keperluan untuk pernikahan bersama keluargaku di Padang. Sementara itu aku hanya menerima konfirmasi lewat telepon dan bisa terus mengurus persiapan wisuda dan dokumentasi untuk berangkat ke luar negeri.

Kini, ketika aku berhasil juga menyelesaikan studiku, perjalanan rumah tangga kami telah mencapai umur 7 tahun. Dengan menjaga prinsip saling terbuka, saling percaya, saling menghormati dan berpedoman pada tuntunan pernikahan dalam Islam, aku selalu berusaha memposisikan diri sebagai istri yang patuh pada suami dan sebagai ibu yang baik bagi anak kami semata wayang. Berkat pengorbanannya dan tolerasi suamiku atas berbagai keterbatasan yang kumiliki, Alhamdulillah tidak ada kendala berarti dalam hubungan kami.

***
Hari beranjak subuh. Kupuaskan diri menatap suamiku yang sekarang masih tertidur pulas, tapi dengkurannya sudah tak ada lagi. Wajah yang kukasihi, kuhormati dan yang selalu mengasihi keluarganya dengan tulus. Yang beberapa hari terakhir ini merelakanku untuk tak memasakkan makanan kesukaannya. Atau tak protes kalau kumasakkan sekaligus lebih banyak, lalu tinggal dipanaskan untuk beberapa kali makan. Selebihnya aku telah membeli makanan instan atau mengajaknya makan di kantin kampusku. Terkadang ia malah sengaja menyuruhku ke kampus secepatnya, karena tahu profesorku sedang menunggu. Bahkan dua hari terahir ini, saatku bangun di pagi hari, suamiku telah menyediakan satu set makanan instan, bekal ke kampus untukku. Rupanya setelah selesai bekerja pagi itu, ia sempat pula membereskan hal-hal kecil lainnya di dapur. Padahal setelah itu ia harus berjuang sendiri mempersiapkan anak kami yang balita untuk pergi sekolahnya. Aku sendiri sudah harus di kampus sejak sangat pagi belakangan ini, untuk menemui profesorku yang datang lebih pagi lagi, khusus untuk persiapan ujian akhirku. Suamiku juga ikut-ikutan tegang sepertiku ketika jadwal ujian tinggal hitungan jam. Dan saat mengetahui kelulusanku, ialah yang paling senang dan bahagia.

Untuk semua ketulusan ini, apakah aku sebagai istri akan bersikap lancang padanya? Apakah lantas aku akan menganggapnya rendah karena tak ikut melanjutkan pendidikan ketingkat yang lebih tinggi akan tetapi memilih bekerja untuk menafkahi keluarga? Aku tak melihat adanya hubungan antara gelar yang akan kusandang dengan posisinya sebagai pemimpin keluarga. Apakah aku akan besar kepala atau merasa lebih tahu dan hebat? Jawabnya hanya TIDAK.

Untuk segala pengertiannya akan kuberikan seluruh pengertianku. Untuk semua kesabarannya akan kulatih terus sabarku. Untuk segala cintanya akan kuberikan seluruh cintaku. Ini sudah menjadi tekadku sejak dahulu, saat memutuskan bersedia menjadi pendaping hidupnya. Nyatanya, semakin hari semakin bertambah kekagumanku padanya. Semakin tinggi rasa hormatku baginya.

“Ya Robbi, jadikanlah aku wanita yang sabar, sholehah dan berbakti pada suamiku, mencapai ridha-Mu…”, doaku selalu, teringat akan sabda Rasul yang pernah kubaca:
Dari Ummu Salamah, “Sesungguhnya Nabi Saw. telah bersabda, “Barang siapa di antara perempuan yang mati dan ketika itu suaminya suka (rela) kepadanya, maka perempuan itu akan masuk syurga”. (Riwayat Ibnu Majah dan Tirmizii).

***
“Uda…, baguun…”, bisikku pelan, enggan membangunkannya karena ia tampak amat nyenyak tertidur. Namun perlahan lelaki pujaan itu bangun dari istirahatnya dan segera ke kamar mandi untuk berwudhu.

Setelah shalat subuh berjamaah, kucium tangannya, saling bermaafan. Saat-saat indah yang selalu kutunggu setiap hari, karena kesibukanku biasanya membuat kami hanya bisa berjamaah disaat subuh dan isya saja.

Hari masih gelap, tapi suamiku telah siap untuk berangkat bekerja setelah meminum kopi susu buatanku.

“Assalamualaikum…”, ucapnya saat membuka pintu dan melangkah keluar.

Setelah menjawab salamnya, aku masih mematung di depan pintu. Merenungi kepergian belahan hati untuk mengadu nasib bagi keluarga, seperti yang selama ini dengan tulus ia lakoni.

Ya Allah… lindungilah suamiku, dan semoga setiap helaan nafas kasihnya pada keluarga akan selalu menjadi ladang ibadah pula baginya disisi-Mu. Amin…

Dari Abu Hurairah. Ia berkata, “Rasulullah Saw. telah memberi pelajaran. Sabda beliau, “Mukmin yang sempurna imannya ialah yang paling baik pribadinya, dan sebaik-baiknya pribadi ialah orang yang paling baik terhadap istrinya”. (Riwayat Ahmad dan Tarmizii).


Kanazawa, Agustus 2005
Henny Herwina Hanif
Setulus hati untuk suamiku, sebulan menjelang 7 tahun  pernikahan

Tuesday, August 16, 2005

Di suatu pagi: Bercakap dengan negeri




Subuh baru saja
menyapa. Kulirik jendela yang terbuka dan hanya di tamengi jaring plastik
penghalang serangga. Suasana khas musim panas di negeri sakura, negeri ninja,
tempat aku, suami dan gadis kecilku tinggal sementara. Ya, aku adalah seorang
pelajar asing di negeri ini. Seringnya, kemanapun kumelangkah, siapapun yang kutemui,
bahkan apapun yang aku lakukan, selalu berakhir dengan kata “Indonesia”.




Indonesiaku,




Sudikah kau
mendengar cerita sederhanaku pagi ini? tiba-tiba aku ingin berbagi denganmu…




Ketika pertama kali aku
berkenalan dengan tetangga, masyarakat kampus, mengisi formulir di kantor
pemerintahan dan sebagainya, dengan sadar kukatakan dan kutuliskan dirimu: Indonesia.
Sepintas mungkin tak ada yang istimewa dengan semua itu. Tapi bagiku, kau istimewa
dan selalu dekat dengan hari- hariku, walau aku telah bertahun tahun jauh
darimu.




Di laboratoriumku,
Lab Ekologi. Fakultas Sains, Universitas Kanazawa, setiap hari aku harus
berjuang menjadi “anak baik” dalam segala hal. Bagaimana tidak, jika setiap
perkataan dan tindak tandukku, bagi sebagian besar teman-temanku yang
berkebangsaan Jepang, diartikan sebagai dirimu?




Ketika salah seorang
diantara kami yang berasal dari Indonesia (saat ini 9 orang dari 30 anggota lab)
lupa mematikan lampu salah satu ruangan, namamu dibawa-bawa. Mereka dengan
leluasa lalu berpendapat, Indonesia
tak hemat energi. Ketika lupa mengunci pintu, mereka bilang, “Indonesia tak
hati-hati”. Ketika bicara tentang lingkungan dan penghijauan, tanpa berfikir
mengatakan “Wah, orang Indonesia
tak begitu peduli pada lingkungan ya…”. Ketika kutanya alasannya berkata
begitu, mereka lalu menghubungkannya dengan kebiasaan lupa mematikan lampu. “???..." Walaupun di
dalam hati aku juga menyanyangkan perhatian yang belum begitu besar pada
lingkungan di negeri sendiri, yang menimbulkan himbauan dan protes dari kanan
kiri.




Ada yang lebih
menarik. Seorang teman wanita yang duduk disampingku ketika memakan bekal makan
siangnya mendapat komentar begini: “Wah merah ya saus spagetinyanya…, Indonesia
memang makanannya begini ya…merah, pedas dan diaduk-aduk..?”, mata sipit
seorang temanku hampir tak kelihatan karena ekspresi berfikirnya. Saat itu, tak
ada jalan lain bagiku, selain memberinya sedikit pidato tentangmu. Betapa
Indonesia terdiri dari ribuan pulau, ratusan bahasa, aneka budaya, aneka
makanan dan kebiasaan, Bhineka Tunggal Ika…bla bla…. Tak tahan juga dengan
kebiasaan mereka mengeneralisir segala perbuatan individu menjadi seolah
perbuatan sebuah bangsa. “Kasihan Indonesia, tolong berfikir yang …”,
kataku memporotes, bila ada kejadian serupa. Dari pengalaman-pengalaman itu,
aku dan teman-teman menjadi sadar, apapun yang aku lakukan, kemanapun
melangkah, kau juga selalu ikut bersamaku: Indonesia.




Tak sedikit pula
yang memuji, terutama keindahan Bali atau Borobudur, lalu mereka akan bercerita
tentang tempat rekreasi, makanan istimewa dan kunjungan berkali- kali. Setiap
orang dengan pendapatnya sendiri. Tapi akhirnya tetap satu yang ku sadari, apa pun
yang aku katakan dan lakukan, bagi bangsa lain, aku adalah merupakan perwakilan
dari dirimu. Mereka melihat dirimu lewat aku dan jutaan manusia Indonesia
lainnya di mancanegara.




 




Tanah airku…




Begitu juga saat
bencana national menerpa tanah rencong, dengan berbekal pengetahuan dari dunia
maya, aku dan teman-teman berusaha sebisanya menjadi wakilmu dilingkungan
kecilku. Ketika ada yang ingin tahu, ketika kata-kata simpati berdatangan
untukmu. Walau aku belum pernah menginjakkan kaki di bumi Aceh, namun dirimu
membuatku merasa satu…, ikut larut dalam derita dan kedukaan…




 




Tumpah darahku,




Walau jauh, aku
tetap mencari berita tentangmu dengan berbagai cara, ada televisi dan dunia
maya. Ikut bersemangat ketika pesta demokrasi dalam prosesnya. Ikut bersorak
bersemangat ketika namamu diharumkan putra bangsa di arena olahraga. Ikut
bangga dengan aneka prestasi anak negeri. Ikut menangis, ketika diberbagai
sudut negeri terjadi bencana, keadilan yang belum merata. Aku berdoa agar suatu
hari, dirimu semakin membaik dan bertambah dewasa.




Pagi ini, 60 tahun
sudah dirimu merdeka, ada sentuhan lembut dihatiku, mengenangmu pertiwi…




Aku rindu suasana
hari Senin disekolah dasarku, dimana dulu selalu ada upacara bendera. Terkadang
ada canda, tapi selalu ada kehidmatan ketika merah putihmu digeret menjulang
keangkasa. Apakah adik-adikku masih ikut merasakannya? Ternyata aku masih saja
ketinggalan banyak berita.




Masih akan adakah
siaran langsung upacara nasional di televisi ? Putra putri terpilih mencium
sang saka di istana negara? Adakah suasana meriah perayaan kemerdekaan masih
terasa sampai ke sudut-sudut desa?




Terkenang pada tepat
10 tahun yang lalu, kuberjalan mengikuti napak tilas angkatan 45, berbincang
dengan para sepuh yang mengenang saat berjuang mempertahankan kemerdekaan, yang
masih kuat dan bersemangat, merasakan aliran kecintaan mereka padamu, yang
masih terasa dikalbuku sampai detik ini  




 




Dan Indonesiaku,




Aku salah seorang anak
negerimu, masih saja disini, terbentang jarak denganmu. Tak ada upacara
dilingkunganku. Tak ada merah putih yang akan perlahan naik di tiang dan
kutatap dengan haru.Tak ada acara spesial pada saat detik-detik proklamasi jam
10 nanti. Apalagi diskusi tentang kemerdekaan dan bagaimana kita mengisi. Tapi
percayalah. Rasa cintaku tetap setulus dulu. Semurni masa kanak-kanakku. Dalam
sedih aku merindu. Berdoa untukmu negeriku. Semoga langkah seluruh anak negeri
ditunjukiNya. Bersatu padu, terus berjuang demi keadilan dan kesejahteraan bangsa,
diseluruh pelosok Nusantara.




 




Indonesia tanah air beta




Pusaka abadi nan Jaya




Indonesia sejak dulu kala




Slalu dipuja puja bangsa




Di sana tempat lahir beta




Dibuai dibesarkan bunda




Tempat berlindung dihari tua




Sampai akhir menutup mata…




 




Kini tak semua kata
dalam lagu itu keluar dengan sempurna dari memoriku. Bait-bait lagu yang akrab
di masa kecilku.  




Tiba-tiba aku amat
merindumu, Indonesiaku, tanah airku, tumpah darahku…




Dan percayalah,
kutunggu benar saat itu.




Saat untuk pulang
padamu.




Membangun negeri,
dari dusun kecilku.




 




Dirgahayu Indonesiaku!




Salam cintaku
untukmu




Merdeka!




 




 




Henny Herwina Hanif,
Kanazawa, 17 Agustus 2005



Keterangan: Foto diambil saat peragaan busana daerah, di acara Indonesian Charity day Kanazawa, Februari 05












Saturday, August 13, 2005

Kebun anggur dan memeluk kelinci




Oji san (kakek tentangga) yang sudah seperti kakek sendiri bagi Jilannisa mengajak kita jalan-jalan pada suatu hari diawal musim panas. Nggak enak juga terus menolak, akhirnnya kami berangkat dengan mengajak seorang teman lainnya. Ada perkebunan sayuran dan buah, lalu perhentian di toko susu yang dilengkapi kandang hewan-hewan lucu dan taman umum, masih di Kanazawa.

Friday, August 12, 2005

Goresan setelah menbaca journal Teh Pipiet Senja; Cerpen Antologi Kasih




Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh





Dear Teh Pipiet,


semoga kita senantiasan dibimbing dan dikuatkan-Nya



 

Saya pembaca setia jurnal Teteh, dan tak henti
menunggu yang lainnya karena untuk sementara jarak menghalangi saya
untuk leluasa membaca karya-karya Teteh dan penulis lainnya ditanah air.





Ilmu yang saya pelajari di bangku kuliah sangat jauh dari sastra. Tapi
saya sangat merasakan kebutuhan untuk membaca fiksi. Kenapa? karena saya
merasa dimanusiakan. Kebutuhan ini tak terpenuhi hanya dengan misalnya
membaca ribuan karya non fiksi.



Saya setuju dengan apa yang dikatakan oleh Helvy Tiana Rosa  di dalam salah satu tulisannya/reply-annya di MP
yang mengatakan kira-kira begini: "Sastra selalu punya tempat untuk
memanusiakan kemanusiaan kita".




Kesan inilah yang selalu saya temukan dalam setiap goresan Teh Pipiet,
termasuk dalam cerpen "Elegi September" yang saya baca di
http://pipietsenja.multiply.com/journal/item/24?last_read=1123886987&mark_read=pipietsenja:journal:24



Menanggapi adanya komentar yang mengatakan cerpen ini "tidak bisa
dipahami dari awal sampai akhir" atau " Hancuuur" dari seseorang, saya
ingin sedikit menyampaikan opini.





Setiap orang tentu boleh saja menyampaikan pendapat atau kesan dari
sudut pandangnya, tetapi akan lebih baik jika ia juga memberi
penjelasan, dari sudut mana ia melihat dan beberapa keterangan lainnya.
Karena beberapa orang yang berbeda akan mempunyai kesan yang berbeda pula
jika melihat sebuah benda yang sama, tapi dari sudut yang berbeda.



Walaupun saya bukanlah penulis, saya kok ya tidak begitu sreg
dengan
adanya kejadian dimana seseorang memberikan penilaian sebuah karya
dengan semena-mena, apalagi kesannya cukup berani dan memvonis (semoga
dalam kasus ini saudari X yang memberikan kritikan tidak lupa pula
memberikan penjelasannya, sehingga yang dikritik dan ikut membaca
kritikan bisa pula mengerti dan memetik manfaatnya) .


Saya meprediksikan, sebuah karya tulis melibatkan bagian diri si
penulis didalamnya, secara langsung maupun tidak. Sehingga, walaupun
yang mengomentari bukan penulis, sebisanyalah memberikan argumen yang
berdasar.




Saya tidak akan membahas cerpen Elegi September-nya Teteh dari sudut penulisan
atau sastra yang masih "gelap" bagi saya. Tapi sebagai awam yang
mendapatkan banyak pelajaran yang bisa dipetik dari sebuah tulisan.




Dalam Elegi Sepetember, kita bisa mendapatkan banyak petikan hikmah, antara lain tentang:




Persahabatan (lihat karakter Mamay, Maria, Meta dan suster Ika);




Kasih (Meta dan Mamay rela  memberikan benda paling berarti bagi mereka demi sahabat);




Komunikasi yang baik dalam keluarga, juga kepekaan sosial (lihat tokoh "bangau" yang menderita kelainan jiwa);




Toleransi beragama (ini disampaikan dengan halus oleh penulis);




Kepasrahan pada Ilahi (Mamay);




Keluarga (digambarkan dalam menceritakan perhatian dan kondisi orang-orang terdekat tokoh)




dan banyak lagi, jika kita mau mengambil pelajaran hidup dari sini.





Setiap individu pendapatkan type dan porsi yang berbeda dalam menerima cobaan maupun kebahagiaan, Dia maha pengatur.


Disinilah faedahnya belajar dari sebuah tulisan, dimana kita bisa
belajar untuk terus hidup dengan belajar dari pengalaman orang lain.
Memperkaya diri dengan pengetahuan kekomplek-an dunia, lalu memutuskan bagaimana
dan kearah mana kita selanjutnya melangkah, dengan masing-masing
resiko, baik dan buruknya.




Ada banyak jenis karya sastra, yang saya bicarakan kali ini adalah
bagian dari semua itu, dan saya telah mendapatkan banyak pelajaran dari
dalamnya


.


Terakhir, terimakasih Teh Pipiet, untuk membagi tulisan ini dengan kita
sini, dan semoga niat baik Teteh dan teman-teman untuk
menyumbangkan  hasil penjualan karya ini untuk korban tsunami akan
dibalasi Allah dengan berlipat ganda. Amin...




Teruslah berkarya...


Menjadi Cahaya


(mengutip kata dari seorang teman di FLP Jepang)




Wassalam




Henny-Kanazawa, 13 Agustus 2005













































Tuesday, August 2, 2005

Uda, kita lulus !










Kanazawa
, Senin, pukul 16.30 WJ, 1 Agustus 2005, akhirnya
menjadi hari bersejarah bagiku. Tepatnya setelah mendengar ucapan “Congratulations
!” dari para professor penilai “final defense”ku, presentasi mempertahankan thesis
penelitian di bidang Biologi Sains. Alhamdulillah…kupanjatkan syukur pada Ilahi.










Teman-teman menemaniku dengan sabar menunggu hasil keputusan referees yang bersidang selama
sekitar 15
menit, setelah 50 menit sebelumnya mendengarkan presentasiku dan tanya
jawab. Mereka langsung tersenyum senang, ikut berbahagia dengan kenyataan
itu. Bagiku, semua terasa berjalan begitu cepat. Aku hanya
mampu tersenyum haru dan mengucapkan terimakasih dengan hikmad pada dua profesor pertama yang
keluar dari pintu. Penilai yang lainpun kemudian bermunculan dengan
ucapan yang sama. Terakhir supervisorku Koji Nakamura. Pada beliaupun
dengan tulus kuucapkan terimakasih atas segala bimbingan dan
ketelitian dalam mengarahkan studiku selama ini.
Setelah sedikit berfoto-foto, kami  kembali  ke lab Ekologi, meninggalkan ruang pertemuan 206 dilantai dua gedung Natural Science,
Kakuma Kampus, Kanazawa University. 


Suamiku adalah orang
pertama yang ingin kukabari berita gembira ini. Baru saja aku hendak mengirim pesan
ketelepon genggamnya, Pak Dahelmi yang merupakan dosen pembimbingku sewaktu S1 di
UNAND dan sekarang mengambil program Doctor tahun pertama di lab yang sama tiba-tiba menyodorkan
telepon genggamnya.












”Si Uda”, bisiknya.


“Terimakasih Pak”,
sahutku menerima telepon itu.


"Assalamualaikum".


"Waalaikumsalam, bagaimana ?", terdengar suamiku diseberang sana.


“Uda, kita lulus !” hanya kata itu yang keluar dari mulutku.





Rasa
haru menjalari
hatiku, mengingat betapa besarnya kasih lelaki
ini untukku. Yang membuatku tegar melangkah. Tentu, keberhasilanku kali ini tak terlepas dari anugrahNya.




“Kata Pak Dahelmi presentasinya “excellent”, benar?” getar kebahagian
kurasakan dari suaranya.




“Entahlah, aku merasa
biasa saja, tapi tuhan memberi banyak kemudahan, aku InsyaAllah percaya diri tadi.
Terimakasih ya Da” ,ujarku dari lubuk hati.




“Selamat mama, akhirnya
kita bisa melaluinya…”, suaranya bernada syukur.




“Ya Alhamdulillah berkat
Uda”, kataku tulus.




Aku
lega mendengar kebahagiaan yang dirasakannya. Ya, karena keberhasilan
ini hampir tak mungkin kuperoleh tanpanya. Cintanya telah melahirkan
banyak pengertian, kesabaran dan pengorbanan yang
selalu kusyukuri.

















Suamiku, dia juga adalah
orang yang merasa paling bahagia dengan berita ini. Karena perjuanganku
dalam pencapaiannya juga adalah perjuangannya. Ketulusannya untuk memberiku kesempatan dan pengertian yang besar.

Perjuangan
penuh kesabaran dan pengorbanan darinya untukku dan Jilannisa  sang permata…




Pikirankupun 
langsung terbang ke bagian barat pulau Sumatra sana, dimana seorang
wanita lembut namun perkasa  tak putusnya menemaniku dengan doa,
Ibunda

keluarga besarku


para guru, yang telah membesarkanku dengan ilmu  dan kepercayaan

sahabat-sahabatku dimana saja berada

ya,

orang-orang yang amat
berarti dan telah menjadi semangat bagiku



Untuk semuanya

dari lubuk hati

Terimakasih…























Monday, August 1, 2005

Puisi: Pelukan pagi




Pelukan pagi

Subuh beranjak
suara manja dari bermimpi
bawaku ke bantalmu
pelukan rapat redakan igau
kembali ke sunyi
nafas teratur

Biarkan bunda membelai
menatapmu permata
merenung akan engkau
yang tumbuh melesat
bahagia dan sehat
dengan ijinNya

Tahukah kau intan
dengan hadirmu bunda belajar
merajut takjub
menempa raga
menuai bahagia
selalu

Nyaman dirimu dipelukku
Syukurlah
bundapun bahagia

Tetapi ketahuilah bunga hati
bundamu ini merasa berarti
menjadi berani
tak kenal lelah
percaya diri
tak putus mencari cinta Robbi
karena boleh
karena dapat
memeluk dan menatapmu
seperti pagi ini

Merasakan getar cintaNya
tak tertandingi


Kanazawa, 29 July 2005
Herwina Hanif


Monday, July 25, 2005

Wednesday, July 20, 2005

Hanya mama yang ada di hatinya





                   Rasa bersalah itu tak berhenti menghantuiku. Berawal dari “pertengkaran” tadi malam dengan Jilannisa, putriku semata wayang yang berumur tiga setengah tahun.Lebih tepatnya, kekurangsabaranku menghadapinya. Walaupun sebenarnya aku tahu bahwa ia hanya berusaha mencari perhatian lebih jika aku pulang kerumah terlalu malam, apalagi telah mendekati jam tidurnya, kali ini aku telah gagal mengendalikan diri dan terpancing. Setelahnya aku merasa terlalu lemah dan bersalah.


Sebenarnya, aku tidak membentaknya telalu keras, tidak pula sampai memukulnya, tetapi kata-kataku telah keluar dengan deras dan raut wajahku pun tentu telah mengeras, menyesali perbuatan ini dan itu yang dilakukanya. Tentu saja ia kecewa, seperti pula diriku pada saat yang bersamaan. Bahkan rasa kecewa bercampur sesal itu menjadi lebih hebat lagi sekarang. Tak ada habisnya kuberfikir dan menyesali. Kenapa aku tak bisa sabar hanya satu jam saja sebelum anakku tertidur ? Bagaimana kalau memorinya merekam terus peristiwa itu dan dimatanya aku ini adalah mama tidak perhatian padanya ? Bagaimana kalau aku terlanjur dicapnya sebagai mama yang pemarah ? Yang tidak mengerti dirinya ? Padahal aku telah terlalu banyak meninggalkannya di sekolah agar secepatnya bisa menyelesaikan sekolahku sendiri dan hanya bersama papanya dari pagi hingga malam, hampir setiap hari ? Bukankah setelah semua kenyataan ini berusaha diterimanya aku seharusnya menjadi lebih sabar, manis dan lemah lembut terhadapnya ? Kenapa aku tak mampu melakukan semua itu demi permata hatiku sendiri, hanya dimenit-menit terakhir sebelum mata indahnya terpejam direngkuh mimpi?


Kusadari bahwa setelah sekian jam berpisah, yang kami berdua ibu dan anak inginkan adalah pertemuan penuh kerinduan dan kebersamaan yang indah saja. Kenyataannya semua itu hanya terjadi pada tahap awal. Kejadian selanjutnya adalah bermunculannya aneka trik dari anakku untuk mengerjakan hal-hal yang tak kuperbolehkan lagi saat itu: menyalakan lagi televisi pada saat seharusnya ia pergi tidur, membawa beraneka mainan ke atas kasur, membaca atau minta dibacakan lagi buku cerita kesanyangannya, padahal lampu telah diredupkan. Pokoknya semua hal yang tak seharusnya lagi dilakukannya kecuali tidur, karena besoknya ia harus bangun pagi dengan jam tidur yang cukup. Yang lebih utama lagi adalah karena sebenarnya dia sudah sangat lelah dan mengantuk.


Rasa lelah dan kantuk yang juga mulai menyerangku, berbaur dengan kecemasan bahwa anakku akan semakin lelah dan tak cukup istirahat, telah membuatku kalap dengan mengeluarkan kata-kata yang mengalir deras bak air terjun. Isinya tentu saja adalah larangan, ancaman, dan ceramah singkat atas tindakan-tindakan ekstrimnya. Diakhiri dengan perintah agar dia menghentikan seketika semua aksinya yang tidak diperlukan saat itu. Dilengkapi dengan volume yang lebih tinggi dari biasa. Reaksi yang muncul, tentu saja tangisan yang pilu, hanya sesaat sebelum akhirnya ia tertidur dalam isak dipelukannku, yang membuatku semakin panik dan menyesal. Ya Ampun! kenapa anakku harus tidur setelah kumarahi dulu? Padahal, dengan segala keterbatasan waktuku, aku seharusnya tak pantas bersikap seperti ini, bukankah kami baru saja bertemu kembali satu jam yang lalu ? Kalau sudah begini, apakah cukup kata maafku baginya?


Sesungguhnyalah, aku amat sangat tak ingin ada kejadian seperti itu antara aku dan putriku. Orang lain mungkin akan menganggapku terlalu cengeng dan berlebihan dengan kecemasanku menyikapi hal ini. Tapi bagiku, anak dan keluarga adalah segalanya. Aku dan suami telah berfikir matang sebelum memutuskan memilikinya. Tuhanpun telah mengabulkan doa kami akan kehadiran seorang anak setelah kami merasa cukup siap lahir batin. Aku begitu mencintai, begitu ingin menjadi seorang ibu yang baik baginya. Kudambakan kehadiarannya dirahimku dengan persiapan akan waktu dan cinta. Kukandung ia dengan takjub, rasa sayang dan doa-doa dimalam sunyi saatku ingin berdekatan dengan sang MAHATINGGI. Kurindukan amat sangat pertemuan kami didunia barunya saat aku melahirkannya, yang entah pertemuan keberapa bagi kami karena selama ia didalam kandunganku kami telah terbiasa saling berbicara dengan bahasa sentuhan dan tepukan yang akan dibalasnya dengan tendangan berpola. Kususui ia dengan kasih dan ketakjuban akan karunia yang kuasa sehingga tubuhku dengan begitu anehnya menyesuaikan fungsi agar bisa menghidupinya. Kupeluk, kubelai, kubisikkan dengan penuh kasih; doa dan lagu pengantar tidurnya. Kucintai ia dengan segala rasa yang dianugrahkanNYA sambil senantiasa bersyukur akan cintaNYA.


Tapi sebagai anak maupun orang tua, kami punya berbagai keterbatasan, diantara tebaran kebahagiaan dan cinta yang dibawa anakku, ada saatnya ia menjadi cengeng atau memprlihatkan kenakalan yang biasanya aku sikapi dengan mencari tahu dari buku, teman dan gurunya, bagaimana menghadapi setiap proses perkembangannya dan variasi perlakunya dengan kecendrungan yang berbeda-beda, searah dengan pertambahan umurnya. Sejauh ini semua dapat berjalan dengan baik. Akupun menikmati semua proses yang ada sebagai sebuah karunia, dalam suka dan dukanya.


Tidak selamanya semua berjalan sesuai rencana. Apalagi dengan segala keterbatasanku saat ini dalam berinteraksi dengannya. Pertemuan kami yang mungkin hanya satu sampai dua jam sebelum dia jatuh tertidur, beberapa jam setelah bangun pagi, bahkan akhir-akhir ini tak sempat kubersamanya di hari libur sekalipun. Usahaku untuk secepatnya menyelesaikan program doctor di negeri sakura ini agaknya telah terlalu banyak menyita waktuku sebagai ibu.


Walaupun senantiasa dihantui perasaan bersalah karena keterbatasan waktuku untuk bersama Jilannisa, pengertian luarbiasa yang diberikan suami dan gadis kecilku ini, yang tampak bisa menerima keadaan kami untuk sementara ini, telah membuatku bertekat untuk menyelesaikan kuliah secepatnya. Tak sabar rasanya menunggu saat dimana aku akan bebas merdeka menumpahkan segala waktu dan cinta buat keluarga. Namun kendala selalu ada. Terutama disaat-saat aku lepas kendali seperti malam itu.


Tak hentinya aku menyalahkan diri. Kasihan sekali kau anakku, setelah berpisah sangat lama, ketika akhirnya dipenghujung malam kita bertemu, mama tak mampu pula bersikap sabar…, batinku sepanjang hari ini. Rasa sesalku tak kunjung hilang walaupun pada akhir pertengkaran tadi malam kami telah saling memaafkan, lalu berangkat tidur dengan saling berpelukan seperti biasa. Tidak juga karena tadi pagi kami telah kembali lebur dalam canda, pelukan dan ciuman, melihat lagi gelak tawanya yang lepas. Bahkan tak hilang juga ketika akhirnya kami harus berpisah lagi saat gadisku melambaikan tangan dengan ceria dipintu sekolahnya, sampai aku sudah harus bersiap pulang kerumah kembali malam ini. Ugh!…penyesalan yang panjang, untuk sebuah ketidaksabaran, pikirku akhirnya, menghentikan perenungan ini. Terngiang komentar suamiku tadi pagi yang sebelumnya kuharapkan akan sedikit membantu mengurangi sesalku. Tapi ternyata tidak menolong. Dia hanya memintaku untuk lebih menahan diri. Tentu saja, siapa yang tak ingin begitu!,


Menjelang pukul sembilan malam, saatnya pulang kerumah, dan memulihkan hubungan dengan gadisku. Dengan tidak sabar aku membuka jalur chating di komputerku, lalu menghubungi suamiku yang memang selalu meng-online-kan messengernya di rumah.


 “Buzz!”


“Papa, mama sudah bisa pulang, jemput pliz, mohon bantuan ya pa, kalau nanti Jilan macam-macam lagi, tolong diingatkan, biar tidak terlanjur marah lagi…, sedih deh kalau marah…sakit dan penuh penyesalan…”, tulisku minta bantuan.


“Mama, berusahalah lebih sabar menghadapi Jilannisa…, walaupun sepulang sekolah waktunya lebih banyak dihabiskan bersama papa, hanya mama yang ada dihatinya…”, balasnya. 


Memang ia sudah sejak lama tak habis pikir dengan sikap Jilannisa yang sangat dekat padaku, walaupun dengan intensitas pertemuan kami yang lebih sedikit dibandingkan dengannya. Biasanya aku akan menjawab sambil bercanda, karena sebenarnya akupun tak kalah heran namun amat bersyukur.  


“Mungkin aku bawaannya lebih ekspresif, sehingga Jilan dapat merasakan betapa besar perhatian dan sayangku padanya”, jelasku setiap suamiku keheranan.


“Tring..!”, suara ada pesan masuk tiba-tiba menghentikan lamunanku. Suamiku rupanya masih melanjutkan tulisannya.


“Dari tadi sore sepulang sekolah, Jilan bermain dengan sterika kecilnya, menyetrika dan melipat baju-bajunya yang baru diangkat dari jemuran, katanya dilakukannya untuk membantu mama. Saat dia menggambar dibukunya, gambar wajah mamalah yang dibuatnya. Ketika makan dengan lahap, dia bayangkan mama akan senang mengetahuinya. Ketika mandi, dia bilang akan menceritakan pada mama nanti. Dia juga sudah siap dengan hadiah buat mama sejak dari sekolahnya tadi. Cepatlah pulang, Jilan sudah memasang sendiri sepatunya, kelihatannya sudah tidak sabar ingin menjemput!. Kami tunggu di tempat parkir, 5 menit lagi!”.


Lambang sign out langsung muncul dilayar.


Aku terpaku. Ingin rasanya kumenangis… Gadisku, ia memikirkanku sepanjang hari. Aku sibuk menyesali diri sementara ia juga sibuk berfikir dan beraktifitas, yang semuanya dihubungkan dengan aku. Aku mencemaskan bagaimana kesannya akanku, sementara dia sibuk memikirkan pula perbuatan apa yang akan menyenangkannku. Ya Tuhan…!


Kubereskan perlengkapan kerja yang harus kusambung lagi dirumah setelah dua penghuni lainnya terlelap nanti. Yang aku inginkan saat ini hanya menemui putriku lalu memeluknya. Melepaskan kerinduan seperti telah bertahun-tahun tak bertemu. Rindu yang memang selalu terpelihara seperti itu karena sedikitnya waktu kami untuk bersama setiap hari.


Baru saja kubuka lapisan terakhir pintu gedung, Jilan yang rupanya telah turun dari mobil langsung menghambur kepelukanku.


“ Mama…aitakatta yoo…!(Mama…, aku kangen deh…!)” teriaknya, lalu memelukku rapat seperti biasanya.


Kubalas pelukannya, kuciumi wajah cantiknya sepuas hatiku. Ia menikamatinya, tertawa kesenangan. Apakah aku pernah bisa puas menciumimu anakku? Wangi shampo dan sabun mandi yang segar tercium semerbak dari tubuh gempalnya, pertanda ia telah dimandikan suamiku malam ini*, tentu dengan teramat sabar, mengimbangi keaktifan anak kami diantara kelelahannya sendiri oleh pekerjaan. Bahkan hari-hari belakangan ini suamiku terlihat telah “mampu” mengucir ekor kuda rambut panjang anakku. Pekerjaan yang tidak gampang bagi seorang ayah, yang biasanya sengaja kusempatkan dulu sebelum meninggalkan mereka di pagi hari. Kemajuan yang sangat melegakan bagiku. Tak bisa kubayangkan sendainya gadisku seharian bermain dengan papanya dihari libur, dengan rambut panjang dan kekusutan yang sama sejak ia bangun dari tidur.


“Wah…papa sekarang jadi pintar mengikat rambut Jilan, lihat!”, pujiku senang dan bangga. “Terimakasih ya…!” kataku tulus, melirik suamiku yang menunggu kami di belakang kemudinya. Ia membalasnya dengan mempermainkan mata, dikedip-kedipkan, ikut bangga rupanya.


Anakku mengendorkan pelukannya. Tangan kanannya yang sedari tadi memegang sebuah botol plastik, dan belum sempat kuperhatikan, di sodorkan kearahku.


“Apa ini sayang?” tanyaku sambil menatap dengan teliti botol itu.


“Hai !, presento !, mamano tameni motte kitta no… ! (Yop!, hadiah!, aku bawa khusus buat mama…!)” Jilan bicara sambil tersenyum dengan mata kejoranya, menatapku bangga.


Jilan memang punya kebiasaan memebawakan hadiah apa saja bagiku dan papanya. Biji-bijian atau daun-daun kering berwarna warni, ranting atau batu unik yang ditemukannya dalam kegiatan jalan-jalan pagi disekolahnya. Pokoknya ada saja yang menjadi hadiahnya. Tapi kali ini, hhmm…? kutatap botol plastik bekas yang didalamnya berisi pasir dengan agak bingung.


“Sebenarnya pasir itu tak boleh dibawa pulang, itu dari taman bermain sekolahnya, tapi Jilannisa bersikeras sehingga gurunya akhirnya mengizinkan !” suamiku akhirnya bersuara, melihat tanya dimataku.


“Saat papa menjemput ke sekolahnya, temannya Asami chan rupanya ingin melihat botol itu, tapi dengan tidak sengaja menumpahkan pasirnya sehingga berserakan di halaman sekolah”, tambahnya lagi.


Aku terdiam menatap suami dan anakku bergantian, menunggu.


Syo! Asami chan dame dayo!, mama ni presento agetain gga ya…! (Betul!, Asami chan nakal deh!, padahal ini kan hadiah buat mama…!)” anakku ikut menjelaskan dengan ekspresi marah bercampur mengadu. Bibir bawahnya dimonyongkan kedepan dengan uniknya. Aku ingin tersenyum melihat ekspresinya, juga mendengar logat daerah Kanazawanya yang kental. Tentu akibat pergaulan dengan teman-teman sekolahnya.


“Jilannisa tanpaknya marah dan sedih. Sambil menagis ia berusaha mengumpulkan lagi pasir yang bertebaran dihalaman itu sedikit demi sedikit, memasukkan kembali dengan susah payah ke mulut botol yang kecil itu. Papa yang tadinya ingin membantu malah ikut terkena marahnya, ia ingin melakukannya sendiri…!”.


Jilannisa menatap papanya dan aku bergantian seperti membenarkan.


“Gadis, sayang mama…” bisikku lirih.


Aku kaget, takjub, dan terharu membayangkan anakku telah bersusah payah mengumpulkan pasir-pasir yang berserakan di halaman dengan tangan-tangan kecilnya, hanya agar bisa membawa pulang hadiah yang sudah diniatkannya untukku. Aku, mamanya, yang tadi malam telah tega memarahinya hanya sesaat sebelum ia tertidur!.


Kupeluk anakku, kudekap sekuatnya, kukatakan betapa aku senang dengan hadiahnya. Jilan melepaskan diri dari dekapanku, menatapku lekat, lalu tersenyum teramat manis. Seperti ada rasa lega dimatanya… 


Adakah juga lega dimataku yang basah?




Kanazawa, 17 July 2005


Henny Herwina


***********************************


Catatan:


Kanazawa; nama kota setingkat kecamatan di Jepang


*= Kebiasaan mandi malam lebih umum daripada mandi pagi di Jepang, biasanya dengan berendam didalam bak mandi berisi air hangat.


(Kupersembah buat suamiku Edian Enif. Terimakasih atas limpahan pengertian, pengorbanan, kesabaran dan cintanya. Kamipun sangat mencintaimu papa…, sangat...., selalu...).



Wednesday, July 13, 2005

Saputangan untuk Aceh














 Tiba-tiba saya diminta memberikan pidato dalam sebuah
pertemuan pejabat antar Universitas di provinsi Ishikawa, yang dihadiri pula oleh wakil
dari pemerintahan, pengusaha maupun organisasi kemasyarakatan dalam rangka
pembuatan kebijakan mengenai pelajar/mahasiwa asing di daerah ini. Petugas dari  seksi internasional
Universitas Kanazawa  yang menelepon
saya mengatakan, isi pidatonya boleh apa saja, kesan, pesan, keluhan atau
permintaan saya kepada universitas dan pemerintah, selaku mahasiswa asing.
Syaratnya, harus dalam bahasa Jepang. Wuih, saya telah meninggalkan kelas
bahasa ini sejak tahun 2000 lalu…hm…




Walaupun
sebenarnya waktu saya sangatlah terbatas, setelah meminta
waktu satu hari untuk berfikir, akhirnya saya mengatakan kesediaan,
dengan syarat saya boleh bicara tentang Aceh/Tsunami di Indonesia.
Alasannya, sejak aktifitas
penggalangan dana terakhir February lalu, dan presentasi dalam acara lunch seminar Juni lalu, saya masih senantiasa menaruh
harapan
untuk bisa melakukan sesuatu bagi saudara kita disana. Kali ini, saya
berharap
dengan mempresentasikan Aceh, memperkenalkan keadaan sebelum dan
sesudah
tsunami serta keadaannya saat ini, akan lebih membuka mata mereka akan
situasi
sebenarnya dilapangan, memberikan informasi yang lebih jelas dari media
manapun
yang pernah mereka lihat, dan tentu saja, target akhirnya, akan lebih
banyak bantuan
untuk Aceh.




Kebetulan, saya pernah menulis sedikit tentang perhatian
masyarakat Jepang di provinsi Ishikawa terhadap musibah yang menimpa Aceh dan
telah diterjemahkan oleh sahabat saya dari Koran Yomiuri ke Bahasa Jepang,
jadi saya tinggal menambahkan dibeberapa bagian, maklum, kemampuan bahasa Jepang
saya sangatlah terbatas. Sayapun masih menyimpan dengan hati-hati file vidio
tentang tsunami yang dibuat  dengan
sangat luar biasa oleh rekan PPI Hiroda, serta naskah Surat untuk Aceh
yang ditulis
saudara Yayan Suyana dan Inoue Miki dari Chiba University yang pernah
kami
dapatkan dalam aktifitas pengumpulan dana sebelumnya. Hasil wawancara
singkat lewat telepon dengan Pak Nasrullah di Fukui yang baru kembali
dari Aceh untuk persiapan presentasi sebelumnyapun masih melekat
dibenak saya. Mungkin juga karena Pak Nasrullah sempat heran kenapa
saya akan mempresentasikan Aceh dengan berbagai persiapan, dengan cara
kembali menanyakan apa spesialisasi atau jurusan saya di kampus. Saya
hanya tertawa waktu itu, sambil berfikir, apakah orang dari science
akan terlihat agak aneh kalau ingin ikut kegiatan berbau sosial ? Yosh
!, Saya harus bisa
memanfaatkan kesempatan ini…




Alhamdulillah, presentasi berjalan dengan lancar. Saya
memang bicara tanpa beban, kecuali niat yang tulus agar ini akan ada gunanya
bagi Aceh. Tampaknya “kenyataan” yang saya paparkan lewat video dan pembacaan
narasi penuh perasaan tentang Aceh sebelum dan setelah tsunami, diakhiri dengan
kesan yang tak terlupakan dan rasa terimakasih akan perhatian warga Ishikawa
pada para korban tsunami yang ditunjukan oleh anak-anak, pelajar, orang tua dan segala
lapisan masyarakat yang begitu besar sehingga membuat semua orang merasa satu dalam solidaritas, cukup mengena.




Memang, adalah sangat menyentuh bagi saya  ketika
mengingat lagi seorang anak kecil yang datang
pada kami ditempat pengumpulan sumbangan bagi Aceh di musim dingin January lalu.
Diantara salju yang putih, ia datang kehadapan kami dan ingin
menyumbangkan semua uang yang ia miliki, bahkan sekaligus dengan
celengannya. Padahal
tentulah ia telah menabung dengan susah payah, berharap membeli sesuatu
dengan
menyisihkan uang sakunya. Tapi hari itu, ia merelakannya... bagi Aceh
(Kami bahkan tak tau siapa namamu adik kecil...)




Kekagetan,
ketika kami menerima sumbangan dalam jumlah
sangat besar dari seorang pelajar, yang walaupun sudah diingatkan,
tetap ngotot
mau memberikan, dengan alasan ia benar-benar niat ingin membantu para
korban
Tsunami. Keterharuan, ketika seorang kakek renta yang tertatih membawa
sepedanya ke posko kami dalam dingin, lalu dengan susah payah
mengeluarkan ribuan dari dompet kusamnya...




 Belum
lagi banyaknya
perhatian, kata-kata yang lembut dan menghibur, sampai tangisan dan
pelukan simpati dari
masyarakat pada kami saat itu. Kontras sekali dengan kenyataan akan
tidak adanya
kebiasaan untuk mengungkapkan perasaan secara terus terang dalam
masyarakat
Jepang, apalagi sampai berupa tangisan atau pelukan simpati pada orang
lain.Seorang Ibu tak dikenal memeluk saya yang berjilbab, orang asing
dengan pakaian tak biasa menurut ukuran disini. Tapi ia tak perduli,
bertanya apakah keluarga saya baik-baik saja, betapa ia tak bisa
berhenti menitikkan air mata melihat berita tentang tsunami yang
dilihatnya di televisi. Saya asli Padang, putra Indonesia. Tapi
tampaknya bagi Ibu ini, saya adalah Aceh itu sendiri...Ya, niat kami
memang hanya berbuat sebisanya buat Aceh disaat itu...


Dari peristiwa itu saya menyadari, sebagai
manusia, ketika kita di pertemukan dalam cinta sesama, cinta dan kasih
itu akan menjadi begitu kuatnya, sehingga mampu menembus  dinding yang membedakan negara, agama,
maupun budaya.





             Masih
terdengar isakan beberapa orang ketika saya kembali
ke kursi yang disediakan (padahal mayoritas bapak-bapak). Seorang
professor wanita,
dengan mata merah basah, mengirimkan lembaran tisuenya pada saya, ia
tampak
berusaha keras menghentikan tangisnya. Saya sendiri, memang tak
terhindar dari mata
yang berkaca-kaca, lagi dan lagi. Tak lama setelah itu, saya mendapat
kiriman
saputangan
yang cantik sekali dari mejanya, dihadiahkan untuk saya. Saya
berterima kasih atas
kebaikannya dengan ucapan tanpa suara dan gerakan tubuh karena acara
masih berlangsung. Giliran setelah saya adalah pidato seorang
mahasisawa Komatsu asal Cina, yang bercerita tentang kesannya pada
kegiatan upacara minum teh. Saya pandangi kembali saputangan hadiah itu,
dan kembali,
kesedihan yang teramat dalam
menerpa…







Berfikir tentang Aceh




saudara kita yang kehilangan hampir semuanya




yang masih harus berjuang panjang menata lagi hidup


bertahan tinggal di rumah sementara


menyambung hidup dari bantuan yang sebenarnya hanya mampu untuk membeli satu bungkus nasi sehari





anak-anak yang masih harus sekolah secara darurat




para angkatan kerja yang butuh fasilitas dan kesempatan untuk
memulai lagi hari-harinya




para orang tua




para ibu




balita






Sementara saya masih belum bisa berbuat apa-apa




kecuali mencoba




berusaha mengetuk hati orang-orang yang saya jumpai




dalam setiap kesempatan yang diberikan olehNYA


berharap





mungkin ini akan ada hasilnya




mungkin juga tidak akan berarti apa-apa…




 




Kanazawa, 12 July 2005




 




皆さん、こんにちは。金沢大学のHenny Herwinaと申します。今から、日本で経験した忘れがたい話をお伝えしたいと思います。よろしくお願いいたします。





年の12月、私の故郷、インドネシア・スマトラ島沖で地震と津波が起こり、31万人以上が命を失ったり、行方不明者になったりしています。私はテレビや新
聞で故郷の変わり果てた姿を見て、少しでも地震の被災者の役に立ちたいと、インドネシアの留学生や日本人の学生たちと一緒に募金活動を計画しました。その
募金活動で、私はたくさんの人たちの暖かい心に触れるすばらしい経験をしました。




「スマトラの津波被災者のために、ご支援をお願いします」。1月上旬、私は金沢市
のデパートや金沢駅の前に立ち、募金活動を始めました。初日は、「遠いインドネシアで起こった地震のために協力してくれる人がいるのかな?」と不安でいっ
ぱいでした。しかし、予想は大きく外れました。雪の舞い落ちる中、精いっぱい声を張り上げて募金をお願いすると、たくさんの人が足を止め、募金箱にお金を
入れてくれました。また、募金活動に参加する学生も日増しに増えて行きました。インドネシアの留学生とその家族はもちろん、私の通う大学院の研究室の学生
たちも忙しい研究の合間に自主的に参加してくれました。





る日のことです。デパートの前に立ち募金活動をしているとかわいらしいガラスの貯金箱を抱えた6歳くらいの小さな女の子が私たちに近づいて来ました。小銭
がいっぱい詰まった貯金箱を私たちに手渡すとその女の子はにっこりとほほえみました。私たちは、大切そうな貯金箱を受け取ってもいいのか、少しとまどいま
した。なぜなら、その貯金箱には、その女の子が今まで一生懸命貯めてきたお小遣いが入っていたのですから。しかし、女の子の母親が近づいてきて「このお金
は、娘がおもちゃを買おうと貯めてきたものです。でも、テレビで津波の様子を見て少しでも被災者の役に立ちたいと思っているのです。受け取ってください」
と話してくれました。私は、こんなに小さな女の子が私たちの故郷のことを思ってくれるのかと思うと胸がいっぱいになりました。





方で、一万円札を手に募金に来てくれた高校生もいました。私は、「あの・・・、まだ学生でしょう?こんなにたくさんのお金本当にいいんですか?」と確かめ
ると、「私は本当に被災した方の助けになりたいんです」とお金を入れてくれました。また、ある中年の女性は私たちに近づき、私を抱きしめてくれました。
「家族は大丈夫でしたか?津波の被災者のことを思うと、涙がとまらなくなります」。そう話す女性にやさしく抱きしめられると、私は涙が止まりませんでし
た。





本では、感情を直接的に表現したり、抱きしめたりする習慣がないことは知っています。でも、今回の活動ではたくさんの日本人が私たちに優しい言葉をかけて
くれたり、涙を流しながら心配してくれたりしました。そして、国籍や宗教、習慣の違いがあっても、人間として思い合い、愛する気持ちを持てば、壁を超えて
一つになれるのだと気付きました。このすばらしい経験と日本人への感謝の気持ちは、私の心の中にいつまでも残ることでしょう。












Terimakasih
yang mendalam senantiasa untuk
seluruh keluarga besar Indonesia di Kanazawa atas kerjasama tanpa
pamrih yang telah terjalin, tempat saya belajar teramat banyak, PPI
Ishikawa, PPI
Hirodai, PPI Chiba,
Koizumi san (Yomiuri Shimbun), PPI Fukui, Kedubes RI Tokyo, NIC,
Kanazawa University dan semua  pihak  yang telah
berpartisipasi dalam penggalangan dana buat Aceh di Ishikawa.