Ditengah kesibukan mempersiapkan acara di depan Gedung Bgd. Aziz Chan Padang Sabtu sore itu, sempat kuperhatikan bahwa Bedah GANS kali ini dihadiri juga oleh media cetak (Padang Ekspres) dan elektoronik (Padang TV) yang langsung beraktivitas di lokasi acara. Beberapa guru SMA kenalanku, Para aktifis FLP Sumbar yang telah kukenal wajahnya, Dr. Ratni dari Fak. Ekonomi yang akan menyumbangkan pembacaan puisi juga telah muncul diantara pengunjung lainnya yang telah mulai duduk memenuhi kursi yang tersedia.
Seorang Profesor senior dari Jurusanku Biologi, juga menyempatkan diri untuk hadir. Aku merasa tersanjung dengan kedatangan Profesor yang juga mantan pejabat yang masih sibuk dengan LSMnya ini, Prof. Satni Eka Putra. Sebentar lagi memasuki masa pensiun ternyata tak membuat beliau kekurangan semangat untuk beraktifitas dan memberikan apresiasi pada kegiatan kami kali ini. Kesan sebagai seorang akademisi tulen terlihat jelas dari penampilan beliau, meskipun sore itu beliau tampil memakai baju dari bahan kaos berwarna coklat berlurik yang santai. Pak Ronidin dan Pak Joni-Zikrul Hakim kuminta mendampingi Prof Satni duduk di bangku terdepan. Sebuah buku GANSpun dihadiahkan untuk beliau baca.
Setelah Pak Ronidin menjabarkan bedahannya tentang GANS, Dr.Ike moderator kita segera membuka sesi diskusi. Sesi pertama diberika kepada empat orang untuk bertanya atau berkomentar.
Seorang ibu guru muda yang bernama Lidya, mengaku membaca GANS karena kakaknya membeli buku tersebut sebelumnya. Ia membacanya tanpa sepengetahuan sang kakak yang sedang keluar kota dan menjadi sangat terkesan. Sebelumnya Lidya hanya mendapat gambaran tentang Jepang melalui film seri OSHIN dan buku Kapas Kapas di Langit-nya Pipiet Senja. Pertanyaannya ditujukan kepadaku, terutama mengenai sistem pendidikan di Jepang, dan bagaimana caranya para penulis mengambil hikmah dari kehidupannya untuk dituangkan dalam bentuk tulisan.
Selanjutnya Syamsul Bahri, mahasiwa IAIN Imam Bonjol bertanya padaku (mereka memanggilku Uni Henny), tentang apa alasan atau sebab aku mulai menulis, dan apa triknya membuat cerpen (Syamsul belum membaca GANS sebelumnya).
Alex, seorang dosen muda dari Fak. Sastra UNAND menanyakan apakah ada pendekatan yang bersifat dakwah islami di GANS, sementara ia punya teman yang sedang berada di Jepang dan selalu berkomunikasi lewat email, sangat kesulitan mendapatkan makanan halal, dan nyaris jadi vegetarian (Alex juga belum membaca GANS sebelumnya).
Selanjutnya Zul Afrita dari FLP Sumbar menyebutkan bahwa sebelum GANS, informasi yang diterimanya tentang Jepang, tak jauh dari masalah politik, ekonomi dan teknologi belaka. Jadi GANS amat bermanfaat baginya karena dapat memberi pengetahuan baru mengenai sisi kehidupan lainnya di Jepang. Lebih jauh Zul mempertanyakan motivasi menulisku.
Hampir semua pertanyaan ditujukan kepadaku namun untuk menjawab pertanyaan Alex, kuberbagi dengan Pak Ronidin, karena dari materi bedahannya tentang GANS kuperkirakan beliau juga sudah tahu betul, bahwa banyak sekali muatan dakwah dan informasi keislaman di Jepang yang terkandung didalam GANS. Sedikit beliau mengulas kembali tulisan mengenai berpuasanya keluarga Mba Rose Firdausi dalam Semoga kujelang Lagi, pertimbangan untuk mengkonsumsi makanan halalnya Mba Rieska dan Mba Gina Kumara melalui Strawberry Cake dan Halal, serta beberapa contoh lainnya. Sedangkan pertanyaan Lidya, Syamsul dan Zul Afrita kuusahakan untuk dijawab sekaligus dalam beberapa poin. Bahwa tulisan di dalam GANS adalah kumpulan kisah dan bukan cerpen, sempat dijelaskan Pak Ronidin saat menjawab pertanyaan Alex.
Semakin sore, peserta bedah buku semakin tampak antusias. Sementara waktu yang terbatas membuatku mulai cemas karena setelah GANS, akan dibedah pula buku Aiyah dari penerbit Pena. Dengan kode mata dari mba Rina (panitia pesta buku) yang berarti masih aman, kami sampai pada sesi kedua. Moderator kembali memberi kesempatan pada empat orang berikutnya untuk bicara.
Prof. SatÃn Eka Putra yang mengangkat tangan segera diberi kesempatan berikutnya oleh Dr. Ike.
” Silahkan Prof...” ujarnya dengan senyum manis.
Prof Satni berjalan menuju mikropon.
”Saya tidak akan bertanya, tetapi menyampaikan kesan. Saya baru membaca dua kisah di dalam GANS yang dihadiahkan Pak Joni, Mata Hati dari Abu Aufa, dan Saputangan Untuk Aceh-nya Henny. Saya pilih membaca tulisan itu dulu, terutama karena Henny yang mengundang saya kesini. Saya sangat terkesan dengan Henny dan rekan-rekan. Saya belum pernah ke Jepang, tapi ke negara lain didunia telah beberapa kali. Saya punya banyak rekan yang juga bersekolah diluar negeri, tapi yang kembali dengan membawa kesan mendalam dan dituangkan dalam tulisan yang indah dan bermanfaat bagi orang banyak seperti Henny cs. baru saya temukan hari ini!”
Hadirin bertepuk tangan. Aku mendengarkan setiap perkataan pak Satni dengan dada bergemuruh. Entah apa namanya perasaan seperti ini. Ada rasa takjub, haru dan syukur.
”Sempat saya membuat coretan kecil dibagian belakang poster yang saya terima, maka dengarkanlah puisi yang saya persembahkan untuk para penulis GANS!”, Prof Satni melanjutkan.
Kini Kuberi
Di ufuk mentari pagi
Semilir angin sepoi bernyanyi
Sakura wangi berseri
Kusentak lelap kuhanyut mimpi
Kurentang langkah
Kumelangkah
Berlari dan berlari lagi
Mendapat yang kucari
Tidak disini
Kini kukembali
Kini kuberi
Kini kudisini
Kuberi yang kuisi, untuk berbagi
”Puisi ini untuk menghargai kreativitas para penulis GANS!” ujar Prof Satni.
Hadirin kembali bertepuk tangan. Aku tak mampu berkata-kata. Kulirik Dr. Ike dan Pak Ronidin penuh arti.
Prof Satni, beliau adalah bagai Bapakku yang paling senior di Biologi, seorang ahli Perilaku Hewan, Pengendalian Hama, jauh dari dunia seni, dan hari ini beliau sudi datang dan duduk di depan kami pembicara, membaca GANS, lalu sempat pula menuliskan puisi dalam hitungan menit untuk para penulis GANS. Sahabat, bisakah dikau membayangkan bagaimana perasaanku saat itu? Ingatanku kembali terbang pada Mba Nesia, Mba Irma, Pak Adi, Pak Ferry, Mba Aan, Amba Ulya......dllnya, sahabatku di FLP Jepang....
Sahabat dengarlah! sahabat lihatlah! apa yang terjadi di depanku kini...” aku mengadu pada para sahabatku di dalam hati, ingin mencurahkan rasa yang berkecamuk.
”Saya lanjutkan lagi”, sambung Prof Satni menyentakkanku.
Kusemai Kutuai
Kutapaki tangga ketiga
Kutatap mentari, kupungut sakura
Kuhadang badai, tak bereaksi
Kuisi pundi, tak berisi
Kugapai capai -sampai
Kusemai-kutuai
Kubelah-kupilah
Kulebur-kutabur
Kubawa kupanjat doa
Buat nusa, agama dan ayah bunda
Padang, 3 Mei 2008
Satni Eka Putra (ttd)
Prof Satni kemudian langsung menyerahkan kertas coretan puisinya ke atas panggung sambil menyalamiku, Pak Ronidin dan Dr. Ike.
Betapa aku ingin mengatakan sesuatu yang berarti bagi beliau, namun yang keluar dari bibirku hanya tiga kata itu saja.
"Terima kasih Pak...", ujarku takzim.
Dan mataku menghangat lagi.
(bersambung)