Saturday, December 19, 2009

Jumlah muslimah berjilbab menurun drastis?

Berapa persen sih sebenarnya penduduk Indonesia yang muslim?”, suara Wee, mahasiswa S3 dari Kagoshima University yang asal Thailand itu membuatku tertegun sejenak karena belum mempunyai data yang pasti.

 

“Hm...perkiraanku, mungkin sekitar 80 % persen atau lebih”, jawabku sambil menatap dengan makna minta persetujuan pada Oskar, panitia dan pemandu kami dari Biologi LIPI.

 

 

 

 

 

 

“Yup, sekitar itulah”, suara Oskarpun terdengar mendukung.

 

Saat itu aku dan  rekan dari beberapa negara yang kebetulan dari Asia saja  tengah menyusuri jalan setapak untuk mengamati dan melihat koleksi semut yang dimiliki area kawasan wisata Cibodas

di hari terakhir The 7th Anet International Conference on Ant 2009. Kali ini acara yang dikoordinatori persatuan para Myrmecologist dunia itu memilih  Indonesia sebagai tuan rumah, dengan Dr. Roshichon Ubaidillah dari LIPI sebegai ketua penyelenggara. Sejak subuh Presiden ANet terpilih dari India Dr. Himender Bharti, peneliti senior dari Jerman Dr. C Bhruel dan konsultan John Fellowes dari  Inggris telah berangkat ke Gunung  Gede. Rombongan kami yang secara tak sadar telah terpisah dari Prof. Yamane yang pakar taksonomi semut itu membuat perbincangan menjadi lebih santai dan topiknyapun mulai beraneka.

 

Hanya aku dan Oskar yang mewakili Indonesia dalam rombongan kecil kami. Selain kami ada Wat dan Wee dari Thailand, Jung dari Singapura dan Oshoishi yang namanya berarti batu kurus kalau bahasa Jepangnya diterjemahkan lurus-lurus saja. Melihat arah yang telah terlewati,  Oskar menjelaskan bahwa rute kami akan agak berbelit untuk kembali ke Guest House. Semua mengatakan tak jadi masalah. 

 

“Memangnya kenapa Wee? Kalau di Thailand penduduknya yang muslim berapa persen?”, ujarku malah balik bertanya sambil masih penasaran dengan pertanyaannya.

 

“Hanya 4 %!”, jelas Wat, seniornya Wee yang masih tampak sangat muda tapi sudah menjadi dosen di Prince of Sonkla University Thailand. Ia berjalan paling dekat denganku.

 

“Oh, tak apa-apa, aku hanya surprise dengan apa yang kulihat” jelas Wee dalam bahasa Inggris berlogat Thailandnya yang khas. Matanya yang sedari tadi tetap awas menyusuri jalan, waspada kalau-kalau semut bergenus Aenictus yang menjadi objek penelitiannya melintas dalam jalur perjalanan kami, sekilas menatap ke arahku.

 

“Maksudnya?” kejarku pada Wee, sambil melirik Oskar.

 

“Soalnya sebelum ini, aku telah berkunjung ke Indonesia pada tahun 2004. Sekarang, setelah lima tahun, aku melihat presentasi wanita Indonesia yang menutupi kepalanya (maksudnya muslimah yang memakai  jilbab red) ternyata telah menurun signifikan, mungkin sampai sekitar 50 %!”, ujarnya yakin.

 

“Begitukah menurutmu? Maksudmu jumlah  wanita yang memakai penutup kepala seperti yang kupakai ini ya?”, selidikku, setelah sebelumnya sempat kaget dengan komentarnya itu.

 

“Ya! Dari pengamatanku setalah dua kali berkunjung ke Indonesia, aku merasa seperti itu”, Wee berkata yakin.

 

“Yaaah, Wee...terus terang saat ini aku tak punya data yang pasti. Tapi, terima kasih karena kamu telah menyampaikan kesanmu yang jujur tentang muslimah di Indonesia yang sempat kau amati. Ketidatahuanku akan perkembangan ini, mungkin antara lain karena aku sendiri sehari-harinya berdomisili di Padang-Sumatra Barat yang dalam keseharian dan kegiatan formalnya telah terbiasa dengan para wanita yang senantiasa memakai jilbab, tak begitu menyadari hal ini. Minimal untuk pegawai dan pelajar wanita, kau akan melihat pemandangan yang berbeda. Jumlah mahasiswi berjilbab juga lebih dominan di universitas Andalas tempatku bekerja saat ini . Tapi... bisa jadi tidak demikian di kota-kota yang lebih besar atau jika kita melihat datanya secara nasional”, jelasku panjang lebar.

 

Wee dan yang lainnya tampak mengangguk mendengar penjelasanku. Mungkin berusaha mengerti saja, atau masih bertanya-tanya dalam hati. Soalnya hatiku sendiri jadi mulai bertanya-tanya tentang bagaimanakah kondisi sebenarnya.

 

Perlahan, jalan yang kami lewati mulai mendaki. Beberapa pohon besar dan danau dengan bunga-bunga yang indah menjadi pemandangan di kiri kanan jalan. Beberapa pengunjung tempat wisata terlihat membentangkan tikar untuk lesehan di sebuah danau yang bening airnya. Semut berjenis Myrmicaria  banyak kami temukan melintas disepanjang perjalanan. Sepintas lalu, tampaknya semut berwarna coklat dengan dua internodus yang khas ini termasuk dominan dikawasan Cibodas.

 

“Tapi Mbak Henny, kalau di luar Sumbar mungkin memang kita bisa melihat presentase yang berbeda Mbak...”, tambah Oskar, sambil berjalan lebih cepat menyusul langkahku.

 

Aku menatap Oskar dengan gelengan dan ekspresi ketidaktahuan dan ketidakpastian. Yang jelas dadaku mulai dijalari rasa perih ketika menyadari kesan yang didapatkan Wee tentang muslimah, hanya setelah beberapa hari ia tinggal di Indonesia tahun ini.

 

Penilaian Wee mungkin benar, mungkin juga salah. Tapi setidaknya aku menjadi tahu, bahwa pakaian muslimah yang khas dan Islami telah dijadikannya sebagai salahsatu indikator kondisi umat muslim di negara ini.

 

Jika kucoba mencermati lebih jauh, suatu saat, prediksi Wee bisa saja mendekati kenyataaan. Bukankah secara lebih sederhana kita dapat melihat sendiri di media cetak dan elektronik bahwa persentase wanita muslim yang berpakaian muslimah tidaklah besar? Sebaliknya wanita dengan aurat yang tak dilindungi dengan sangat bebas muncul di media yang dapat diakses siapa saja dan dari umur berapa saja, pada jam tayang yang mana saja di Republik yang mengaku mempunyai komunitas muslim terbesar ini. Berapa banyak tayangan Islami yang bisa kita harapkan? Betapa minimnya jumlah media cetak yang benar-benar meneruskan informasi dan mampu menggerakkan ummat Islam sendiri agar bangkit dari keterpurukan? Sungguh, aku mendapat pelajaran berharga dari percakapan ringan dalam upaya mencari dan mengenal jenis-jenis semut Cibodas siang itu.

 

Terima kasihku ya Allah, Engkau begitu penyayang....aku senantiasa diingatkan, dan kali ini melalui interaksi dengan rekan-rekan dari negara lain. Mereka tentunya mendengar dan telah tahu bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah muslim yang sangat besar. Dan ketika kenyataannya tidak sesuai dengan yang mereka lihat di lapangan, wajar saja jika mereka jadi bertanya-tanya”, bathinku.

 

Percakapan dengan Wee senantiasa berputar-putar dikepalaku sampai aku menuliskannya pagi ini. Sementara itu kekhawatiran barupun datang ketika memikirkan diri. Walaupun telah berpakaian Islami,  aku masih sangat kurang ilmu untuk menjadi lebih baik dimata Allah, sering terbawa arus kesibukan rutin, sangat kurang usaha untuk berjuang  menerapkan nilai-nilai Islam secara optimal, bahkan bagi diri dan lingkungan terkecilku. Astagfirullah...

 

Padang, renungan di awal tahun Baru 1431 H