Rating: | ★★★★ |
Category: | Other |
Hari ini cukup special karena berkesempatan meliput dan wawancara singkat
dengan seorang novelist dan naturalist terkenal C.W.Nicol. Karyanya antara lain adalah: From the root of Africa, Harpoon, Japan: the cycle of life, Moving Zen: Karate as the way to Gentleness, Ayukawa: a whalerstown: whales and whalers: Do the Japanese really eat whales
Pria bertubuh besar dengan wajah yang selalu kemerahan dan brewokan
ini di Jepang juga dikenal dengan sebutan Akaoni (Red Devil). Ia
adalah seorang penulis yang terkenal vokal untuk urusan perlindungan
terhadap kelestarian hutan, dan penangkapan ikan paus yang kontroversial
di negara ini. Ia juga aktif sebagai penulis cerita anak, menerbitkan
beberapa buku masakan, pembuat film dokumenter, karateka, konsultan untuk
masalah lingkungan dan sebagai pembicara tentang lingkungan
didalam dan luar Jepang (tempat tinggal tetapnya yang dipilihnya sejak
20 tahun yang lalu). Namun gelar yang sepintas terkesan menyeramkan akan dirinya
akan sama sekali terlupakan bila sudah mendengar langsung tuturnya tentang hutan, terutama hutan miliknya di Kurohime, Nagano,
Jepang, yang diberi nama Afan Mori. Afan Mori adalah sebuah bukit yang
dibelinya, kemudian diisi dengan aneka jenis pohon, burung dan
serangga, sarang lebah dan sebagainya, demi menciptakan sebuah hutan
yang layak bagi aneka tumbuhan dan binatang, sekaligus sebagai
"barrier" agar binatang buas, seperti beruang liar tidak masuk
kepemukiman dan menjadi ancaman bagi penduduk. Kegiatan ini
berawal karena rasa frustasinya dengan keadaan hutan Jepang yang semakin hari semakin menyedihkan.
Sebagai pembicara utama dalam symposium bertemakan "Hey, Mari Kehutan" yang diselengarakan di gedung kebudayaan Kanazawa City, Rabu sore ini, Nicol dengan santai bercerita tentang biografinya, alasan kenapa ia
memutuskan Jepang sebagai tempat tinggal, diakhiri dengan himbauan
kepada pemerintah dan semua orang agar menyadari bahwa merusak hutan,
tidak hanya merusak ekosistim tumbuhan, tetapi juga mahkluk hidup
lainnya yang tergantung pada kealamian hutan, seperti beruang, aneka
burung dan serangga, bahkan ikan. Hutan di Jepang telah banyak ditebang
secara serampangan dan diganti dengan pohon dari jenis Conifera yang
menyebabkan menurunnya biodiversitas secara drastis, atau karena
banyaknya pembangunan dam yang merusak lingkungan alami. Pemutaran
vidio selama beberapa menit dalam presentasinya yang berdurasi 1 jam
tentang Afan Mori diiringi dengan suara kicauan burung yang diambil
tanpa editing dari "forest"nya, memberikan kesan khusus. Kicauan
burung, adalah salah satu keindahan suara alam yang belakangan ini telah
menjadi suara langka yang sukar untuk didengarkan ditempat lain di
Jepang, di daerah hutan sekalipun.
Setelah pembicaraan Nicol, acara dilanjutkan dengan diskusi antara beberapa tokoh masyarakat yang dipimpin, Dr. Naoto Kamata dari Kanazawa University. Peserta berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari pemerintahan, LSM, departemen kehutanan, sampai wartawan. Anehnya, pembicaraan dalam diskusi mereka malah terkesan tidak mendukung himbauan Nicol, tetapi sibuk
berargumentasi tentang program yang sedang mereka jalankan, bagaimana
kesulitan dan upaya terbaik memanfaatkan kayu, terutama pembicara dari
bidang kehutanan. Geofrey Consolvo, staff pengajar di COE
program Kanazawa University mengomentari bahwa pembicara dari kehutanan
terkesan tidak bersahabat dengan lingkungan dan sesi diskusi terasa
membosankan, apalagi pengunjung tidak diberi kesempatan mengeluarkan
pendapat atau bahkan sekedar bertanya. "Seperti program talk show yang
sudah diatur", Linawati, mahasiswa asal Indonesia menimpali. Acara ini
disponsori oleh Stasiun Televisi Kanazawa.
Ditanya pendapatnya mengenai pengelolaan hutan di Indonesia, setelah tertegun sesaat, Nicol akhirnya menyarankan , "Indonesia, jangan jual hutanmu pada Jepang!". Beliau ikut prihatin tidak saja dengan keadaan hutan di
Jepang, Ethiophia, Canada dan beberapa negara yang pernah menjadi
tempat tinggalnya, tetapi juga hutan Indonesia, Malaysia , Cina dan
Filipina yang telah memenuhi 80 % kebutuhan belanja Jepang akan kayu,
namun belum melaksanakan aturan standar penebangan hutan dengan benar
demi menjaga kelestarian hutan itu sendiri.