Wednesday, April 29, 2009

Hina Ningyo (Hadiah untuk gadisku) 3

 

"Are? Korewa brando desyo...!" pekik Ogawa san tetangga kami terheran-heran, ketika aku sengaja menelepon dan memintanya datang ke apartemenku keesokan harinya.

Beliau lebih heran lagi ketika kujelaskan bahwa hadiah itu diberikan oleh orang Jepang kenalan kami ketika dulu sama-sama dirawat di rumah sakit.

"Aneh ya..., biasanya Hina Ningyo dibelikan oleh kakek dan nenek untuk cucu perempuannya. Lalu nanti orang tua si anak akan mengembalikan pemberian itu dalam bentuk lain, uang misalnya, secara berangsur-angsur...," jelasnya.

"Kami ingin mengembalikannya saja Ogawa san..."

"Hm...mungkin tak bisa lagi..."

"Begitukah? Kenapa? Kami sangat berterimakasih tapi tak dapat menerimanya karena..."

"Matte! Apakah Atsuko san itu, wanita yang beberapa hari lalu juga datang kesini saat saya dan anak saya Akiko san melihat bayimu?"

"Benar"

"Hmm... terus terang saya agak khawatir dengan kehadirannya di rumahmu saat itu. Ia tampak berani dan lancang. Masaka, ia mau mencoba menumpang menginap di rumahmu hanya gara-gara salju yang deras? Dia juga merokok dengan santainya sementara ada bayi dan rumahmu kecil begitu, benar-benar tidak pantas! Apa dia sering kesini ?"

"Hanya akhir-akhir ini, sudah dua kali sejak Jilan lahir... Kami juga agak kebingungan dengan kehadirannya yang tidak biasa Ogawa san, makanya kami ingin mengembalikan agar tak ada urusan lagi dengannya. Kami menghawatirkan anak kami..." aku menjelaskan dengan pedih, apalagi setelah mendengar pendapat tetanggaku ini.

"Saya sarankan, ceritakan saja pada senseimu, agar ia menyurati wanita itu secara baik-baik!"

Pada awalnya aku amat tidak enak hati untuk melibatkan Nakamura sensei Profesor pembimbingku, terutama karena masalahku kali ini bersifat pribadi, tak ada kaitannya dengan studiku di Universitas Kanazawa. Tapi karena merasa tak ada jalan lain, akhirnya aku menuruti saran Ogawa san. Nakamura sensei yang memang selalu sangat memperhatikan aku dan keluarga, kemudian meminta waktu untuk bertemu Ogawa san di rumahnya agar mendapat keterangan yang lebih detail. Hasil dari rembukan mereka, aku disarankan menyimpan saja Hina Ningyo di rumahku dan jika merasa takut boleh menutupnya dengan kain. Aku tak tahu apa yang ditulis Nakamura sensei dalam suratnya, tapi sejak saat itu Atsuko san tak pernah datang lagi.

***

Tiga setengah tahun kemudian.

Jilan putri kami tumbuh dengan sehat. Ia lucu dan ceria, menjadi tumpahan cinta dan harapan kami. Sejak usianya delapan bulan, saat aku ke kampus dan papanya bekerja, ia menghabiskan waktu bersama teman-teman dan para guru di Wakamatsu Hoikuen, semacam taman kanak-kanak yang lokasinya tak begitu jauh dari apartemen kami. Sampai telah duduk di kelas empat sekarang ini, ia sangat menyayangi teman dan gurunya. Seiring dengan rasa takjub dan syukur melihatnya tumbuh, terkadang aku jadi teringat pada Atsuko san. Mungkin, dia juga akan ikut bahagia melihat perkembangan gadisku kini. Namun keinginan untuk berhubungan dengannya kutahan kuat-kuat, mengingat pengalaman masa lalu yang agak tidak biasa. Semoga Allah memaafkan aku, yang masih khawatir untuk berinteraksi kembali dengannya.

Sejak Jilan mulai masuk Hoikuen banyak pengalaman berharga yang kudapat. Petunjuk praktis dalam membesarkan anak, maupun membenahi pengetahuan dan pemahaman keislamanku sendiri, terutama dalam menyesuaikan dan menyikapi berbagai kebiasaan dan budaya Jepang yang diterapkan di sekolahnya dengan tuntunan hidup dalam Islam. Perlahan tapi pasti, dengan lebih banyak belajar dari buku dan teman, aku dan keluarga senantiasa berusaha berjalan dalam alurNya.  

Sampai pada suatu hari.

"Pa, kita harus melakukan sesuatu dengan Hina Ningyonya Jilan..." kataku pada suami.

"Maksud mama...?"

"Iya, mama diingatkan oleh teman. Kemaren kan Mbak Neny istrinya Pak Herri shalat di sini. Kehadiran boneka itu tampak mengganggunya..."

"Yaah, walaupun kita tak menjadikannya sebagai alat peribadatan, dan menurut Koji san teman kita Hina Ningyo tidak disembah orang Jepang, papa setuju, karena kita terus-menerus telah dibuat bimbang. Coba kita cari tambahan informasi di internet ya..." ujarnya sambil menuju komputer.

"Masalahnya, mau kita bagaimanakan? Tidak mungkin kita membuangnya di tempat sampah. Bagaimanapun, Atsuko san telah memberikannya untuk Jilan. Mama tidak tega Pa, benar-benar tidak tega! Karya seni sebagus ini... Terus terang mama ingin sekali membawanya ke Indonesia, tentu semua mata akan kagum memandangnya. .."

"Nah! Kalau begitu, kita memang harus mengatakan sayonara pada benda itu"

"Hlo?"

"Iya, ada unsur ingin pamer dalam hati Mama, bermegah-megah, itu dilarang dalam agama kita...!"

"Astagfirullah Al'aziim..., iya ya Pa...?"

"Yup! Nah..., ternyata orang Jepang percaya bahwa Hina Ningyo dapat menyerap roh jahat dan nasib sial!" seru suamiku setelah menemukan informasi dari internet.

"Ohh?...Astagfirullah..., gimana nih Pa? Kenapa kita baru mencari informasi lebih jauh tentang hal ini sekarang? Ya Allah, betapa lalainya kita..."

"Sudahlah... Sebaiknya kita memberikannya pada orang Jepang yang memang membutuhkannya. Hmm, mencari orang yang mau menerimanya pun tidak mudah... Coba saja tanya Jilan, temannya kan banyak satu sekolahan, siapa tahu ada yang mau dikasih!"

"Cerdas! Kenapa baru bilang sekarang Pa!" pekikku girang.

" JILANNISA... !!"

Jilan yang sedang asyik dengan boneka harimau Shimajironya terkaget-kaget mendengar mama dan papanya memanggilnya serempak dengan suara yang heboh.

"Haik? Mama, Papa, doshita no?" mata bolanya menatap heran.

"Begini sayang..., mama dan papa berencana memberikan Hina Ningyo Jilan itu kepada seseorang, sebab kita tidak dianjurkan untuk memilikinya. .. Bagaimana kira-kira Nak...? bujukku.

"Dame na no? Niku mitai no?"

"Iya, kalau daging yang dari sekolah tidak boleh kita makan karena hewannya tidak disembelih dengan menyebut nama Allah, tapi kalau yang mama beli dari Mushala boleh karena memotongnya sudah sesuai aturan agama... Begitu juga untuk memiliki benda-benda tertentu, ada yang tidak boleh juga sayang ..."

"Ii yoo!" jawabnya tersenyum.

"Tapi mama belum tahu, mau diberikan pada siapa... Kira-kira teman Jilan ada yang mau nggak ya?”

"Ettoo...," matanya menatap keatas, keningpun berkerut tanda berfikir.

Ah sayang, kamipun tak begitu berharap pada jawabanmu.

"Kasiin buat sekolah Jilan saja Ma, Pa!"

"Buat sekolah?" tanya papanya.

"So dayo! Sekolah Jilan kan punya Hina Ningyo, tapi sudah jelek karena furui, tidak secantik punya kita... Kalau lagi Hina Matsuri suka dipajang di ruang depan kan? "

"Wah, benar juga, usul yang hebat Nak! ujarku sambil meraih gadisku dan memeluknya kuat-kuat.

***

Hina Ningyo itu akhirnya kami serahkan ke sekolah Jilan setelah sebelumnya meminta persetujuan Kepala Sekolah. Meskipun heran, mereka dapat mengerti ketika dijelaskan bahwa kami tak memerlukannya karena tidak mempunyai tradisi merayakan pestival anak perempuan. Akhirnya pemberian Atsuko san bagi kelahiran Jilan mendapatkan tempatnya sendiri...

TAMAT

Kenangan menjadi bunda di negeri sakura, Wakamatsu Machi- Kanazawa, Maret 2005

 

Catatan:

Are? Korewa brando desyo...!: Wah, ini barang bermerek mahal hlo...!

Matte!: Tunggu!

Masaka: Masak sih

Doshita no?: Ada apa?

Dame? Niku mitai no?: Nggak boleh? Sama halnya dengan daging?

Ii yoo!: Iya ndak apa-apa!

So dayo!: Benar!

Furui: Tua

Hina Ningyo (Hadiah untuk gadisku) 2

Aku terkagum-kagum menyaksikan keindahan hadiah yang dibawa Atsuko san. Pajangan tradisional yang biasanya aku lihat mulai banyak dijual dan dipajang di supermarket pada setiap bulan Februari untuk nantinya akan digunakan saat pestival anak perempuan (Hina Matsuri) kini menyemarakkan apartemenku. Tak cukup hanya itu, dari kotak yang lebih kecil Atsuko san kemudian mengeluarkan semacam kotak musik yang bila diputar akan mengeluarkan alunan melodi lagu Hina Matsuri, yang merupakan lagu khusus untuk pestival tersebut. Terakhir, ia juga mengeluarkan semacam raket kayu ukuran besar yang hampir seluruh bagiannya dihias membentuk tubuh wanita berkimono tigaperempat badan.

"Aduuh…cantik luar biasa! Ruang keluargaku menjadi lebih semarak, dan… akan bagus sekali kalau nanti bisa dibawa pulang ke Indonesia…," bisik hatiku.

Jilan anakku mulai terlelap kembali. Sebaliknya, aku dilanda kebimbangan.

"Bagaimana orang Jepang memperlakukan Hina Ningyo ini? Apakah mereka mempecayai bahwa boneka ini dapat melakukan sesuatu...?" batinku.

Berbagai hal yang tak terpikirkan sebelumnya, tiba-tiba menjadi pusat kekhawatiran bagiku. Baru kusadari bahwa suamiku sedang tidak ada sehingga tak ada yang bisa diajak berdiskusi untuk menyikapi kejadian mendadak ini. Telepon genggamnya tak bisa kuhubungi. Kucoba menelepon Pak Edi dan Pak Dadang yang aktivis PPI dan pelajar senior di kota kami. Mereka berdua mengatakan tidak apa-apa, lebih menyerahkan keputusan padaku dan menurut mereka memang demikian adanya orang Jepang menyamput kehadiran anak perempuan.

Anehnya, aku tetap tak merasa tenang.

"Haik, dekimashita !" kata Atsuko san, yang bangga bahwa ia telah selesai menata hadiahnya.

"Atsuko san, begini... suami saya sedang tidak ada sekarang... Bagaimana ya?" aku berusaha menjelaskan bahwa saat ini suamiku sedang tidak ada dan untuk menerima hadiah darinya sebaiknya aku mendengarkan pendapat suamiku dulu.

"Tidak apa-apa! Ini benar-benar tulus dari hati saya. Sekarang saya akan pergi, silahkan beristirahat kembali ... Ojamashimashita..." ujarnya ringan, lalu melangkah ke arah pintu.

Seperti terbius, aku membiarkan Atsuko san berlalu dan segera mengunci pintu dengan perasaan tak menentu. Setelahnya, rasa bersalah menghinggapiku.

Seharusnya aku tak membiarkan Atsuko san masuk dan menata hadiahnya, tapi memintanya untuk membawa pergi kembali. Dan boneka-boneka itu? Indah sekali memang, tapi kenapa aku malah jadi takut sekarang?

Bermunculan kembali berbagai kekhawatiran dalam hatiku. Ingatan bahwa dalam film misteri, ada boneka yang bisa bergerak pada saat-saat tertentu dan mencelakan orang lain menghantuiku.

Bagaimana kalau salah satu dari boneka ini juga ada apa-apanya ? Wuaa...!

Aku berharap suamiku segera pulang.

***

"Semua terjadi begitu saja dan aku penuh kebimbangan, sehingga beginilah jadinya.. Bagaimana dong...," aduku pada suami.

"Ya sudah tenang saja, orang memberi hadiah niatnya kan baik..." suamiku menjawab santai tapi kemudian terheran-heran mengamati perubahan suasana rumah kami karena adanya pajangan baru nan menyolok mata.

"Tapi... aku punya firasat agak aneh... Entahlah... Pertama, hadiah ini kan mahal sekali Da, kalau dirupiahkan bisa puluhan atau minimal belasan juta. Apakah anak kita pantas menerima hadiah semahal itu dari Atsuko san, walaupun bagusnya luar biasa? Kedua, aku mengingat kembali dari ceritanya sendiri ketika dulu kami sama-sama dirawat, Atsuko itu adalah seorang janda beranak satu dan hidup sehari-hari dari tunjangan pemerintah dengan semacam program asuransi. Jadi, mengherankan sekali kalau dia justru bisa menghamburkan uang hanya untuk memberi kita hadiah seperti sekarang ini... Ketiga, walau tadinya sempat bersyukur diberi hadiah bernuansa tradisional Jepang, aku malah jadi takut dengan kehadiran boneka-boneka itu... Disamping pernah melihat keanehan boneka misteri di film horor yang walau aku tahu itu hanya imajinasi pembuatnya, tetap saja aku ketakutan... Gawatnya lagi, kita tidak tahu apakah orang Jepang memakai boneka ini sebagai sesuatu yang disembah atau bagaimana..., Uda tahu?" kicauku panjang lebar.

"Jangan berprasangka buruk, apalagi pada orang yang berniat baik pada kita. Tapi... kalau justru membuat kebimbangan terlalu banyak seperti itu, kita kembalikan saja pada Atsuko san. Rasanya pernah baca, bahwa malaikat memang tidak menyukai rumah yang ada patung dan sebangsanya...," suamiku membantu memutuskan.

Ia kemudian asyik memperhatikan putri kami yang seolah berbicara dengan mulut mungilnya yang dimaju-mundurkan, atau menghadiahkan senyum yang sangat menggemaskan. Kaki kecilnya menendang-nendang dengan riang. Ia baru saja mandi dan minum susu.

"Benar Da, itu lebih baik. Walaupun ada bagian hati yang merasa sayang dan senang dengan keunikan dan kemegahan hadiah ini. Apalagi akan hebat sekali kalau nanti bisa kita bawa sampai pulang ke Indonesia. Tentu akan menjadi benda kenangan khas Jepang bagi anak kita.... Tapi tak apa, kita harus mengembalikannya..." jawabku yakin.

"OK!, Yokatta ne..."

"Tapi tunggu! Apakah Atsuko san nantinya tak akan tersinggung oleh penolakan kita? Bagaimana kalau dia marah, lalu meneror kita ? Bagaimana kalau penolakan kita justru akan mengancam keselamatan Jilannisa putri kita? Bagaimana kalau saat kita keluar rumah, ia akan menyerang kita? Atau keselamatan papa kalau akan pergi bekerja? Bukankah Atsuko san itu agak berbeda? Hari ini, dia nekat memanggilku lewat belakang!" mataku mulai menghangat.

"Hm..."

Suamiku tampak berfikir keras mendengar penuturan dan kecemasanku yang semakin menjadi. Ia mendekati dan menatap Jilannisa putri kami cukup lama. Ia cium kening gadis mungil itu perlahan. Jelas ia sangat terpengaruh dengan ucapanku.

Kehadiran seorang anak adalah anugrah terbesar dari Allah bagi rumah tangga kami. Amanah yang harus dijaga sepenuh jiwa. Meski tanpa pengalaman merawat bayi, bahu-membahu kami berdua berusaha memberikan yang terbaik bagi si buah hati. Siapa sangka ada kejadian seperti ini.

"Kita harus berdiskusi dengan Ogawa san," suamiku akhirnya bersuara.

Aku hanya mampu memandang suamiku.

"Besok pagi saja, sekarang sudah larut dan cuaca buruk, salju masih lebat sekali. Sini!" suamiku menenangkan dengan pelukan.

                                                        (bersambung)

Catatan:

Yokatta ne...! : Syukurlah ya...!

Tuesday, April 28, 2009

Hina Ningyo (Hadiah untuk gadisku) 1

 “Jilan pasti lelah ya sayang? Mama juga Nak…,” ujarku pada gadis mungil yang tengah terlelap dalam pelukanku.

Tanpa mengharapkan reaksinya, pelan-pelan kubaringkan bayiku di atas futon yang terhampar di ruang keluarga lalu akupun ikut merebahkan diri di sampingnya. Nikmat sekali rasanya berbaring seperti ini karena aku agak kelelahan. Kami baru saja pulang dari rumah sakit untuk menjalani proses pemeriksaan ibu dan bayi (kuperkirakan merupakan prosedur wajib bagi ibu yang baru melahirkan) dengan Tango sensei, dokter yang membantu persalinan sebulan yang lalu. Janji pertemuan inipun telah dibuat sejak kami diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Walau sudah berangkat sejak pagi, menjalani segala prosesnya membuat kami akhirnya kembali ke rumah setelah menjelang sore seperti ini.

Amat kunikmati kenyamanan berada kembali di apartemen kami. Sebuah pemanas ruangan dengan bahan bakar minyak tanah di ruang keluarga sudah cukup memadai untuk melawan rendahnya suhu musim dingin di Kota Kanazawa, provinsi Ishilawa, daerah tempat kami bermukim sementara ini. Aku lega sekali melihat Jilan bisa tidur dengan nyaman sekarang setelah sejak pagi sampai sore ini ia tak pernah lepas dari gendonganku. Kupastikan ia merasa lebih baik kini sehingga akupun merasa tenang untuk sejenak beristirahat. Melalui kaca jendela yang berembun masih terpantau olehku salju yang  sedang turun dengan deras di luar sana.

“Ting Tong!”

Suara bel mengagetkan aku yang baru saja mencoba memejamkan mata.

“Tamu? Siapa ya...?” pikirku

Aku yang baru saja amat mensyukuri nikmatnya berbaring rasanya begitu enggan untuk melangkah ke pintu. Apalagi aku tak merasa punya janji dengan siapapun sore ini. Teman-temanku biasanya selalu mengabari dulu melalui telepon jika akan datang berkunjung. Suamikupun baru saja keluar untuk arbaitonya dan kalau tiba-tiba pulang, ia punya kuncinya sendiri.

“Paling-paling mereka…,” pikirku sambil membayangkan beberapa orang Jepang yang sering datang mengetuk pintu apartemenku untuk mensosialisasikan kepercayaan yang mereka sebut dengan Jehovah Witness.

Ugh…, aku tak ada waktu untuk melayani mereka atau bahkan untuk sekedar berbasa basi... Lebih baik aku diam saja aah…, sampai mereka pergi sendiri,” pikirku sambil kembali memejamkan mata.

Tapi perkiraanku meleset.

 Gomen kudasai...! Sumimasen…!” tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dari arah jendela.

Aneh dan menggagetkanku. Jendela itu posisinya di bagian belakang apartemen dan tak pernah ada orang lain yang datang dari arah itu, kecuali oya san untuk tujuan bersih-bersih. Sekitar dua meter dari jendela itu hanya ada tebing, lalu bukit kecil. Dengan cuaca seperti saat ini, pastinya salju tengah menumpuk dengan ketebalan puluhan sentimeter.

“ H a..i k?” aku terpaksa bersuara, dengan intonasi setengah menjawab dan setengah bertanya.

“ Henny san, Atsuko desu! Ojamashimasu…!”

“At...su...ko...?”

Aku berusaha memutar otak.

“Haik!, teman waktu kita sama-sama dirawat di Rumah Sakit Nasional Kanazawa! Tolong bukakan pintunya ya..., saya membawa sesuatu untuk bayimu!” jelasnya.

“Rumah sakit?, Ooh...? O, haaik..., Baiklah, Atsuko san sendirian kan? Dari depan saja ya...”, balasku setengah berteriak setelah berhasil mengingat bahwa Atsuko san adalah kenalan saat aku sempat dirawat di rumah sakit bagian penyakit dalam sekitar setahun yang lalu.

Kami dirawat dalam satu kamar bersama dengan dua orang lainnya. Aku masih ingat bahwa Atsuko san dibawa ke rumah sakit karena anaknya menemukannya dalam keadaan terluka di bagian kepala akibat pingsan mendadak di rumahnya. Sebelum ini, ia pernah datang berkunjung sekali.

Walaupun enggan menerima tamu dengan kondisi badan yang kurang fit begini, setengah terpaksa aku melangkah juga ke ruang depan. Saat kubukakan pintu, Atsuko san tengah berdiri dengan senyum lebar. Tubuh kurusnya dibalut mantel musim dingin berwarna coklat yang menjulur panjang sampai ke betis. Rambutnya yang juga panjang dan lurus tampak basah, menutupi sebahagian wajah putihnya yang tirus.

"Henny san, saya membawa hadiah buat bayimu, douzo!" kata Atsuko san sambil menunjuk dua buah kotak kertas di sampingnya.

"Hadiah? Bukankah Atsuko san sudah memberi hadiah di rumah sakit dulu? Itu sudah cukup, jangan merepotkan…tidak usah…!" ujarku, merasa tidak enak.

"Ayolah…Henny san, ini benar-benar dari hati saya. Saya tidak punya anak perempuan seperti anakmu, jadi saya senang sekali. Di Jepang, hadiah ini khusus diberikan untuk anak perempuan. Saya ingin menyambut kehadiran anak perempuanmu. Saya antar ke dalam saja ya?"

"Tapi…"

“Tak apa, biar saya jelaskan bagaimana memajangnya!" katanya melangkah masuk sambil mengangkat kotak besar yang tampaknya lumayan berat.

Aku ragu sesaat, tapi akhirnya tak tega melihat Atsuko san yang tengah menahan beban sambil menunggu persetujuanku.

"Yah…silahkan…," aku akhirnya membiarkannya mengangkat hadiah itu ke ruang tengah.

Sambil duduk menyusui Jilan yang terbangun, aku memperhatikan Atsuko san ketika ia mulai sibuk membuka hadiahnya. Ternyata ia membawa Hina Ningyo yaitu satu set boneka tradisional yang tersusun pada tatakan berupa tangga sedemikian rupa, kemudian di atas tangga tersebut dipajang beberapa boneka yang kelihatannya adalah raja, permaisuri, putri-putri dan pemain musik. Pakaian yang dikenakkan boneka itu adalah kimono yang didominasi warna merah dan keemasan. Semuanya dalam posisi duduk bersila. Di bagian paling kiri dan kanan masing-masingnya terdapat miniatur lampu lentera, bunga sakura dan persik. Beberapa benda tradisional lainnya tersebar sedemikian rupa di tangga paling bawah. Satu set boneka dengan segala atribut pendampingnya itu dilingkupi oleh semacam kotak kaca yang besar. Apik sekali.

(bersambung)

Catatan:

Sensei: panggilan untuk dokter, guru atau pakar dlam bidang tertentu

Futon: kasur khas jepang

Arbaito: kerja paruh waktu

Gomen kudasai, Sumimasen: Maaf, permisi (diucapkan saat memanggil tuan rumah ketika hendak bertamu)

Ojamashimasu: mengganggu sebentar, diucapkan ketika masuk rumah/ruangan orang untuk bertamu

Oya san: pemilik rumah

Douzo: silahkan

Hina Ningyo: Satu set boneka terdiri dari boneka kaisar, permaisuri, puteri istana (dayang-dayang), dan pemusik istana yang menggambarkan upacara perkawinan tradisional di Jepang. Dipajang disaat HinaMatsuri (Pestival Anak Perempuan), setiap tanggal 3 Maret.

 

Monday, April 6, 2009

Pesta Anak Negeri Sumatera Barat: Batagak Panghulu di Simalanggang




Akhir tahun 2008, mendadak harus ikutan perhelatan negeri di desa kelahiran kami, Koto Tangah Simalanggang. Tak tanggung-tanggung, didaulat 2 hari berpakaian adat. Hari pertama acara resmi di Gelanggang (tanah lapang) dan hari kedua naik bendi keliling negeri. Layaknya raja, seorang Datuak diacara ini harus didampingi Bundo Kanduang, dayang-dayang dan hulubalang. Begitu mendadak dan tanpa persiapan, kesulitan mencari pakaian tradisional Payakumbuh di Padang membuat Bundo Kanduang terpaksa tampil beda di hari pertama. Pada hari kedua, kudu sama dong... PR besar menunggu, belajar memahami bagaimana menjadi Datuak dan Bundo Kanduang yang diharapkan nagari ... Ganbaranaito...!