"Are? Korewa brando desyo...!" pekik Ogawa san tetangga kami terheran-heran, ketika aku sengaja menelepon dan memintanya datang ke apartemenku keesokan harinya.
Beliau lebih heran lagi ketika kujelaskan bahwa hadiah itu diberikan oleh orang Jepang kenalan kami ketika dulu sama-sama dirawat di rumah sakit.
"Aneh ya..., biasanya Hina Ningyo dibelikan oleh kakek dan nenek untuk cucu perempuannya. Lalu nanti orang tua si anak akan mengembalikan pemberian itu dalam bentuk lain, uang misalnya, secara berangsur-angsur...," jelasnya.
"Kami ingin mengembalikannya saja Ogawa san..."
"Hm...mungkin tak bisa lagi..."
"Begitukah? Kenapa? Kami sangat berterimakasih tapi tak dapat menerimanya karena..."
"Matte! Apakah Atsuko san itu, wanita yang beberapa hari lalu juga datang kesini saat saya dan anak saya Akiko san melihat bayimu?"
"Benar"
"Hmm... terus terang saya agak khawatir dengan kehadirannya di rumahmu saat itu. Ia tampak berani dan lancang. Masaka, ia mau mencoba menumpang menginap di rumahmu hanya gara-gara salju yang deras? Dia juga merokok dengan santainya sementara ada bayi dan rumahmu kecil begitu, benar-benar tidak pantas! Apa dia sering kesini ?"
"Hanya akhir-akhir ini, sudah dua kali sejak Jilan lahir... Kami juga agak kebingungan dengan kehadirannya yang tidak biasa Ogawa san, makanya kami ingin mengembalikan agar tak ada urusan lagi dengannya. Kami menghawatirkan anak kami..." aku menjelaskan dengan pedih, apalagi setelah mendengar pendapat tetanggaku ini.
"Saya sarankan, ceritakan saja pada senseimu, agar ia menyurati wanita itu secara baik-baik!"
Pada awalnya aku amat tidak enak hati untuk melibatkan Nakamura sensei Profesor pembimbingku, terutama karena masalahku kali ini bersifat pribadi, tak ada kaitannya dengan studiku di Universitas Kanazawa. Tapi karena merasa tak ada jalan lain, akhirnya aku menuruti saran Ogawa san. Nakamura sensei yang memang selalu sangat memperhatikan aku dan keluarga, kemudian meminta waktu untuk bertemu Ogawa san di rumahnya agar mendapat keterangan yang lebih detail. Hasil dari rembukan mereka, aku disarankan menyimpan saja Hina Ningyo di rumahku dan jika merasa takut boleh menutupnya dengan kain. Aku tak tahu apa yang ditulis Nakamura sensei dalam suratnya, tapi sejak saat itu Atsuko san tak pernah datang lagi.
***
Tiga setengah tahun kemudian.
Jilan putri kami tumbuh dengan sehat. Ia lucu dan ceria, menjadi tumpahan cinta dan harapan kami. Sejak usianya delapan bulan, saat aku ke kampus dan papanya bekerja, ia menghabiskan waktu bersama teman-teman dan para guru di Wakamatsu Hoikuen, semacam taman kanak-kanak yang lokasinya tak begitu jauh dari apartemen kami. Sampai telah duduk di kelas empat sekarang ini, ia sangat menyayangi teman dan gurunya. Seiring dengan rasa takjub dan syukur melihatnya tumbuh, terkadang aku jadi teringat pada Atsuko san. Mungkin, dia juga akan ikut bahagia melihat perkembangan gadisku kini. Namun keinginan untuk berhubungan dengannya kutahan kuat-kuat, mengingat pengalaman masa lalu yang agak tidak biasa. Semoga Allah memaafkan aku, yang masih khawatir untuk berinteraksi kembali dengannya.
Sejak Jilan mulai masuk Hoikuen banyak pengalaman berharga yang kudapat. Petunjuk praktis dalam membesarkan anak, maupun membenahi pengetahuan dan pemahaman keislamanku sendiri, terutama dalam menyesuaikan dan menyikapi berbagai kebiasaan dan budaya Jepang yang diterapkan di sekolahnya dengan tuntunan hidup dalam Islam. Perlahan tapi pasti, dengan lebih banyak belajar dari buku dan teman, aku dan keluarga senantiasa berusaha berjalan dalam alurNya.
Sampai pada suatu hari.
"Pa, kita harus melakukan sesuatu dengan Hina Ningyonya Jilan..." kataku pada suami.
"Maksud mama...?"
"Iya, mama diingatkan oleh teman. Kemaren kan Mbak Neny istrinya Pak Herri shalat di sini. Kehadiran boneka itu tampak mengganggunya..."
"Yaah, walaupun kita tak menjadikannya sebagai alat peribadatan, dan menurut Koji san teman kita Hina Ningyo tidak disembah orang Jepang, papa setuju, karena kita terus-menerus telah dibuat bimbang. Coba kita cari tambahan informasi di internet ya..." ujarnya sambil menuju komputer.
"Masalahnya, mau kita bagaimanakan? Tidak mungkin kita membuangnya di tempat sampah. Bagaimanapun, Atsuko san telah memberikannya untuk Jilan. Mama tidak tega Pa, benar-benar tidak tega! Karya seni sebagus ini... Terus terang mama ingin sekali membawanya ke Indonesia, tentu semua mata akan kagum memandangnya. .."
"Nah! Kalau begitu, kita memang harus mengatakan sayonara pada benda itu"
"Hlo?"
"Iya, ada unsur ingin pamer dalam hati Mama, bermegah-megah, itu dilarang dalam agama kita...!"
"Astagfirullah Al'aziim..., iya ya Pa...?"
"Yup! Nah..., ternyata orang Jepang percaya bahwa Hina Ningyo dapat menyerap roh jahat dan nasib sial!" seru suamiku setelah menemukan informasi dari internet.
"Ohh?...Astagfirullah..., gimana nih Pa? Kenapa kita baru mencari informasi lebih jauh tentang hal ini sekarang? Ya Allah, betapa lalainya kita..."
"Sudahlah... Sebaiknya kita memberikannya pada orang Jepang yang memang membutuhkannya. Hmm, mencari orang yang mau menerimanya pun tidak mudah... Coba saja tanya Jilan, temannya kan banyak satu sekolahan, siapa tahu ada yang mau dikasih!"
"Cerdas! Kenapa baru bilang sekarang Pa!" pekikku girang.
" JILANNISA... !!"
Jilan yang sedang asyik dengan boneka harimau Shimajironya terkaget-kaget mendengar mama dan papanya memanggilnya serempak dengan suara yang heboh.
"Haik? Mama, Papa, doshita no?" mata bolanya menatap heran.
"Begini sayang..., mama dan papa berencana memberikan Hina Ningyo Jilan itu kepada seseorang, sebab kita tidak dianjurkan untuk memilikinya. .. Bagaimana kira-kira Nak...? bujukku.
"Dame na no? Niku mitai no?"
"Iya, kalau daging yang dari sekolah tidak boleh kita makan karena hewannya tidak disembelih dengan menyebut nama Allah, tapi kalau yang mama beli dari Mushala boleh karena memotongnya sudah sesuai aturan agama... Begitu juga untuk memiliki benda-benda tertentu, ada yang tidak boleh juga sayang ..."
"Ii yoo!" jawabnya tersenyum.
"Tapi mama belum tahu, mau diberikan pada siapa... Kira-kira teman Jilan ada yang mau nggak ya?”
"Ettoo...," matanya menatap keatas, keningpun berkerut tanda berfikir.
Ah sayang, kamipun tak begitu berharap pada jawabanmu.
"Kasiin buat sekolah Jilan saja Ma, Pa!"
"Buat sekolah?" tanya papanya.
"So dayo! Sekolah Jilan kan punya Hina Ningyo, tapi sudah jelek karena furui, tidak secantik punya kita... Kalau lagi Hina Matsuri suka dipajang di ruang depan kan? "
"Wah, benar juga, usul yang hebat Nak! ujarku sambil meraih gadisku dan memeluknya kuat-kuat.
***
Hina Ningyo itu akhirnya kami serahkan ke sekolah Jilan setelah sebelumnya meminta persetujuan Kepala Sekolah. Meskipun heran, mereka dapat mengerti ketika dijelaskan bahwa kami tak memerlukannya karena tidak mempunyai tradisi merayakan pestival anak perempuan. Akhirnya pemberian Atsuko san bagi kelahiran Jilan mendapatkan tempatnya sendiri...
TAMAT
Kenangan menjadi bunda di negeri sakura, Wakamatsu Machi- Kanazawa, Maret 2005
Catatan:
Are? Korewa brando desyo...!: Wah, ini barang bermerek mahal hlo...!
Matte!: Tunggu!
Masaka: Masak sih
Doshita no?: Ada apa?
Dame? Niku mitai no?: Nggak boleh? Sama halnya dengan daging?
Ii yoo!: Iya ndak apa-apa!
So dayo!: Benar!
Furui: Tua