Sunday, August 28, 2005

Cibiko Matsuri (Perayaan musim panas bagi anak-ortu-dan guru)




Sebulan berlalu (ceritanya sambil packing menjelang subuh nekad aja posting foto, memanfaatkan jatah dr MP bulan ini he he).

Ketika itu persiapan presentasi mama sedang dipuncaknya dengan Prof., tapi acara sekolah Jilannisa setahun sekali dan sudah kita tunggu-tunggu juga tak bisa di anggap angin lalu. Minta ijin pulang sekitar 2 jam saja dari lab, lalu balik lagi. Untung Prof mengizinkan.

Maaf ya sayang, mama tidak sempat menjahitkanmu kimono tahun ini. Untunglah tahun lalu mama menjahit dua buah, bingung soal warna. Jadi tahun ini yang biru bisa dipakai.... Tapi...
Hah? sudah kependekan? Wua....!!!

PD aja...kan banyak kimono kreasi baru juga...hiks

Alhamdulillah, semua senang. Mama-papa takjub melihatt gadisnya menari penuh percaya diri, kita seringnya saling berpandang-pandangan. Keheranan dan bangga tentu!

Ada juga acara menari bareng ortu, Jilan rupanya nggak mau menari bahkan masuk arena tanpa mama, padahal mama sudah mengendap-endap hendak cabut diam-diam. Untungnya salah konfirmasi sehingga papa nggak ketemu di tempat parkir, yang menyebabkan mama balik ke arena lagi. Rupanya sang gadis sedang mencari, jadilah kita bisa ikut menari bersama.

Terima kasih Tuhan...untuk mengatur semuanya, sehingga gadisku tidak kecewa berat, yang akan menjadi penyesalan berkepanjangan...

Malam yang indah, nggak nyesal nekad minta ijin, nggak nyesal gagal cabut yang pertama.

Wuah..., lega...!,walaupun harus sembunyi-sembunyi untuk yang kedua kalinya balik ke lab lagi ...
Ganbaru zooo!

Andai kita jaga



 




Ingin melangkah saja hari ini



berhenti dibanyak tempat



rasakan mentari





Nikmati teduh pepohonan



lembut angin membelai



biru langit memeluk



bergandengan daun pakis





Rerumputan tumbuh memanjang



meliuk dirayu angin





Canda capung merah biru



kepak lembut kupu-kupu



tergoda keanggunan bunga liar



arakan semut bagai ular



dan bayi kumbang yang sedang makan



Sungguh kita beruntung



melihat dan rasakan



aneka perbedaan





Andai kita jaga



sebuah kebersamaan



bersahabat dengan alam



rajut indah temali kasihNya








Kanazawa, 10 Agustus 2005




















Sunday, August 21, 2005

Rasa Hormatku Semakin Dalam





Kubuka mukena yang setia bersamaku sepanjang malam ini. Kulipat tiga memanjang, lalu kulilitkan ke leher. Dengan begini kuberharap dapat melindungi kudukku dari hembusan angin malam. Angin yang menerobos masuk lewat jendela kamar yang sengaja kubiarkan terbuka. Udara yang lembab dan menggerahkan telah muncul sejak awal Agustus ini, pertanda dimulainya musim panas di negeri sakura. Sebentar lagi tentu aku tak akan tenang di dalam rumahku sendiri tanpa kipas angin. Tak akan ada AC di apartemenku yang sederhana dan bergaya tradisional ini. Tapi aku amat menyukai “rumahku”, terutama karena lokasinya yang tepat di bawah sebuah bukit kecil. Lalu dari jendela manapun kumenatap keluar, mataku akan bertumbukan dengan pepohonan dan herba. Kehijauan, pemandangan yang selalu membuatku tenang.

Kulirik hamparan futon (kasur tradisonal Jepang). Dua belahan jiwaku tengah terlelap diatasnya, bergaya bebas. Gadis kecilku telah merubah posisi tidurnya menjadi horizontal, kakinya melipat di pingir dipan yang membatasi. Ah, ia telah tumbuh semakin tinggi. Bagian tengah yang seharusnya menjadi wilayah tidurku kosong. Sang papa, suamiku, tidur secara vertikal di bagian yang lain menghadap ke arah ruang keluarga, dimana aku tengah berada. Terdengar dengkuran halus dari bibirnya, pertanda kelelahan kata orang tua. Memang, setelah selesai bekerja kemaren sore seperti biasa ia langsung menjemput putri kami di hoikuen (sekolah setingkat taman-kanak-kanak), lalu menyuapinya makan dengan nato (sejenis makanan khas di Jepang, terbuat dari kedelai) kegemaran anakku. “Hanya setengah porsi”, katanya padaku kemudian, ketika kami harus makan di luar malam itu. Merayakan kelulusanku setelah melewati final defense, presentasi akhir mempertahankan penelitianku untuk mendapatkan gelar doktor. Setelah semua persiapan yang amat melelahkan bagiku, profesorku dan juga suamiku.


***
Suamiku adalah orang pertama yang ingin kukabari akan berita kelulusanku. Kuingat sore itu, ketika baru saja aku akan menulis email ke telepon genggamnya, suamiku sudah lebih dahulu menghubungiku lewat telepon seorang teman. Mengucapkan selamat. Hatiku bergetar ketika suaranya terdengar bahagia, lega. Perjuangan kami kini telah membuahkan salah satu hasilnya.

Ya, ini adalah perjuangan kami. Karena aku tak akan bisa menjalani semua ini tanpa dukungan, pengertian dan dorongannya. Padahal rasanya baru kemaren suara-suara itu terdengar olehku.

“Hen, kamu harus hati-hati, kamu kan mau S3, jangan nikah dulu deh…, gimana kalau suamimu nanti langsung pengen punya anak, sementara kamu harus pergi keluar negeri sendiri…?” kata seorang seniorku, ketika aku menjalani pendidikan S2 di Bandung dan tengah kebingunan dengan pilihan melanjutkan studi saja dulu, atau menikah sesuai permintaan Ibuku sambil tetap melanjutkan studi.
.
“Ibu sempat berdiskusi dengan teman-teman tentang rencanamu untuk menikah sebelum berangkat ke Jepang. Kamu kan masih muda, cantik dan pintar, nggak usah khawatirlah soal jodoh. Sekolah saja dulu, dan pria-pria akan berlomba ingin menyuntingmu…”, Ibu Tjadra, salah seorang dosen di laboratoriumku memberikan saran ketika kuminta pendapatnya. Dosenku yang satu ini amat lembut dan baik hati, jadi aku pun merasa dekat seperti berteman saja.

“Nggak usah nikah dulu atuh Hen…, calonmu dari IKIP? Belum mau melanjutkan lagi? Lihat deh nanti kalau kamu sudah doktor, beda gerak... Pasti deh kamu pengen sama doctor juga!” Ibu Ria, dosen biostatistikku yang campuran sunda-batak itu ikut pula menyumbangkan pendapat. Lengkap dengan gaya khasnya berbicara ketika kami berjalan bersama di koridor kampus suatu siang. Aku tersenyum melihat gaya beliau tapi belum yakin untuk setuju dengan pendapat seperti itu. Tidak kuberikan komentar apa-apa saat itu.

Belum lagi “serangan” keluarga suamiku bagi dirinya.

“Benar nih, mau menikah dengannya? Kamu nggak takut kalau pendidikannya diatasmu? Bagaimana kalau nanti dia ngelunjak dan jadi berkuasa? Apa enak jadi suami dikomandoi istri?” dan berbagai kecurigaan lainnya terhadap rencananya untuk menikahiku.

Saat itu aku baru saja menyelesaikan sidang akhir program master. Untunglah aku tidak terpengaruh dengan berbagai pendapat yang muncul, karena telah kupasrahkan pada-Nya segala. Berdoa agar diberikan jalan terbaik jika memang ialah jodohku.



Ijin Tuhan telah membuatku dengan lapang dada menerima ketika ia mengurus semua keperluan untuk pernikahan bersama keluargaku di Padang. Sementara itu aku hanya menerima konfirmasi lewat telepon dan bisa terus mengurus persiapan wisuda dan dokumentasi untuk berangkat ke luar negeri.

Kini, ketika aku berhasil juga menyelesaikan studiku, perjalanan rumah tangga kami telah mencapai umur 7 tahun. Dengan menjaga prinsip saling terbuka, saling percaya, saling menghormati dan berpedoman pada tuntunan pernikahan dalam Islam, aku selalu berusaha memposisikan diri sebagai istri yang patuh pada suami dan sebagai ibu yang baik bagi anak kami semata wayang. Berkat pengorbanannya dan tolerasi suamiku atas berbagai keterbatasan yang kumiliki, Alhamdulillah tidak ada kendala berarti dalam hubungan kami.

***
Hari beranjak subuh. Kupuaskan diri menatap suamiku yang sekarang masih tertidur pulas, tapi dengkurannya sudah tak ada lagi. Wajah yang kukasihi, kuhormati dan yang selalu mengasihi keluarganya dengan tulus. Yang beberapa hari terakhir ini merelakanku untuk tak memasakkan makanan kesukaannya. Atau tak protes kalau kumasakkan sekaligus lebih banyak, lalu tinggal dipanaskan untuk beberapa kali makan. Selebihnya aku telah membeli makanan instan atau mengajaknya makan di kantin kampusku. Terkadang ia malah sengaja menyuruhku ke kampus secepatnya, karena tahu profesorku sedang menunggu. Bahkan dua hari terahir ini, saatku bangun di pagi hari, suamiku telah menyediakan satu set makanan instan, bekal ke kampus untukku. Rupanya setelah selesai bekerja pagi itu, ia sempat pula membereskan hal-hal kecil lainnya di dapur. Padahal setelah itu ia harus berjuang sendiri mempersiapkan anak kami yang balita untuk pergi sekolahnya. Aku sendiri sudah harus di kampus sejak sangat pagi belakangan ini, untuk menemui profesorku yang datang lebih pagi lagi, khusus untuk persiapan ujian akhirku. Suamiku juga ikut-ikutan tegang sepertiku ketika jadwal ujian tinggal hitungan jam. Dan saat mengetahui kelulusanku, ialah yang paling senang dan bahagia.

Untuk semua ketulusan ini, apakah aku sebagai istri akan bersikap lancang padanya? Apakah lantas aku akan menganggapnya rendah karena tak ikut melanjutkan pendidikan ketingkat yang lebih tinggi akan tetapi memilih bekerja untuk menafkahi keluarga? Aku tak melihat adanya hubungan antara gelar yang akan kusandang dengan posisinya sebagai pemimpin keluarga. Apakah aku akan besar kepala atau merasa lebih tahu dan hebat? Jawabnya hanya TIDAK.

Untuk segala pengertiannya akan kuberikan seluruh pengertianku. Untuk semua kesabarannya akan kulatih terus sabarku. Untuk segala cintanya akan kuberikan seluruh cintaku. Ini sudah menjadi tekadku sejak dahulu, saat memutuskan bersedia menjadi pendaping hidupnya. Nyatanya, semakin hari semakin bertambah kekagumanku padanya. Semakin tinggi rasa hormatku baginya.

“Ya Robbi, jadikanlah aku wanita yang sabar, sholehah dan berbakti pada suamiku, mencapai ridha-Mu…”, doaku selalu, teringat akan sabda Rasul yang pernah kubaca:
Dari Ummu Salamah, “Sesungguhnya Nabi Saw. telah bersabda, “Barang siapa di antara perempuan yang mati dan ketika itu suaminya suka (rela) kepadanya, maka perempuan itu akan masuk syurga”. (Riwayat Ibnu Majah dan Tirmizii).

***
“Uda…, baguun…”, bisikku pelan, enggan membangunkannya karena ia tampak amat nyenyak tertidur. Namun perlahan lelaki pujaan itu bangun dari istirahatnya dan segera ke kamar mandi untuk berwudhu.

Setelah shalat subuh berjamaah, kucium tangannya, saling bermaafan. Saat-saat indah yang selalu kutunggu setiap hari, karena kesibukanku biasanya membuat kami hanya bisa berjamaah disaat subuh dan isya saja.

Hari masih gelap, tapi suamiku telah siap untuk berangkat bekerja setelah meminum kopi susu buatanku.

“Assalamualaikum…”, ucapnya saat membuka pintu dan melangkah keluar.

Setelah menjawab salamnya, aku masih mematung di depan pintu. Merenungi kepergian belahan hati untuk mengadu nasib bagi keluarga, seperti yang selama ini dengan tulus ia lakoni.

Ya Allah… lindungilah suamiku, dan semoga setiap helaan nafas kasihnya pada keluarga akan selalu menjadi ladang ibadah pula baginya disisi-Mu. Amin…

Dari Abu Hurairah. Ia berkata, “Rasulullah Saw. telah memberi pelajaran. Sabda beliau, “Mukmin yang sempurna imannya ialah yang paling baik pribadinya, dan sebaik-baiknya pribadi ialah orang yang paling baik terhadap istrinya”. (Riwayat Ahmad dan Tarmizii).


Kanazawa, Agustus 2005
Henny Herwina Hanif
Setulus hati untuk suamiku, sebulan menjelang 7 tahun  pernikahan

Tuesday, August 16, 2005

Di suatu pagi: Bercakap dengan negeri




Subuh baru saja
menyapa. Kulirik jendela yang terbuka dan hanya di tamengi jaring plastik
penghalang serangga. Suasana khas musim panas di negeri sakura, negeri ninja,
tempat aku, suami dan gadis kecilku tinggal sementara. Ya, aku adalah seorang
pelajar asing di negeri ini. Seringnya, kemanapun kumelangkah, siapapun yang kutemui,
bahkan apapun yang aku lakukan, selalu berakhir dengan kata “Indonesia”.




Indonesiaku,




Sudikah kau
mendengar cerita sederhanaku pagi ini? tiba-tiba aku ingin berbagi denganmu…




Ketika pertama kali aku
berkenalan dengan tetangga, masyarakat kampus, mengisi formulir di kantor
pemerintahan dan sebagainya, dengan sadar kukatakan dan kutuliskan dirimu: Indonesia.
Sepintas mungkin tak ada yang istimewa dengan semua itu. Tapi bagiku, kau istimewa
dan selalu dekat dengan hari- hariku, walau aku telah bertahun tahun jauh
darimu.




Di laboratoriumku,
Lab Ekologi. Fakultas Sains, Universitas Kanazawa, setiap hari aku harus
berjuang menjadi “anak baik” dalam segala hal. Bagaimana tidak, jika setiap
perkataan dan tindak tandukku, bagi sebagian besar teman-temanku yang
berkebangsaan Jepang, diartikan sebagai dirimu?




Ketika salah seorang
diantara kami yang berasal dari Indonesia (saat ini 9 orang dari 30 anggota lab)
lupa mematikan lampu salah satu ruangan, namamu dibawa-bawa. Mereka dengan
leluasa lalu berpendapat, Indonesia
tak hemat energi. Ketika lupa mengunci pintu, mereka bilang, “Indonesia tak
hati-hati”. Ketika bicara tentang lingkungan dan penghijauan, tanpa berfikir
mengatakan “Wah, orang Indonesia
tak begitu peduli pada lingkungan ya…”. Ketika kutanya alasannya berkata
begitu, mereka lalu menghubungkannya dengan kebiasaan lupa mematikan lampu. “???..." Walaupun di
dalam hati aku juga menyanyangkan perhatian yang belum begitu besar pada
lingkungan di negeri sendiri, yang menimbulkan himbauan dan protes dari kanan
kiri.




Ada yang lebih
menarik. Seorang teman wanita yang duduk disampingku ketika memakan bekal makan
siangnya mendapat komentar begini: “Wah merah ya saus spagetinyanya…, Indonesia
memang makanannya begini ya…merah, pedas dan diaduk-aduk..?”, mata sipit
seorang temanku hampir tak kelihatan karena ekspresi berfikirnya. Saat itu, tak
ada jalan lain bagiku, selain memberinya sedikit pidato tentangmu. Betapa
Indonesia terdiri dari ribuan pulau, ratusan bahasa, aneka budaya, aneka
makanan dan kebiasaan, Bhineka Tunggal Ika…bla bla…. Tak tahan juga dengan
kebiasaan mereka mengeneralisir segala perbuatan individu menjadi seolah
perbuatan sebuah bangsa. “Kasihan Indonesia, tolong berfikir yang …”,
kataku memporotes, bila ada kejadian serupa. Dari pengalaman-pengalaman itu,
aku dan teman-teman menjadi sadar, apapun yang aku lakukan, kemanapun
melangkah, kau juga selalu ikut bersamaku: Indonesia.




Tak sedikit pula
yang memuji, terutama keindahan Bali atau Borobudur, lalu mereka akan bercerita
tentang tempat rekreasi, makanan istimewa dan kunjungan berkali- kali. Setiap
orang dengan pendapatnya sendiri. Tapi akhirnya tetap satu yang ku sadari, apa pun
yang aku katakan dan lakukan, bagi bangsa lain, aku adalah merupakan perwakilan
dari dirimu. Mereka melihat dirimu lewat aku dan jutaan manusia Indonesia
lainnya di mancanegara.




 




Tanah airku…




Begitu juga saat
bencana national menerpa tanah rencong, dengan berbekal pengetahuan dari dunia
maya, aku dan teman-teman berusaha sebisanya menjadi wakilmu dilingkungan
kecilku. Ketika ada yang ingin tahu, ketika kata-kata simpati berdatangan
untukmu. Walau aku belum pernah menginjakkan kaki di bumi Aceh, namun dirimu
membuatku merasa satu…, ikut larut dalam derita dan kedukaan…




 




Tumpah darahku,




Walau jauh, aku
tetap mencari berita tentangmu dengan berbagai cara, ada televisi dan dunia
maya. Ikut bersemangat ketika pesta demokrasi dalam prosesnya. Ikut bersorak
bersemangat ketika namamu diharumkan putra bangsa di arena olahraga. Ikut
bangga dengan aneka prestasi anak negeri. Ikut menangis, ketika diberbagai
sudut negeri terjadi bencana, keadilan yang belum merata. Aku berdoa agar suatu
hari, dirimu semakin membaik dan bertambah dewasa.




Pagi ini, 60 tahun
sudah dirimu merdeka, ada sentuhan lembut dihatiku, mengenangmu pertiwi…




Aku rindu suasana
hari Senin disekolah dasarku, dimana dulu selalu ada upacara bendera. Terkadang
ada canda, tapi selalu ada kehidmatan ketika merah putihmu digeret menjulang
keangkasa. Apakah adik-adikku masih ikut merasakannya? Ternyata aku masih saja
ketinggalan banyak berita.




Masih akan adakah
siaran langsung upacara nasional di televisi ? Putra putri terpilih mencium
sang saka di istana negara? Adakah suasana meriah perayaan kemerdekaan masih
terasa sampai ke sudut-sudut desa?




Terkenang pada tepat
10 tahun yang lalu, kuberjalan mengikuti napak tilas angkatan 45, berbincang
dengan para sepuh yang mengenang saat berjuang mempertahankan kemerdekaan, yang
masih kuat dan bersemangat, merasakan aliran kecintaan mereka padamu, yang
masih terasa dikalbuku sampai detik ini  




 




Dan Indonesiaku,




Aku salah seorang anak
negerimu, masih saja disini, terbentang jarak denganmu. Tak ada upacara
dilingkunganku. Tak ada merah putih yang akan perlahan naik di tiang dan
kutatap dengan haru.Tak ada acara spesial pada saat detik-detik proklamasi jam
10 nanti. Apalagi diskusi tentang kemerdekaan dan bagaimana kita mengisi. Tapi
percayalah. Rasa cintaku tetap setulus dulu. Semurni masa kanak-kanakku. Dalam
sedih aku merindu. Berdoa untukmu negeriku. Semoga langkah seluruh anak negeri
ditunjukiNya. Bersatu padu, terus berjuang demi keadilan dan kesejahteraan bangsa,
diseluruh pelosok Nusantara.




 




Indonesia tanah air beta




Pusaka abadi nan Jaya




Indonesia sejak dulu kala




Slalu dipuja puja bangsa




Di sana tempat lahir beta




Dibuai dibesarkan bunda




Tempat berlindung dihari tua




Sampai akhir menutup mata…




 




Kini tak semua kata
dalam lagu itu keluar dengan sempurna dari memoriku. Bait-bait lagu yang akrab
di masa kecilku.  




Tiba-tiba aku amat
merindumu, Indonesiaku, tanah airku, tumpah darahku…




Dan percayalah,
kutunggu benar saat itu.




Saat untuk pulang
padamu.




Membangun negeri,
dari dusun kecilku.




 




Dirgahayu Indonesiaku!




Salam cintaku
untukmu




Merdeka!




 




 




Henny Herwina Hanif,
Kanazawa, 17 Agustus 2005



Keterangan: Foto diambil saat peragaan busana daerah, di acara Indonesian Charity day Kanazawa, Februari 05












Saturday, August 13, 2005

Kebun anggur dan memeluk kelinci




Oji san (kakek tentangga) yang sudah seperti kakek sendiri bagi Jilannisa mengajak kita jalan-jalan pada suatu hari diawal musim panas. Nggak enak juga terus menolak, akhirnnya kami berangkat dengan mengajak seorang teman lainnya. Ada perkebunan sayuran dan buah, lalu perhentian di toko susu yang dilengkapi kandang hewan-hewan lucu dan taman umum, masih di Kanazawa.

Friday, August 12, 2005

Goresan setelah menbaca journal Teh Pipiet Senja; Cerpen Antologi Kasih




Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh





Dear Teh Pipiet,


semoga kita senantiasan dibimbing dan dikuatkan-Nya



 

Saya pembaca setia jurnal Teteh, dan tak henti
menunggu yang lainnya karena untuk sementara jarak menghalangi saya
untuk leluasa membaca karya-karya Teteh dan penulis lainnya ditanah air.





Ilmu yang saya pelajari di bangku kuliah sangat jauh dari sastra. Tapi
saya sangat merasakan kebutuhan untuk membaca fiksi. Kenapa? karena saya
merasa dimanusiakan. Kebutuhan ini tak terpenuhi hanya dengan misalnya
membaca ribuan karya non fiksi.



Saya setuju dengan apa yang dikatakan oleh Helvy Tiana Rosa  di dalam salah satu tulisannya/reply-annya di MP
yang mengatakan kira-kira begini: "Sastra selalu punya tempat untuk
memanusiakan kemanusiaan kita".




Kesan inilah yang selalu saya temukan dalam setiap goresan Teh Pipiet,
termasuk dalam cerpen "Elegi September" yang saya baca di
http://pipietsenja.multiply.com/journal/item/24?last_read=1123886987&mark_read=pipietsenja:journal:24



Menanggapi adanya komentar yang mengatakan cerpen ini "tidak bisa
dipahami dari awal sampai akhir" atau " Hancuuur" dari seseorang, saya
ingin sedikit menyampaikan opini.





Setiap orang tentu boleh saja menyampaikan pendapat atau kesan dari
sudut pandangnya, tetapi akan lebih baik jika ia juga memberi
penjelasan, dari sudut mana ia melihat dan beberapa keterangan lainnya.
Karena beberapa orang yang berbeda akan mempunyai kesan yang berbeda pula
jika melihat sebuah benda yang sama, tapi dari sudut yang berbeda.



Walaupun saya bukanlah penulis, saya kok ya tidak begitu sreg
dengan
adanya kejadian dimana seseorang memberikan penilaian sebuah karya
dengan semena-mena, apalagi kesannya cukup berani dan memvonis (semoga
dalam kasus ini saudari X yang memberikan kritikan tidak lupa pula
memberikan penjelasannya, sehingga yang dikritik dan ikut membaca
kritikan bisa pula mengerti dan memetik manfaatnya) .


Saya meprediksikan, sebuah karya tulis melibatkan bagian diri si
penulis didalamnya, secara langsung maupun tidak. Sehingga, walaupun
yang mengomentari bukan penulis, sebisanyalah memberikan argumen yang
berdasar.




Saya tidak akan membahas cerpen Elegi September-nya Teteh dari sudut penulisan
atau sastra yang masih "gelap" bagi saya. Tapi sebagai awam yang
mendapatkan banyak pelajaran yang bisa dipetik dari sebuah tulisan.




Dalam Elegi Sepetember, kita bisa mendapatkan banyak petikan hikmah, antara lain tentang:




Persahabatan (lihat karakter Mamay, Maria, Meta dan suster Ika);




Kasih (Meta dan Mamay rela  memberikan benda paling berarti bagi mereka demi sahabat);




Komunikasi yang baik dalam keluarga, juga kepekaan sosial (lihat tokoh "bangau" yang menderita kelainan jiwa);




Toleransi beragama (ini disampaikan dengan halus oleh penulis);




Kepasrahan pada Ilahi (Mamay);




Keluarga (digambarkan dalam menceritakan perhatian dan kondisi orang-orang terdekat tokoh)




dan banyak lagi, jika kita mau mengambil pelajaran hidup dari sini.





Setiap individu pendapatkan type dan porsi yang berbeda dalam menerima cobaan maupun kebahagiaan, Dia maha pengatur.


Disinilah faedahnya belajar dari sebuah tulisan, dimana kita bisa
belajar untuk terus hidup dengan belajar dari pengalaman orang lain.
Memperkaya diri dengan pengetahuan kekomplek-an dunia, lalu memutuskan bagaimana
dan kearah mana kita selanjutnya melangkah, dengan masing-masing
resiko, baik dan buruknya.




Ada banyak jenis karya sastra, yang saya bicarakan kali ini adalah
bagian dari semua itu, dan saya telah mendapatkan banyak pelajaran dari
dalamnya


.


Terakhir, terimakasih Teh Pipiet, untuk membagi tulisan ini dengan kita
sini, dan semoga niat baik Teteh dan teman-teman untuk
menyumbangkan  hasil penjualan karya ini untuk korban tsunami akan
dibalasi Allah dengan berlipat ganda. Amin...




Teruslah berkarya...


Menjadi Cahaya


(mengutip kata dari seorang teman di FLP Jepang)




Wassalam




Henny-Kanazawa, 13 Agustus 2005













































Tuesday, August 2, 2005

Uda, kita lulus !










Kanazawa
, Senin, pukul 16.30 WJ, 1 Agustus 2005, akhirnya
menjadi hari bersejarah bagiku. Tepatnya setelah mendengar ucapan “Congratulations
!” dari para professor penilai “final defense”ku, presentasi mempertahankan thesis
penelitian di bidang Biologi Sains. Alhamdulillah…kupanjatkan syukur pada Ilahi.










Teman-teman menemaniku dengan sabar menunggu hasil keputusan referees yang bersidang selama
sekitar 15
menit, setelah 50 menit sebelumnya mendengarkan presentasiku dan tanya
jawab. Mereka langsung tersenyum senang, ikut berbahagia dengan kenyataan
itu. Bagiku, semua terasa berjalan begitu cepat. Aku hanya
mampu tersenyum haru dan mengucapkan terimakasih dengan hikmad pada dua profesor pertama yang
keluar dari pintu. Penilai yang lainpun kemudian bermunculan dengan
ucapan yang sama. Terakhir supervisorku Koji Nakamura. Pada beliaupun
dengan tulus kuucapkan terimakasih atas segala bimbingan dan
ketelitian dalam mengarahkan studiku selama ini.
Setelah sedikit berfoto-foto, kami  kembali  ke lab Ekologi, meninggalkan ruang pertemuan 206 dilantai dua gedung Natural Science,
Kakuma Kampus, Kanazawa University. 


Suamiku adalah orang
pertama yang ingin kukabari berita gembira ini. Baru saja aku hendak mengirim pesan
ketelepon genggamnya, Pak Dahelmi yang merupakan dosen pembimbingku sewaktu S1 di
UNAND dan sekarang mengambil program Doctor tahun pertama di lab yang sama tiba-tiba menyodorkan
telepon genggamnya.












”Si Uda”, bisiknya.


“Terimakasih Pak”,
sahutku menerima telepon itu.


"Assalamualaikum".


"Waalaikumsalam, bagaimana ?", terdengar suamiku diseberang sana.


“Uda, kita lulus !” hanya kata itu yang keluar dari mulutku.





Rasa
haru menjalari
hatiku, mengingat betapa besarnya kasih lelaki
ini untukku. Yang membuatku tegar melangkah. Tentu, keberhasilanku kali ini tak terlepas dari anugrahNya.




“Kata Pak Dahelmi presentasinya “excellent”, benar?” getar kebahagian
kurasakan dari suaranya.




“Entahlah, aku merasa
biasa saja, tapi tuhan memberi banyak kemudahan, aku InsyaAllah percaya diri tadi.
Terimakasih ya Da” ,ujarku dari lubuk hati.




“Selamat mama, akhirnya
kita bisa melaluinya…”, suaranya bernada syukur.




“Ya Alhamdulillah berkat
Uda”, kataku tulus.




Aku
lega mendengar kebahagiaan yang dirasakannya. Ya, karena keberhasilan
ini hampir tak mungkin kuperoleh tanpanya. Cintanya telah melahirkan
banyak pengertian, kesabaran dan pengorbanan yang
selalu kusyukuri.

















Suamiku, dia juga adalah
orang yang merasa paling bahagia dengan berita ini. Karena perjuanganku
dalam pencapaiannya juga adalah perjuangannya. Ketulusannya untuk memberiku kesempatan dan pengertian yang besar.

Perjuangan
penuh kesabaran dan pengorbanan darinya untukku dan Jilannisa  sang permata…




Pikirankupun 
langsung terbang ke bagian barat pulau Sumatra sana, dimana seorang
wanita lembut namun perkasa  tak putusnya menemaniku dengan doa,
Ibunda

keluarga besarku


para guru, yang telah membesarkanku dengan ilmu  dan kepercayaan

sahabat-sahabatku dimana saja berada

ya,

orang-orang yang amat
berarti dan telah menjadi semangat bagiku



Untuk semuanya

dari lubuk hati

Terimakasih…























Monday, August 1, 2005

Puisi: Pelukan pagi




Pelukan pagi

Subuh beranjak
suara manja dari bermimpi
bawaku ke bantalmu
pelukan rapat redakan igau
kembali ke sunyi
nafas teratur

Biarkan bunda membelai
menatapmu permata
merenung akan engkau
yang tumbuh melesat
bahagia dan sehat
dengan ijinNya

Tahukah kau intan
dengan hadirmu bunda belajar
merajut takjub
menempa raga
menuai bahagia
selalu

Nyaman dirimu dipelukku
Syukurlah
bundapun bahagia

Tetapi ketahuilah bunga hati
bundamu ini merasa berarti
menjadi berani
tak kenal lelah
percaya diri
tak putus mencari cinta Robbi
karena boleh
karena dapat
memeluk dan menatapmu
seperti pagi ini

Merasakan getar cintaNya
tak tertandingi


Kanazawa, 29 July 2005
Herwina Hanif