Saturday, March 13, 2010

Sumber Kebahagiaan yang Takkan Mengering

Beberapa waktu berselang, seorang sahabat yang awalnya kukenal melalui sebuah mailing list mengumumkan bahwa salah satu buku terbarunya telah terbit. Ia mencantumkan link yang memungkinkan kita untuk mengakses tentang sedikit gambaran mengenai buku tersebut dan informasi di mana bisa didapatkan. 

 

Bukunya berupa buku cerita anak berima bersumberkan 99 nama Allah yang kita kenal dengan Asmaul Husna. Dikemas secara cantik dengan aneka gambar yang tak bisa dipungkiri akan sangat menarik perhatian anak-anak untuk membaca, paling tidak dimulai dengan melihat-lihat gambarnya dulu. Baru kemudian melalui cerita, anak dan orang tua (jika mendampingi anak ketika membaca) akan lebih memaknai setiap nama mulia dari Sang Pencipta, melalui rangkaian kata yang disusun apik sedemikian rupa.

 

Rasa syukur segera menghinggapi diriku. Dengan semua informasi yang dapat diberikan melalui bukunya, aku membayangkan langkah dakwah sahabatku ini melalui goresan penanya akan terus melaju semakin nyata. Alhamdulillah...

 

Ketika buku itu akhirnya sampai padaku, dilengkapi dengan tanda tangan dan pesan singkat penulisnya, kembali kurasakan syukur yang lebih mendalam. Tampilan buku dengan hard cover serta tampilan gambar dengan berbagai ekspresi dan warna yang memikat mengingatkanku pada buku pelajaran putriku ketika ia pada tahun pertama sampai ke empat memiliki buku-buku bacaan sendiri dari sebuah pusat pendidikan prasekolah di Jepang. Tampilannya menarik, kaver dan setiap halamannya mempesona.

 

Benar saja. Begitu menyentuh buku yang kuhadiahkan padanya, putri kecilku langsung menyanyikan lagu dengan irama lagu Asmaul Husna yang memang rutin dinyanyikan di sekolahnya. Ia terus berdendang sambil membalik-balik halaman dengan cepat dan membaca nama Allah satu-persatu yang tertulis di setiap halaman buku. Itu semua dilakukannya ketika kami masih di atas mobil dalam perjalanan pulang dari sekolahnya.

 

Malamnya di pembaringan, putriku membuka kembali buku barunya, dan mulai asyik menikmati gambar-gambar dengan sesekali mulai membaca ceritanya. Ia tak pernah terlalu tertarik dengan buku dalam durasi cukup lama sebelumnya, tapi kini berbeda. Ia bahkan segera dapat mempertanyakan dan membandingkan jika ada makna kata dari nama Allah yang sepintas terlihat sama. Untuk memastikan, kami lalu segera membaca ceritanya, agar dapat memaknai perbedaan arti setiap nama.

 

Kembali ku bersyukur dan membayangkan bahwa anak-anak di tempat lain yang juga telah dan akan membaca buku karya sahabatku ini, akan mendapatkan curahan ilmu untuk lebih mengenal Allah  sambil menikmati keceriaan dan aneka suasana sesuai dengan tema ilustrasi yang ada. Kubayangkan bahwa para ayah-bunda yang menemani putra-putrinya saat membaca akan semakin tercerahkan pula.

 

Aku menjadi semakin bahagia, ketika dalam hitungan hari, ternyata buku sahabatku telah terjual dalam jumlah yang cukup besar, banjir pesanan, sehingga kemungkinan untuk cetak ulang sangat tinggi. Subhanallah, aku yang hanya sekedar mengetahui hal tersebut saja ternyata dapat menikmati rangkaian kebahagiaan dan rasa syukur hanya melalui perkembangan keberhasilan sahabatku ini.

 

Bila kuresapi lagi, ternyata keberhasilan seorang sahabat, mampu menjadi sumber kebahagiaan yang tak habis-habisnya bagiku. Walaupun sebenarnya kami belum pernah bertemu muka kecuali berkomunikasi jarak jauh saja, rasanya sudah dapat kubayangkan bahwa aku juga akan sangat senang jika tiba saatnya nanti sahabatku akan berkabar mengenai perkembangan terbarunya. Ketika bukunya menjadi best seller, ketika royalti mengalir deras dan terutama jika semakin banyak anak dan orang tua yang tercerahkan dengan membaca bukunya.

 

Maha Besar Allah, yang telah menunjukkan padaku sebuah sumber kebahagiaan yang takkan mengering, melalui perjuangan dan tahapan keberhasilan seorang sahabat.

 

Ya Robbi..., betapa hamba takkan merasa begitu diberkahi dan senantiasa dipenuhi rasa syukur?

Sungguh nikmat-Mu tak berhingga dan senantiasa begitu dekat, karena di luar sana begitu banyak saudaraku, sahabat, kenalan dan orang-orang luar biasa dengan tahapan perjuangan dan kesuksesannya masing-masing...

 

Padang, 13 Maret 2010

Henny Herwina Hanif

 

Foto: Air terjun Sarasah Bunta, Cagar Alam Lembah Harau Sumatra Barat

Saturday, December 19, 2009

Jumlah muslimah berjilbab menurun drastis?

Berapa persen sih sebenarnya penduduk Indonesia yang muslim?”, suara Wee, mahasiswa S3 dari Kagoshima University yang asal Thailand itu membuatku tertegun sejenak karena belum mempunyai data yang pasti.

 

“Hm...perkiraanku, mungkin sekitar 80 % persen atau lebih”, jawabku sambil menatap dengan makna minta persetujuan pada Oskar, panitia dan pemandu kami dari Biologi LIPI.

 

 

 

 

 

 

“Yup, sekitar itulah”, suara Oskarpun terdengar mendukung.

 

Saat itu aku dan  rekan dari beberapa negara yang kebetulan dari Asia saja  tengah menyusuri jalan setapak untuk mengamati dan melihat koleksi semut yang dimiliki area kawasan wisata Cibodas

di hari terakhir The 7th Anet International Conference on Ant 2009. Kali ini acara yang dikoordinatori persatuan para Myrmecologist dunia itu memilih  Indonesia sebagai tuan rumah, dengan Dr. Roshichon Ubaidillah dari LIPI sebegai ketua penyelenggara. Sejak subuh Presiden ANet terpilih dari India Dr. Himender Bharti, peneliti senior dari Jerman Dr. C Bhruel dan konsultan John Fellowes dari  Inggris telah berangkat ke Gunung  Gede. Rombongan kami yang secara tak sadar telah terpisah dari Prof. Yamane yang pakar taksonomi semut itu membuat perbincangan menjadi lebih santai dan topiknyapun mulai beraneka.

 

Hanya aku dan Oskar yang mewakili Indonesia dalam rombongan kecil kami. Selain kami ada Wat dan Wee dari Thailand, Jung dari Singapura dan Oshoishi yang namanya berarti batu kurus kalau bahasa Jepangnya diterjemahkan lurus-lurus saja. Melihat arah yang telah terlewati,  Oskar menjelaskan bahwa rute kami akan agak berbelit untuk kembali ke Guest House. Semua mengatakan tak jadi masalah. 

 

“Memangnya kenapa Wee? Kalau di Thailand penduduknya yang muslim berapa persen?”, ujarku malah balik bertanya sambil masih penasaran dengan pertanyaannya.

 

“Hanya 4 %!”, jelas Wat, seniornya Wee yang masih tampak sangat muda tapi sudah menjadi dosen di Prince of Sonkla University Thailand. Ia berjalan paling dekat denganku.

 

“Oh, tak apa-apa, aku hanya surprise dengan apa yang kulihat” jelas Wee dalam bahasa Inggris berlogat Thailandnya yang khas. Matanya yang sedari tadi tetap awas menyusuri jalan, waspada kalau-kalau semut bergenus Aenictus yang menjadi objek penelitiannya melintas dalam jalur perjalanan kami, sekilas menatap ke arahku.

 

“Maksudnya?” kejarku pada Wee, sambil melirik Oskar.

 

“Soalnya sebelum ini, aku telah berkunjung ke Indonesia pada tahun 2004. Sekarang, setelah lima tahun, aku melihat presentasi wanita Indonesia yang menutupi kepalanya (maksudnya muslimah yang memakai  jilbab red) ternyata telah menurun signifikan, mungkin sampai sekitar 50 %!”, ujarnya yakin.

 

“Begitukah menurutmu? Maksudmu jumlah  wanita yang memakai penutup kepala seperti yang kupakai ini ya?”, selidikku, setelah sebelumnya sempat kaget dengan komentarnya itu.

 

“Ya! Dari pengamatanku setalah dua kali berkunjung ke Indonesia, aku merasa seperti itu”, Wee berkata yakin.

 

“Yaaah, Wee...terus terang saat ini aku tak punya data yang pasti. Tapi, terima kasih karena kamu telah menyampaikan kesanmu yang jujur tentang muslimah di Indonesia yang sempat kau amati. Ketidatahuanku akan perkembangan ini, mungkin antara lain karena aku sendiri sehari-harinya berdomisili di Padang-Sumatra Barat yang dalam keseharian dan kegiatan formalnya telah terbiasa dengan para wanita yang senantiasa memakai jilbab, tak begitu menyadari hal ini. Minimal untuk pegawai dan pelajar wanita, kau akan melihat pemandangan yang berbeda. Jumlah mahasiswi berjilbab juga lebih dominan di universitas Andalas tempatku bekerja saat ini . Tapi... bisa jadi tidak demikian di kota-kota yang lebih besar atau jika kita melihat datanya secara nasional”, jelasku panjang lebar.

 

Wee dan yang lainnya tampak mengangguk mendengar penjelasanku. Mungkin berusaha mengerti saja, atau masih bertanya-tanya dalam hati. Soalnya hatiku sendiri jadi mulai bertanya-tanya tentang bagaimanakah kondisi sebenarnya.

 

Perlahan, jalan yang kami lewati mulai mendaki. Beberapa pohon besar dan danau dengan bunga-bunga yang indah menjadi pemandangan di kiri kanan jalan. Beberapa pengunjung tempat wisata terlihat membentangkan tikar untuk lesehan di sebuah danau yang bening airnya. Semut berjenis Myrmicaria  banyak kami temukan melintas disepanjang perjalanan. Sepintas lalu, tampaknya semut berwarna coklat dengan dua internodus yang khas ini termasuk dominan dikawasan Cibodas.

 

“Tapi Mbak Henny, kalau di luar Sumbar mungkin memang kita bisa melihat presentase yang berbeda Mbak...”, tambah Oskar, sambil berjalan lebih cepat menyusul langkahku.

 

Aku menatap Oskar dengan gelengan dan ekspresi ketidaktahuan dan ketidakpastian. Yang jelas dadaku mulai dijalari rasa perih ketika menyadari kesan yang didapatkan Wee tentang muslimah, hanya setelah beberapa hari ia tinggal di Indonesia tahun ini.

 

Penilaian Wee mungkin benar, mungkin juga salah. Tapi setidaknya aku menjadi tahu, bahwa pakaian muslimah yang khas dan Islami telah dijadikannya sebagai salahsatu indikator kondisi umat muslim di negara ini.

 

Jika kucoba mencermati lebih jauh, suatu saat, prediksi Wee bisa saja mendekati kenyataaan. Bukankah secara lebih sederhana kita dapat melihat sendiri di media cetak dan elektronik bahwa persentase wanita muslim yang berpakaian muslimah tidaklah besar? Sebaliknya wanita dengan aurat yang tak dilindungi dengan sangat bebas muncul di media yang dapat diakses siapa saja dan dari umur berapa saja, pada jam tayang yang mana saja di Republik yang mengaku mempunyai komunitas muslim terbesar ini. Berapa banyak tayangan Islami yang bisa kita harapkan? Betapa minimnya jumlah media cetak yang benar-benar meneruskan informasi dan mampu menggerakkan ummat Islam sendiri agar bangkit dari keterpurukan? Sungguh, aku mendapat pelajaran berharga dari percakapan ringan dalam upaya mencari dan mengenal jenis-jenis semut Cibodas siang itu.

 

Terima kasihku ya Allah, Engkau begitu penyayang....aku senantiasa diingatkan, dan kali ini melalui interaksi dengan rekan-rekan dari negara lain. Mereka tentunya mendengar dan telah tahu bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah muslim yang sangat besar. Dan ketika kenyataannya tidak sesuai dengan yang mereka lihat di lapangan, wajar saja jika mereka jadi bertanya-tanya”, bathinku.

 

Percakapan dengan Wee senantiasa berputar-putar dikepalaku sampai aku menuliskannya pagi ini. Sementara itu kekhawatiran barupun datang ketika memikirkan diri. Walaupun telah berpakaian Islami,  aku masih sangat kurang ilmu untuk menjadi lebih baik dimata Allah, sering terbawa arus kesibukan rutin, sangat kurang usaha untuk berjuang  menerapkan nilai-nilai Islam secara optimal, bahkan bagi diri dan lingkungan terkecilku. Astagfirullah...

 

Padang, renungan di awal tahun Baru 1431 H

Tuesday, November 10, 2009

Tenda Cahaya




Alhamdulillah, adik-adik dan pembina FLP Sumbar kembali memberi kesempatan kepada saya untuk bergabung dalam salah satu kegiatan mereka. Kali ini dalam kegiatan "Tenda Cahaya", sebuah kegiatan yang dikoordinasikan dengan FLP Pusat untuk membantu rehabilitasi mental anak-anak sumbar pasca gempa.

Berbaur dalam aktifitas kepedulian bersama aktifis FLP, guru dan murid SDN 27 Sungai Sapih Padang adalah kesempatan istimewa. Sekolah dasar yang mengalami rusak parah pada gedungnya setelah peristiwa gempa 30 September 2009 lalu dan terpaksa mengarahkan siswa untuk belajar ditenda, teras rumah dan baru-baru ini sebagian sudah dapat pindah ke kelas dari triplek ini untuk sementara harus membiasakan diri belajar bergantian di dalam kelas yang jumlahnya masih terbatas.

Kehadiran kakak-kakak dari FLP dengan rangkaian kegiatan interaksi ceria dalam bentuk game, mendongeng, lomba gambar dan puisipun disambut hangat murid-murid.

Wednesday, November 4, 2009

Aku tak rela Ma!

Sejak mulai bisa melihat, Jilan telah mengenal mamanya sebagai wanita berjilbab. Kalau keluar rumah, ia melihat mamanya  pasti memakai jilbab. Di dalam rumah, jilbab biasanya akan dibuka, tapi kalau ada tamu laki-laki atau walau hanya ada anggota keluarga yang kata mama “bukan muhrim” seperti para om (suami Ibu Nina dan Ik adik-adik mama) di sekitar kami, maka mamapun pasti tak akan melepas jilbabnya.

 

Dengan berjalannya waktu Jilan semakin memahami makna berjilbabnya seorang muslimah. Sejak lama, ia akan segera menghambur mengambilkan jilbab mama untuk segera dipakai jika tiba-tiba ada tamu yang harus ditemui. Ia juga terbiasa menjadi orang pertama yang membukakan pintu, melihat tamunya laki-laki atau perempuan, dan meminta menunggu sebentar karena mama harus berkerudung dulu.

 

Mama punya jilbab untuk bekerja dan bepergian, juga untuk dipakai di rumah. Jilan boleh mencoba semua dan mematut-matut diri dengan jilbab mama. Mama selalu memakai jilbab-jilbabnya dengan baju yang sesuai, dan Jilannisa juga suka sekali melihatnya. Beberapa dari baju dan jilbab mama sangat disukainya, sehingga mama dengan senang hati akan memesankan baju senada khusus buatnya. Menyenangkan sekali punya beberapa baju muslim yang kembar dengan mama.

 

Akhir-akhir ini, kalau mama akan membelikan jilbab santai baginya, Jilan maunya juga dibelikan yang agak panjang. Alasannya, biar jilbabnya seperti mama. Sepertinya ucapan-ucapan dan pelurusan-pelurusan dari ustazahnya sejak di TK yang selalu mengingatkan jika jilbabnya terlalu pendek, lengan bajunya yang sudah kependekan, atau malunya jika aurat anak perempuan terlihat oleh anak laki-laki, cukup mempengaruhinya. Mama tentu saja bersyukur, karena walaupun keinginan memakai jilbab di luar jam sekolahnya yang “all day” itu masih angin-anginan, putrinya mencintai penutup kepala yang benar-benar berfungsi menutupi aurat perempuan. Lagian menurut mama, Jilan memang tampak cantik... sekali dengan jilbab warna-warninya yang modis.

 

Kemaren malam, Jilan kaget sekali melihat mama, tanpa jilbab tengah berjalan membungkuk ke balkon lantai dua rumah mereka. Mama terlihat menyiram bunga-bunga sambil berjongkok.

 

“Ma, hati-hati! Nanti kalau ada yang lihat mama bagaimana? Tiba-tiba ada tamu laki-laki  bagaimana!” serunya dengan wajah serius dan mata yang membola. Ia lalu sibuk memperhatikan sekitar dengan waspada, bolak-balik melihat pada mama dengan heran.

 

Mama agak kaget dengan teriakannya tapi segera tersenyum melihat ekspresi Jilan yang sungguh-sungguh mengkhawatirkan dirinya. Bagi mama, perilakunya menunjukkan bahwa Jilan mulai merasa tak rela aurat mamanya akan terlihat oleh orang lain. Kehangatan yang lembut mengalir di hati mama.

 

“Tidak apa-apa sayang... Disini gelap dan tertutup pagar kebawah, jadi mama yakin tidak akan ada yang melihat. Tapi terimakasih ya, sudah menjaga mama..mmuach..”, ujar mama ambil menciumnya dan berlalu ke dalam.

 

Jilan tersenyum. Ciuman mama selalu nyaman terasa.