Friday, April 25, 2008

J u m p a S a k u r a

J u m p a  S a k u r a

Kuyakin hanya dalam seper-sekian detik perbedaan waktu, disaat aku
sedang membaca nomor telepon genggam seorang sahabat yang terekam di
telepon genggamku untuk kuhubungi pagi itu, tiba-tiba nada dering
pertanda adanya telepon masuk menyentakkanku. Sesaat aku terpana
karena nomor yang berpijar di layar teleponku adalah nomor yang
kelihatannya persis sama dengan yang ingin kuhubungi. Dengan
kesadaran yang belum lengkap, segera kupencet tombol
Answer.

"Mbak…. Seri....?" aku menebak dengan suara yang pastinya
terdengar ragu.

***
Angka 26 dibagian dua angka terakhir dari nomor telepon ini secara
otomatis mengingatkanku pada seorang sahabat, yang kemaren
menghubungiku dari Jakarta. Ia menyebutkan jadwal penerbangan dan
waktu kedatangannya di Bandara Internasional Minangkabau Padang, dan
aku menyesal sekali tidak bisa menjemputnya karena tengah berada di
Padang Panjang dalam rangka Kuliah Lapangan Umum dengan ratusan
mahasiswa, alumni dan dosen Jurusan Biologi UNAND. Ketika ia
meneleponku, aku sedang menggali tanah bersama beberapa orang
mahasiswa untuk memasang pitfall trap dan mengumpulkan sarasah dari
beberapa tempat yang kemudian dimasukkan kedalam kantong kain putih
untuk dibawa ke laboratorium.

Lokasi tempat kami membuat transek saat itu ternyata dihuni oleh
banyak Haemadipsa, sejenis pacet, sehingga kewaspadaan harus prima
kalau tidak ingin hewan yang termasuk ke dalam Phylum Annelida
tersebut bersemayam pada bagian tubuh yang tidak diinginkan, dan
dengan diam-diam menghisap darah kita sepuas hatinya. Aku gemas
bukan kepalang dengan mahkluk yang sekilas tampak lembut seperti
ulat kupu-kupu Papilio namun ketika sudah berhasil menancapkan
caudal suckernya di kulit kita, dengan lahap ia akan menghisap darah
kita yang merah segar. Lihai. Wajarlah hewan tak bertulang belakang
ini sering disebut dengan lintah darat. Aku bergidik memikirkan
makna dari istilah "lintah darat" dalam peradaban umat manusia.


Beberapa mahasiswa yang sudah terbiasa dengan kehadiran pacet,
dengan bangga hanya memakai sandal sebagai ganti sepatu boot untuk
lapangan. Bahkan ada yang hanya bertelanjang kaki seolah menantang
si lintah darat yang lihai ini. Aku hanya menggelengkan kepala
ketika menyadari tidak semua mahasiswa bersepatu lapangan seperti
seharusnya.

"Nggak sempat mengganti dengan sepatu Buk, kan kita diajak ke area
ini dadakan...," mereka beralasan.

Dan tentu saja, tinggal menunggu saatnya...


"Aiiiiii!, Au Au, Aaaaa….!" terdengar jeritan kaget dan jijik dari
mulut Arika, seorang mahasiswi bimbinganku.
" Wuauuaa..pacet dikakikuuuu…. !, teriakannya bernada kaget dan
jijik.

Tubuh mungilnya meloncat-loncat tak terkendali. Dengan sabar dan
senyum tipis seolah melihat hal kecil, Awal, mahasiswa yang menjadi
asistenku pada beberapa praktikum memegang pacet yang sudah gendut
kekenyangan dari sela-sela jari kaki Arika, lalu membuangnya ke
semak di jalan setapak di dalam hutan yang masih masuk kawasan Cagar
Alam Lembah Anai itu. Teman meraka yang lain tersenyum-senyum
menggoda.

"Kok yang ditempeli pacet hanya orang-orang penakut padanya ya...?"
Desman, yang berperawakan tegap dan terlihat dewasa dari umurnya
pura-pura bertanya.

Mata Desman menatap angkasa dengan dibuat-buat. Ia nampak banggga
karena para pacet tak berminat padanya, padahal ia sudah
bertelanjang kaki dengan gagah berani. Memang sejauh ini Desman
aman. Entah karena kulitnya yang nampak tebal dan kehitaman, atau
pacet tidak menyukai bau tubuhnya.

"Ternyata ada manfaatnya kan jadi perokok?" ujarnya tersenyum puas.
"Hanya ....untuk kasus ini saja, mungkin ya, untuk kasus lain, tak
ada toleransiku!"protes Rita yang hidungnya sangat sensitif terhadap
bau rokok, persis sama denganku.

Aku sendiri yang pernah punya pengalaman tersendiri dengan pacet
pada saat masih mahasiswa memang cukup khawatir dengan mahkluk yang
tiba-tiba sudah mencapai paha bagian atas, padahal celana panjangku
sudah diikat dipergelangan kaki dengan karet gelang. Sendainya aku
tak merasakan isapan pertamanya yang agak perih di paha, entah
kemana pacet itu akan melanglang buana ditubuhku. Wiiiiw...!

Diantara kehebohan pengambilan sampel dan perjuangan menghadapi
kelicikan pacet itulah Mba Seri meneleponku.

"Diperkirakan pukul 17.00 WIB Mbak Seri sudah sampai di Bandara ya?
Oooo, ada adeknya yang menjemput? Ok...," aku memperjelas informasi
yang diberikannya ketika itu.

"Kalau saya bisa mencapai Padang sekitar pukul lima saya akan ikut
ke Bandara juga, tapi kalau tidak bisa, kita janjian untuk ketemuan
disuatu tempat, dan dipastikan lewat telepon aja ya Mba...," begitu
kataku, merasa senang sekali, akan berjumpa sahabat yang selama ini
hanya dapat kujumpai melalui tulisannya di mailing list atau akhir-
akhir ini satu dua kali di multiply.

Ternyata perkiraanku meleset, karena hujan deras dan rasa kantuk
akibat kurang tidur di lapangan yang sudah sampai pada taraf
membahayakan untuk menyetir mobil sendiri, aku sempat menumpang
tidur di sebuah Mushalla di pinggir jalan barang beberapa menit,
setelah sukses melewati daerah Silaiang yang terkenal karena banyak
kelokan tajamnya. Jilannisa putriku, satu-satunya penumpang di mobil
kami, dengan segera tertidur pulas di lantai musholla beralaskan
mukena berwarna pink kesayangannya. Kami anak-beranak terkapar
beberapa saat.

Setelah menunaikan shalat Ashar baru aku bisa melanjutkan perjalanan
balik ke Padang, sementara gadisku kembali tertidur pulas ketika
mobil mulai bergerak. Karena kami juga membawa sepeda anak ke lokasi
perkemahan (dengan maksud membuatnya senang bermain menikmati MinangVillage karena diperkirakan mamanya akan konsentrasi pada acara),
jok mobil yang biasanya bisa didorong ke belakang sehingga ia bisa
merebahkan diri, menjadi tertahan. Jadilah ia tertidur dalam posisi
duduk. Aku meliriknya dengan agak prihatin lalu menghibur diri
sendiri bahwa perjalanan kami hanya sekitar satu jam lagi.

Setelah mentransfer Jilannisa pada papanya, aku melanjutkan
perjalanan ke kampus karena harus memasukkan 20 sampel ke dalam
Winkler litter shifter. Baru pukul 22.30 malam semua pekerjaan
selesai walaupun sudah dibantu dua orang mahasiswa. Sempat pula aku
dibuat cemas karena Deco, mahasiswa yang berbadan tinggi dan
tenaganya sangat diperlukan untuk menggantungkan bahan penelitian ke
langit-langit ruangan, ditelepon oleh orang tuanya pada pukul 21.00.
Ketika kutanya mengapa, ia menjelaskan bahwa biasanya ia pulang
kerumah paling lambat pukul 22.00 WIB, jika melewati batas itu,
tidak ada yang akan membukakannya pintu rumah. Akibatnya kami
bekerja dengan tempo dipercepat dan perasaan hampir tak yakin akan
bisa menyelesaikan pekerjaan sebelum pukul 22.00. Belum lagi waktu
yang dibutuhkan untuk berkendaraan pulang dari kampus kami yang
berada diatas bukit Limau Manis menuju ke rumahnya di daerah Air
Tawar yang dekat dengan pantai. Kami semua kelelahan, karena seluruh
proses di laboratorium kali ini dilakukan dengan berdiri dan tak ada
waktu untuk istirahat barang sejenak. Akupun lupa menelepon Mba Seri
kembali malam itu.
***

"Iya Mba, Henny...," terdengar suaranya lembut menyadarkanku dari
keraguan.
"Aduh…, Mba Seri…, barusan saya mau telepon. Dimana Sekarang Mba?"
"Saya ada di Matahari bareng Adek dan Bapak, siang ini langsung ke
Bandara...".
"Saya susul kesana ok, Mba Seri mau lihat-lihat pasar Padang dulu?"
" Sudah, saya tinggal ingin ketemu Mba Henny…".
Aku memikirkan bagaimana baiknya, karena dibutuhkan sekitar 30 menit
kalau saya turun gunung dari Kampus Limau Manis menuju kota.
"Mba Seri, mungkin kita bisa ketemuan di salah satu restoran?"
tawarku.
"Kami sudah makan, barusan saja...".
"Mau beli oleh-oleh mungkin? Karena butuh waktu sekitar setengah jam
dari kantor saya sekarang. ..".
"Nggak, sudah nggak mau kemana-mana lagi, saya tunggu Mba Henny
dimana?"

Aku jadi kelabakan karena sepertinya tak ada pilihan lain, juga
karena kasihan membuat Mbak Seri dan keluarga akan menunggu,
sementara berbagai alternatif aktifitas sebagai perintang waktu yang
dicoba tawarkan nampaknya tak mempan untuk Mba Seri saat ini.
"Sekarang lagi dimana persisnya Mba?" tanyaku akhirnya untuk
memastikan posisi.

"Depan Sari Anggrek, toko buku".
"O.. kalau begitu, Mbak Seri lihat-lihat buku sebentar ya..., saya
langsung naik mobil kesana, sekarang juga.....," pintaku sambil
masih merasa kurang enak membuat mereka menunggu di tempat itu.
"Keluar sebentar Mba Maya!" teriakku pada seorang pegawai Jurusan
sambil berlalu ke tempat parkir tanpa mengharapkan jawaban apapun
darinya.

Saat mengemudi, aku membayangkan alangkah baiknya kalau Mba Seri dan
keluarga bisa duduk sambil menunggu di sebuah toko kue di depan toko
buku Sri Anggrek. Akupun menelepon lagi.

"Mba, kalau Bapak dan anak-anak capek menunggu, sebaiknya...."
"Nggak kok, kita lagi makan es krim...," potong Mba Seri terdengar
santai.
"Kalau begitu baiklah.."

Kubayangkan mereka telah dapat menemukan cafe kecil disekitar toko
buku. Kutambah kecepatan. Sekitar 10 menit sebelum sampai di toko
Sari Anggrek yang terletak di jalan Permindo, aku sempat mampir
disebuah toko kue guna membeli sekedar oleh-oleh ringan. Aku baru
sadar kalau belum sempat menyiapkan apa-apa bagi Mba Seri. Sedikit
ada masalah disini, karena penjaga toko tak mau menjual kotak kue
padaku, karena yang aku beli adalah semacam keripik.

"Nggak bisa Buk, kotak ini hanya untuk roti," katanya sambil
menatapku dengan gaya tegas.

Aku menatap kotak-kotak kertas bermotif menawan yang tersusun rapi
dan menjulang tinggi di sala satu sudut ruangan. Jumlahnya
kuperkirakan cukup banyak.

"Tapi kalau boleh, saya ingin membeli kotak kertas ini, satuuu saja,
agar bisa memasukkan keripik yang hanya diplastikin ini kedalamnya
karena akan saya berikan ke teman sebagai oleh-oleh, nanti saya
bayar kotaknya..," jelasku.
"Ndak bisa Buk, kotak ini hanya untuk roti..," ia masih bertahan.
"Uni..., saya kan sama-sama beli makanan disini, sebagai pengganti
roti saya membeli keripik ini saja kali ini, karena untuk dioleh-
olehin ke teman... ," protesku tak sabar, soalnya aku merasa sedang
bertarung dengan waktu.

Penjaga toko tak bergeming. Aku tak habis pikir. Selanjutnya,
sebagai akumulasi dari kegusaran karena tak boleh membeli kotak dan
waktuku yang sangat sempit karena sedang ditunggu Mba Seri
sekeluarga, aku memutuskan bertindak sendiri. Kotak yang memang
tinggal diisi dan disusun menjulang dengan posisi terjangkau itu
kuambil sendiri dan kuisi dengan dua bungkus keripik tanpa
memperdulikan tatapan tak menentu sang penjaga toko. Aku melihat ada
wanita lain di bagian belakang toko yang dari penampilannya
kuprediksi adalah atasan si penjaga toko dan segera berseru.

"Ibuu....? Uniii.?...saya beli keripik dengan kotak ini ya?, akan
saya bayar kotaknya!" ujarku sambil memperlihatkan kotak dan sambil
setengah berteriak agar ia bisa mendengar dengan jelas. Kubawa
keripik didalam kotak tersebut ke meja kasir.
"Harga kotaknya mahal!" jawabnya sambil mulai melangkah ke meja
kasir.
"No problem, saya bayar berapapun harganya," balasku, sepintas
mungkin terkesan seperti ibu-ibu yang congkak.
" Oh, tolonglah, waktuku terbatas kawan...,"

Akhirnya dengan masih agak heran wanita atasan penjaga toko itu
memencet tuts-tuts tertentu di meja kasir dan keluarlah jumlah yang
harus kubayarkan. Dan lihatlah saudara-saudara, jumlahnya sama
sekali tidak mahal!
"Ditambah dengan kotaknya seribu lima ratus ya Buk.,." ucap sang
atasan.
"Oh…tentu saja, terimakasih....., ini uangnya,, aku tersenyum penuh
kemenangan.
"Haah ada-ada saja, syukurlah aku tak menyerah ..,." pikirku dalam
hati sambil menuju mobil dengan riang.
***

Setelah memarkir mobil di depan Toko Buku Sari Anggrek, aku mulai
mencari-cari Mba Seri. Dari kejauhan aku melihat dua orang gadis
kecil, sekitar 2 tahunan dan memakai Jilbab mungil yang seragam dan
lucu tengah bermain-main dengan seorang lelaki setengah baya,
didampingi seorang wanita berjilbab panjang berwarna ungu tua.
Mereka berdiri agak berpencar disekitar kasir. Tidak jauh dari
mereka, seorang wanita dengan jilbab coklat muda dan baju senada
menoleh kearahku.

"Mbak Seri?," aku mencoba menebak duluan.
"Mbak Henny?"

Kami bersalaman dan berpelukan penuh kelegaan. Bagiku pertemuan
dengan Mba Seri punya arti yang khusus. Kehadirannya seolah mewakili
kerinduanku untuk menjumpai sahabat terkasih yang sebagian besar
tengah berada di negeri Sakura. Sahabat-sahabat istimewa yang saling
bahu-membahu menuju kebaikan diri dan masyarakat melalui karya-karya
yang terus diupayakan sarat makna. Mereka yang
tergabung ke dalam Fahima dan FLP Jepang. Mereka yang sebelum hanya
dapat kutemui di alam maya, namun dekat dihati.
Aku membayangkan Mba Seri berbadan besar dan agak tomboy gara-gara
pernah melihat fotonya suatu hari di maillist atau entah dimana
tepatnya. Mba Seri yang sebenarnya, ternyata lembut dan keibuan he
he.

Selanjutnya aku dihadiahi omiyage dari Jepang yang kuterima
dengan sukacita dan kusimpan baik-baik ke dalam tasku. Setelah
dikenalkan dengan Ayah Mba Seri, dan adiknya Ifa, serta dua gadis
kembar lucu yang ternyata keponakannya, aku mengajak mereka ke
sebuah toko roti (lagi...) diseberang toko buku, agar bisa duduk
sejenak dan berbincang.

"Satu jam saja, ayooo...?" mba Seri meminta persetujuan ayah, adik
dan juga sopirnya.

Semua menyetujui. Berombongan kami menyeberang menuju toko bernama
Golden. Setelah memesan minuman yang hanya Teh Botol karena menurut
Mba Seri mereka sudah tak kuat memakan dan minum apa-apa lagi. Kami
ngobrol sebentar di sebuah meja makan. Mba Seri bercerita tentang
rencana umrahnya, jadwal perjalananya, adiknya sekeluarga yang
sekalian akan ikut untuk pindah ke Jawa, anak-anak yang ditinggal di
Jepang dengan suaminya untuk semantara dan FLP Jepang tentu saja.

"Wooo, Mbak seri diminta anaknya bikin kue dulu sebelum pulang?
Nggak sempat tidur? Ehm Fifi chan ya?"
"Kiki..."
"Oh Kiki chan, maaf nih, saya ingat nama Kiki dari postingan Mba
Seri ke milis berupa cerpen anak, settingnya di lampu merah kalau
tidak salah...? " ujarku bersemangat, mencoba mengembalikan ingatan
tentang tulisan Mba Seri sekitar dua tahun yang lalu.
"Benar....!" Mba Seri tersenyum cerah sekali. Akukun senang masih
ingat tulisanya itu.
"Oh Iya, mana bukunya yang ditulis bareng teh Lizsa?, sudah tidak
tahan pengen baca neeeh...," tagihku tak sabar..
"Wuaa,... lupa..., nanti saya kirim ya? saya juga baru dapat GANS,
udah baca..".
"Gimana? Bagus? Saya baca semua tulisan waktu diedit Mba Aan dan
saya baca lagi setelah jadi buku, isinya persis sama, tapi rasanya
beda kalau sudah jadi buku ya......!."
"Iya, menurut pembaca saya juga begitu. Ada yang sudah punya kedua
buku saya, termasuk GANS, dan komentarnya melegakan...!"

Aku dan Mba Seri tidak memerlukan waktu dulu untuk menjadi akrab,
otomatis sudah demikian. Sesekali Mba Seri meminta ayahnya memotret
kami, bersama sikembar atau berdua saja. Aku menyesal tak membawa
kamera.

"Nanti kuposting di multiply deh...," janji Mba Seri menghiburku.


Diperkirakan baru 45 menit kami berbincang namun si kembar tampak
mulai bosan di dalam ruangan. Aku jadi tidak tega melihat Ibu dan
kakek mereka yang kelelahan menyabarkan. Setelah aku dan Mba Seri
berpandangan, kami memutuskan untuk membungkus saja minuman dan
dibawa ke mobil. Artinya, Mba Seri sudah harus pergi. Ah...

**
Perlahan, mobil hitam yang membawa Mba Seri dan keluarganya bergerak
mundur, keluar dari area parkir. Masih kuingat tatapan Mba Seri
melalui jendela mobil yang dibiarkannya terbuka. Mata teduh yang
sedang berbicara banyak.

"Benar Mba..., pertemuan ini memang terlalu singkat...," jeritku
dalam hati.


Ada rasa sesak menerpaku ketika harus berpisah dengan sahabat yang
baru saja hadir satu jam yang lalu dihadapanku. Tapi tak apa Mbak
Seri, kita telah sepakat untuk segera kembali berjumpa bukan?
Bersama dengan sahabat yang lainnya, senantiasa berusaha merajut
kata dan mempersembahkan karya, agar
suatu ketika dapat menjadi cahaya...

InsyaAllah...

Padang, 31 Maret 2008


Pitfall trap: perangkap jebak
Caudal sucker: alat isap bagian bawah
Wingkler litter shifter: semacam alat pengoleksi serangga

Catatan:

 Tuk Mba Seri yang mo Ultah tanggal 27 ini... witLuv...

22 comments:

  1. waaa.... ceritanya lumayan panjang juga.. hihihihi

    ReplyDelete
  2. he he, semua pengen diceritain...jadi kayak jalan jalan deh tulisannya. Biar aja kali ya, begitulah adanya yang berseliweran dimemori...
    Pa kabar Titin..?

    ReplyDelete
  3. wooww senangnya.....bisa membayangkan bahagianya...

    ReplyDelete
  4. inshaAllah amiiin... *ikut mendoakan*
    apa kabar mbak Henny?

    ReplyDelete
  5. Mba Yati, doumo...
    Cantik-cantik nian foto-foto sakura di blognya...saya ngebayangin indahnya juga...ahh...

    ReplyDelete
  6. Mba Uci sayang, makasih ikut berdoa untuk kita...alhamdulillah baik, larut dalam kegiatan kampus, tak terelakkan. Saya merindukan punya waktu lebih lapang he he
    Saya juga merindukan suatu hari membaca tulisannya Mba Uci yang kocak dalam bentuk buku, jadi nggak ngempi juga bisa... :)
    luv...

    ReplyDelete
  7. Heny..apa kabar??
    baca cerita Henny jadi ingat kisah pencarian Henny dulu...
    yah kira2 seperti itulah perasaan saya...
    mulai dari nunggu kabar waktu Heny sampai di Airport...dst..dsb..
    Alhamdulillah..diberi kemudahan2...

    kapan sampai sini lagi Hen??
    udaranya lagi enak...40C..he..he..he

    ReplyDelete
  8. Mba Ati!!!
    Langsung berkaca-kaca neeeh...*
    Pa kabar Mba? Dikau adalah malaikat penuntunku di India, rekomendasi dari Mba Utski (lirik Mba Uci...)
    Kangen Mba...
    Pa Kabar Mas yang super baik dan sabar? (masih kebayang beliau dengan sabar nungguin dan bawain belanjaan hiks) Ayu dan Bagus?...Mba Ross dan putri2 cantiknya?
    Barusan di kampus henny memastikan file foto-foto kita masih ada di sebuah CD, karena kopian dikomputernya hilang sehabis reinstall...

    pelukan dulu ah...kangen...!

    tapi nggak mau kesana kalo segitu panasnya (wuaaa...)

    ReplyDelete
  9. Hen...
    Alhamdulillah baik2 saja..
    thanks Uci...sdh kasih info bwat Henny...
    sy masih punya koq file foto2 Henny lengkap..(kalau perlu..bilang ya Hen)..
    Insya Allah tgl 3 mei suami ke Jkt Hen..ada pelatihan..
    bu Ross baik2 aja..putri2nya sdh naik kelas,tapi agak kurusan..
    anak2 juga Alhamdulillah baik...,ayu sedang cari PT Hen..

    oh iya..tolong di pm alamat Henny di padang ya ..
    sy tunggu

    ReplyDelete
  10. Senangnya bisa kopdaran :-)

    Uni Heny skr sibuk luar biasa ya :-) Ibu Prof sih :-) Salut sama dedikasi Uni atas pekerjaan Uni :-p I wish I could be a teacher too :-p

    ReplyDelete
  11. uni, biar ga digigit pacet kasi tembakau rokok...coba deh..aku dah nyoba..mantep...

    ReplyDelete
  12. wuaaaa... udah lama gak ke MP uni Heny, kangeeeeen... kpn ke jkt ni?

    ReplyDelete
  13. Syukurlah semua baik-baik. Senang mendengarnya :) Semoga Ayu dapat PT yang diidamkan ya..., nggak minat di Ina ? he he (godain... mba Ati...). Mo ditinggal ke Jkt brapa lama neh? Smoga lancar deh pelatihan Mas-nya... Salam ke Bu Ross sekeluarga juga ya..., lagi sibuk kali, and aktif, makanya kurusan para putri..., biasalah anak-anak...
    Alamat henny sekalian disini aja Mba, Komplek Taruko I Blok I no 10, Padang. 08526329706
    Tapi banyakan di kampus, pagar terkunci kalau siang hari kerja, ke Jurusan Biologi FMIPA UNAND, Kampus Limau Manis Padang, 25163. Ditunggu ya.., main ke Padang...Fotonya aman Mba...ada..ada...masih..he he

    ReplyDelete
  14. Dear Ima...Selamat dulu dong, untuk kesuksesannya bikin Essay to Mba Helvy, besok acara penyerahan hadiahnya ya? Daku juga punya kesan mendalam berhubungan dengan beliau sekeluarga walau hanya lewat MP. Masih ingat euy, Faiz janji mentraktir makan di Waroeng Kita he he
    Sibuk? jadi malu..., sebenarnya kelemahan dalam memenej waktu aja kalee...diriku ini. Syukurlah didampingi anak dan misoa yang mengerti, jadinya enjoy aja Alhamdulillah...
    Jadi Guru, emang gampang-gampang sulit, tapi jadi indah dan berwarna, apalagi kalau bekerjanya dengan cinta. Benar nggak Ima..? Amin...to doanya Ima... :)

    ReplyDelete
  15. Iya Chan, buktinya perokok bergaya santai disela para pacet he he. Sayangnya daku tak begitu mencintai baru rokok. SSsttt, mami sempat ngintip jurnal ini di lab sebelum di publish hlo ha ha

    ReplyDelete
  16. Ade Yuni...kangeeen juga....
    iyah, dah lama nggak ketemu disini ya? Wajar aja Yun, dakunya yang udah lama nggak aktif di MP.
    Bagaimana Kabar? di Jakarta udah lama? daku ke Jakarta terakhir November, transit doang he he

    ReplyDelete
  17. mba Henny...ternyata kelembutan dan kehangatan hatimu jauh melebihi dari yg saya bayangkan sebelumnya, yg hanya dengar suara aja di siaran flp...subhanallah...beruntungnya saya...
    membaca tulisan ini segera membuat airmata jatuh berderai...ah, menyesal cuma bertemu sebentar.
    jazakillah khoiran katsira, mba Henny...semoga semua urusannya sukses dan lancar, amiin.

    ReplyDelete
  18. mau berbagi info juga...hehe mungkin banyak yang sudah tahu...
    untuk melepas lintah, bisa pakai tembakau...(ngga sama dg rokok yah...?) yang dipakai Nini buat 'manginang' (bhs. Banjar).

    ReplyDelete
  19. walau cuma jumpa sebentar ama mba Henny...alhamdulillah harapan dan rencana saya kopdar dengan mba Henny tercapai...(salah satu rencana/target pulang ke Ina)
    btw, mba Henny...oleh-olehnya sangat disukai sama keluarga saya...makasih banyak ya...:)

    ReplyDelete
  20. Uni...atau anti panggil Ibu saja ya....sambil gemetaran nih ngetik...terharu...ternyata uni/ibu Henny adalah senior sekaligus dosen Ku. Maaf kan tidak membaca dulu blognya sudah bertanya ini itu. sekali lagi maafkan. Benar Mbak Seri adalah sosok yang lembut, beliau sangat sederhana menurut saya tapi ilmu dan pengalamannya tidaklah sesederhana penampilannya (sekarang saya satu kota dengan m.seri)....seperti sekarang saya melihat Ibu/Uni Henny....subhanallah dengan ilmu dan dedikasi tinggi masih mau meng add saya....hiks....hiks....terharu....

    ReplyDelete
  21. Subhanallah, lama tak buka jurnal ini, ternyata Mbak Seri telah berkunjung
    Sungguh indah dan terharu membacanya Mbak, bahwa pertemuan kita telah menjadi salah satu target kepulangan Mbak ke Ina. Begitu agungnya niat baik Mbak Seri dimata saya. Semoga Allah senantiasa melindungi dan memudahkan kehidupan Mbak Seri sekeluarga. Amin...

    ReplyDelete
  22. Anti sayang, panggil Uni saja doong he he
    Kalo Ibuk, rasanya formal dan berjarak. Saya butuh waktu untuk membiasakan diri dengan panggilan Ibuk dari mhs. SAtu kota dengan Mba Seri ya Anti? salam ya buat beliau, pastinya untuk keluarga Anti. Bagaimana kabarnya kini? mulai panas ya? he he

    ReplyDelete