Wednesday, April 29, 2009

Hina Ningyo (Hadiah untuk gadisku) 2

Aku terkagum-kagum menyaksikan keindahan hadiah yang dibawa Atsuko san. Pajangan tradisional yang biasanya aku lihat mulai banyak dijual dan dipajang di supermarket pada setiap bulan Februari untuk nantinya akan digunakan saat pestival anak perempuan (Hina Matsuri) kini menyemarakkan apartemenku. Tak cukup hanya itu, dari kotak yang lebih kecil Atsuko san kemudian mengeluarkan semacam kotak musik yang bila diputar akan mengeluarkan alunan melodi lagu Hina Matsuri, yang merupakan lagu khusus untuk pestival tersebut. Terakhir, ia juga mengeluarkan semacam raket kayu ukuran besar yang hampir seluruh bagiannya dihias membentuk tubuh wanita berkimono tigaperempat badan.

"Aduuh…cantik luar biasa! Ruang keluargaku menjadi lebih semarak, dan… akan bagus sekali kalau nanti bisa dibawa pulang ke Indonesia…," bisik hatiku.

Jilan anakku mulai terlelap kembali. Sebaliknya, aku dilanda kebimbangan.

"Bagaimana orang Jepang memperlakukan Hina Ningyo ini? Apakah mereka mempecayai bahwa boneka ini dapat melakukan sesuatu...?" batinku.

Berbagai hal yang tak terpikirkan sebelumnya, tiba-tiba menjadi pusat kekhawatiran bagiku. Baru kusadari bahwa suamiku sedang tidak ada sehingga tak ada yang bisa diajak berdiskusi untuk menyikapi kejadian mendadak ini. Telepon genggamnya tak bisa kuhubungi. Kucoba menelepon Pak Edi dan Pak Dadang yang aktivis PPI dan pelajar senior di kota kami. Mereka berdua mengatakan tidak apa-apa, lebih menyerahkan keputusan padaku dan menurut mereka memang demikian adanya orang Jepang menyamput kehadiran anak perempuan.

Anehnya, aku tetap tak merasa tenang.

"Haik, dekimashita !" kata Atsuko san, yang bangga bahwa ia telah selesai menata hadiahnya.

"Atsuko san, begini... suami saya sedang tidak ada sekarang... Bagaimana ya?" aku berusaha menjelaskan bahwa saat ini suamiku sedang tidak ada dan untuk menerima hadiah darinya sebaiknya aku mendengarkan pendapat suamiku dulu.

"Tidak apa-apa! Ini benar-benar tulus dari hati saya. Sekarang saya akan pergi, silahkan beristirahat kembali ... Ojamashimashita..." ujarnya ringan, lalu melangkah ke arah pintu.

Seperti terbius, aku membiarkan Atsuko san berlalu dan segera mengunci pintu dengan perasaan tak menentu. Setelahnya, rasa bersalah menghinggapiku.

Seharusnya aku tak membiarkan Atsuko san masuk dan menata hadiahnya, tapi memintanya untuk membawa pergi kembali. Dan boneka-boneka itu? Indah sekali memang, tapi kenapa aku malah jadi takut sekarang?

Bermunculan kembali berbagai kekhawatiran dalam hatiku. Ingatan bahwa dalam film misteri, ada boneka yang bisa bergerak pada saat-saat tertentu dan mencelakan orang lain menghantuiku.

Bagaimana kalau salah satu dari boneka ini juga ada apa-apanya ? Wuaa...!

Aku berharap suamiku segera pulang.

***

"Semua terjadi begitu saja dan aku penuh kebimbangan, sehingga beginilah jadinya.. Bagaimana dong...," aduku pada suami.

"Ya sudah tenang saja, orang memberi hadiah niatnya kan baik..." suamiku menjawab santai tapi kemudian terheran-heran mengamati perubahan suasana rumah kami karena adanya pajangan baru nan menyolok mata.

"Tapi... aku punya firasat agak aneh... Entahlah... Pertama, hadiah ini kan mahal sekali Da, kalau dirupiahkan bisa puluhan atau minimal belasan juta. Apakah anak kita pantas menerima hadiah semahal itu dari Atsuko san, walaupun bagusnya luar biasa? Kedua, aku mengingat kembali dari ceritanya sendiri ketika dulu kami sama-sama dirawat, Atsuko itu adalah seorang janda beranak satu dan hidup sehari-hari dari tunjangan pemerintah dengan semacam program asuransi. Jadi, mengherankan sekali kalau dia justru bisa menghamburkan uang hanya untuk memberi kita hadiah seperti sekarang ini... Ketiga, walau tadinya sempat bersyukur diberi hadiah bernuansa tradisional Jepang, aku malah jadi takut dengan kehadiran boneka-boneka itu... Disamping pernah melihat keanehan boneka misteri di film horor yang walau aku tahu itu hanya imajinasi pembuatnya, tetap saja aku ketakutan... Gawatnya lagi, kita tidak tahu apakah orang Jepang memakai boneka ini sebagai sesuatu yang disembah atau bagaimana..., Uda tahu?" kicauku panjang lebar.

"Jangan berprasangka buruk, apalagi pada orang yang berniat baik pada kita. Tapi... kalau justru membuat kebimbangan terlalu banyak seperti itu, kita kembalikan saja pada Atsuko san. Rasanya pernah baca, bahwa malaikat memang tidak menyukai rumah yang ada patung dan sebangsanya...," suamiku membantu memutuskan.

Ia kemudian asyik memperhatikan putri kami yang seolah berbicara dengan mulut mungilnya yang dimaju-mundurkan, atau menghadiahkan senyum yang sangat menggemaskan. Kaki kecilnya menendang-nendang dengan riang. Ia baru saja mandi dan minum susu.

"Benar Da, itu lebih baik. Walaupun ada bagian hati yang merasa sayang dan senang dengan keunikan dan kemegahan hadiah ini. Apalagi akan hebat sekali kalau nanti bisa kita bawa sampai pulang ke Indonesia. Tentu akan menjadi benda kenangan khas Jepang bagi anak kita.... Tapi tak apa, kita harus mengembalikannya..." jawabku yakin.

"OK!, Yokatta ne..."

"Tapi tunggu! Apakah Atsuko san nantinya tak akan tersinggung oleh penolakan kita? Bagaimana kalau dia marah, lalu meneror kita ? Bagaimana kalau penolakan kita justru akan mengancam keselamatan Jilannisa putri kita? Bagaimana kalau saat kita keluar rumah, ia akan menyerang kita? Atau keselamatan papa kalau akan pergi bekerja? Bukankah Atsuko san itu agak berbeda? Hari ini, dia nekat memanggilku lewat belakang!" mataku mulai menghangat.

"Hm..."

Suamiku tampak berfikir keras mendengar penuturan dan kecemasanku yang semakin menjadi. Ia mendekati dan menatap Jilannisa putri kami cukup lama. Ia cium kening gadis mungil itu perlahan. Jelas ia sangat terpengaruh dengan ucapanku.

Kehadiran seorang anak adalah anugrah terbesar dari Allah bagi rumah tangga kami. Amanah yang harus dijaga sepenuh jiwa. Meski tanpa pengalaman merawat bayi, bahu-membahu kami berdua berusaha memberikan yang terbaik bagi si buah hati. Siapa sangka ada kejadian seperti ini.

"Kita harus berdiskusi dengan Ogawa san," suamiku akhirnya bersuara.

Aku hanya mampu memandang suamiku.

"Besok pagi saja, sekarang sudah larut dan cuaca buruk, salju masih lebat sekali. Sini!" suamiku menenangkan dengan pelukan.

                                                        (bersambung)

Catatan:

Yokatta ne...! : Syukurlah ya...!

2 comments:

  1. wihhhh ga sabar baca terusannyaaaaa
    *meluncurrrr*

    ReplyDelete
  2. Mba Ari...! Salam Kangen... Semoga sehat dan sukses selalu ya...

    ReplyDelete