Wednesday, July 20, 2005

Hanya mama yang ada di hatinya





                   Rasa bersalah itu tak berhenti menghantuiku. Berawal dari “pertengkaran” tadi malam dengan Jilannisa, putriku semata wayang yang berumur tiga setengah tahun.Lebih tepatnya, kekurangsabaranku menghadapinya. Walaupun sebenarnya aku tahu bahwa ia hanya berusaha mencari perhatian lebih jika aku pulang kerumah terlalu malam, apalagi telah mendekati jam tidurnya, kali ini aku telah gagal mengendalikan diri dan terpancing. Setelahnya aku merasa terlalu lemah dan bersalah.


Sebenarnya, aku tidak membentaknya telalu keras, tidak pula sampai memukulnya, tetapi kata-kataku telah keluar dengan deras dan raut wajahku pun tentu telah mengeras, menyesali perbuatan ini dan itu yang dilakukanya. Tentu saja ia kecewa, seperti pula diriku pada saat yang bersamaan. Bahkan rasa kecewa bercampur sesal itu menjadi lebih hebat lagi sekarang. Tak ada habisnya kuberfikir dan menyesali. Kenapa aku tak bisa sabar hanya satu jam saja sebelum anakku tertidur ? Bagaimana kalau memorinya merekam terus peristiwa itu dan dimatanya aku ini adalah mama tidak perhatian padanya ? Bagaimana kalau aku terlanjur dicapnya sebagai mama yang pemarah ? Yang tidak mengerti dirinya ? Padahal aku telah terlalu banyak meninggalkannya di sekolah agar secepatnya bisa menyelesaikan sekolahku sendiri dan hanya bersama papanya dari pagi hingga malam, hampir setiap hari ? Bukankah setelah semua kenyataan ini berusaha diterimanya aku seharusnya menjadi lebih sabar, manis dan lemah lembut terhadapnya ? Kenapa aku tak mampu melakukan semua itu demi permata hatiku sendiri, hanya dimenit-menit terakhir sebelum mata indahnya terpejam direngkuh mimpi?


Kusadari bahwa setelah sekian jam berpisah, yang kami berdua ibu dan anak inginkan adalah pertemuan penuh kerinduan dan kebersamaan yang indah saja. Kenyataannya semua itu hanya terjadi pada tahap awal. Kejadian selanjutnya adalah bermunculannya aneka trik dari anakku untuk mengerjakan hal-hal yang tak kuperbolehkan lagi saat itu: menyalakan lagi televisi pada saat seharusnya ia pergi tidur, membawa beraneka mainan ke atas kasur, membaca atau minta dibacakan lagi buku cerita kesanyangannya, padahal lampu telah diredupkan. Pokoknya semua hal yang tak seharusnya lagi dilakukannya kecuali tidur, karena besoknya ia harus bangun pagi dengan jam tidur yang cukup. Yang lebih utama lagi adalah karena sebenarnya dia sudah sangat lelah dan mengantuk.


Rasa lelah dan kantuk yang juga mulai menyerangku, berbaur dengan kecemasan bahwa anakku akan semakin lelah dan tak cukup istirahat, telah membuatku kalap dengan mengeluarkan kata-kata yang mengalir deras bak air terjun. Isinya tentu saja adalah larangan, ancaman, dan ceramah singkat atas tindakan-tindakan ekstrimnya. Diakhiri dengan perintah agar dia menghentikan seketika semua aksinya yang tidak diperlukan saat itu. Dilengkapi dengan volume yang lebih tinggi dari biasa. Reaksi yang muncul, tentu saja tangisan yang pilu, hanya sesaat sebelum akhirnya ia tertidur dalam isak dipelukannku, yang membuatku semakin panik dan menyesal. Ya Ampun! kenapa anakku harus tidur setelah kumarahi dulu? Padahal, dengan segala keterbatasan waktuku, aku seharusnya tak pantas bersikap seperti ini, bukankah kami baru saja bertemu kembali satu jam yang lalu ? Kalau sudah begini, apakah cukup kata maafku baginya?


Sesungguhnyalah, aku amat sangat tak ingin ada kejadian seperti itu antara aku dan putriku. Orang lain mungkin akan menganggapku terlalu cengeng dan berlebihan dengan kecemasanku menyikapi hal ini. Tapi bagiku, anak dan keluarga adalah segalanya. Aku dan suami telah berfikir matang sebelum memutuskan memilikinya. Tuhanpun telah mengabulkan doa kami akan kehadiran seorang anak setelah kami merasa cukup siap lahir batin. Aku begitu mencintai, begitu ingin menjadi seorang ibu yang baik baginya. Kudambakan kehadiarannya dirahimku dengan persiapan akan waktu dan cinta. Kukandung ia dengan takjub, rasa sayang dan doa-doa dimalam sunyi saatku ingin berdekatan dengan sang MAHATINGGI. Kurindukan amat sangat pertemuan kami didunia barunya saat aku melahirkannya, yang entah pertemuan keberapa bagi kami karena selama ia didalam kandunganku kami telah terbiasa saling berbicara dengan bahasa sentuhan dan tepukan yang akan dibalasnya dengan tendangan berpola. Kususui ia dengan kasih dan ketakjuban akan karunia yang kuasa sehingga tubuhku dengan begitu anehnya menyesuaikan fungsi agar bisa menghidupinya. Kupeluk, kubelai, kubisikkan dengan penuh kasih; doa dan lagu pengantar tidurnya. Kucintai ia dengan segala rasa yang dianugrahkanNYA sambil senantiasa bersyukur akan cintaNYA.


Tapi sebagai anak maupun orang tua, kami punya berbagai keterbatasan, diantara tebaran kebahagiaan dan cinta yang dibawa anakku, ada saatnya ia menjadi cengeng atau memprlihatkan kenakalan yang biasanya aku sikapi dengan mencari tahu dari buku, teman dan gurunya, bagaimana menghadapi setiap proses perkembangannya dan variasi perlakunya dengan kecendrungan yang berbeda-beda, searah dengan pertambahan umurnya. Sejauh ini semua dapat berjalan dengan baik. Akupun menikmati semua proses yang ada sebagai sebuah karunia, dalam suka dan dukanya.


Tidak selamanya semua berjalan sesuai rencana. Apalagi dengan segala keterbatasanku saat ini dalam berinteraksi dengannya. Pertemuan kami yang mungkin hanya satu sampai dua jam sebelum dia jatuh tertidur, beberapa jam setelah bangun pagi, bahkan akhir-akhir ini tak sempat kubersamanya di hari libur sekalipun. Usahaku untuk secepatnya menyelesaikan program doctor di negeri sakura ini agaknya telah terlalu banyak menyita waktuku sebagai ibu.


Walaupun senantiasa dihantui perasaan bersalah karena keterbatasan waktuku untuk bersama Jilannisa, pengertian luarbiasa yang diberikan suami dan gadis kecilku ini, yang tampak bisa menerima keadaan kami untuk sementara ini, telah membuatku bertekat untuk menyelesaikan kuliah secepatnya. Tak sabar rasanya menunggu saat dimana aku akan bebas merdeka menumpahkan segala waktu dan cinta buat keluarga. Namun kendala selalu ada. Terutama disaat-saat aku lepas kendali seperti malam itu.


Tak hentinya aku menyalahkan diri. Kasihan sekali kau anakku, setelah berpisah sangat lama, ketika akhirnya dipenghujung malam kita bertemu, mama tak mampu pula bersikap sabar…, batinku sepanjang hari ini. Rasa sesalku tak kunjung hilang walaupun pada akhir pertengkaran tadi malam kami telah saling memaafkan, lalu berangkat tidur dengan saling berpelukan seperti biasa. Tidak juga karena tadi pagi kami telah kembali lebur dalam canda, pelukan dan ciuman, melihat lagi gelak tawanya yang lepas. Bahkan tak hilang juga ketika akhirnya kami harus berpisah lagi saat gadisku melambaikan tangan dengan ceria dipintu sekolahnya, sampai aku sudah harus bersiap pulang kerumah kembali malam ini. Ugh!…penyesalan yang panjang, untuk sebuah ketidaksabaran, pikirku akhirnya, menghentikan perenungan ini. Terngiang komentar suamiku tadi pagi yang sebelumnya kuharapkan akan sedikit membantu mengurangi sesalku. Tapi ternyata tidak menolong. Dia hanya memintaku untuk lebih menahan diri. Tentu saja, siapa yang tak ingin begitu!,


Menjelang pukul sembilan malam, saatnya pulang kerumah, dan memulihkan hubungan dengan gadisku. Dengan tidak sabar aku membuka jalur chating di komputerku, lalu menghubungi suamiku yang memang selalu meng-online-kan messengernya di rumah.


 “Buzz!”


“Papa, mama sudah bisa pulang, jemput pliz, mohon bantuan ya pa, kalau nanti Jilan macam-macam lagi, tolong diingatkan, biar tidak terlanjur marah lagi…, sedih deh kalau marah…sakit dan penuh penyesalan…”, tulisku minta bantuan.


“Mama, berusahalah lebih sabar menghadapi Jilannisa…, walaupun sepulang sekolah waktunya lebih banyak dihabiskan bersama papa, hanya mama yang ada dihatinya…”, balasnya. 


Memang ia sudah sejak lama tak habis pikir dengan sikap Jilannisa yang sangat dekat padaku, walaupun dengan intensitas pertemuan kami yang lebih sedikit dibandingkan dengannya. Biasanya aku akan menjawab sambil bercanda, karena sebenarnya akupun tak kalah heran namun amat bersyukur.  


“Mungkin aku bawaannya lebih ekspresif, sehingga Jilan dapat merasakan betapa besar perhatian dan sayangku padanya”, jelasku setiap suamiku keheranan.


“Tring..!”, suara ada pesan masuk tiba-tiba menghentikan lamunanku. Suamiku rupanya masih melanjutkan tulisannya.


“Dari tadi sore sepulang sekolah, Jilan bermain dengan sterika kecilnya, menyetrika dan melipat baju-bajunya yang baru diangkat dari jemuran, katanya dilakukannya untuk membantu mama. Saat dia menggambar dibukunya, gambar wajah mamalah yang dibuatnya. Ketika makan dengan lahap, dia bayangkan mama akan senang mengetahuinya. Ketika mandi, dia bilang akan menceritakan pada mama nanti. Dia juga sudah siap dengan hadiah buat mama sejak dari sekolahnya tadi. Cepatlah pulang, Jilan sudah memasang sendiri sepatunya, kelihatannya sudah tidak sabar ingin menjemput!. Kami tunggu di tempat parkir, 5 menit lagi!”.


Lambang sign out langsung muncul dilayar.


Aku terpaku. Ingin rasanya kumenangis… Gadisku, ia memikirkanku sepanjang hari. Aku sibuk menyesali diri sementara ia juga sibuk berfikir dan beraktifitas, yang semuanya dihubungkan dengan aku. Aku mencemaskan bagaimana kesannya akanku, sementara dia sibuk memikirkan pula perbuatan apa yang akan menyenangkannku. Ya Tuhan…!


Kubereskan perlengkapan kerja yang harus kusambung lagi dirumah setelah dua penghuni lainnya terlelap nanti. Yang aku inginkan saat ini hanya menemui putriku lalu memeluknya. Melepaskan kerinduan seperti telah bertahun-tahun tak bertemu. Rindu yang memang selalu terpelihara seperti itu karena sedikitnya waktu kami untuk bersama setiap hari.


Baru saja kubuka lapisan terakhir pintu gedung, Jilan yang rupanya telah turun dari mobil langsung menghambur kepelukanku.


“ Mama…aitakatta yoo…!(Mama…, aku kangen deh…!)” teriaknya, lalu memelukku rapat seperti biasanya.


Kubalas pelukannya, kuciumi wajah cantiknya sepuas hatiku. Ia menikamatinya, tertawa kesenangan. Apakah aku pernah bisa puas menciumimu anakku? Wangi shampo dan sabun mandi yang segar tercium semerbak dari tubuh gempalnya, pertanda ia telah dimandikan suamiku malam ini*, tentu dengan teramat sabar, mengimbangi keaktifan anak kami diantara kelelahannya sendiri oleh pekerjaan. Bahkan hari-hari belakangan ini suamiku terlihat telah “mampu” mengucir ekor kuda rambut panjang anakku. Pekerjaan yang tidak gampang bagi seorang ayah, yang biasanya sengaja kusempatkan dulu sebelum meninggalkan mereka di pagi hari. Kemajuan yang sangat melegakan bagiku. Tak bisa kubayangkan sendainya gadisku seharian bermain dengan papanya dihari libur, dengan rambut panjang dan kekusutan yang sama sejak ia bangun dari tidur.


“Wah…papa sekarang jadi pintar mengikat rambut Jilan, lihat!”, pujiku senang dan bangga. “Terimakasih ya…!” kataku tulus, melirik suamiku yang menunggu kami di belakang kemudinya. Ia membalasnya dengan mempermainkan mata, dikedip-kedipkan, ikut bangga rupanya.


Anakku mengendorkan pelukannya. Tangan kanannya yang sedari tadi memegang sebuah botol plastik, dan belum sempat kuperhatikan, di sodorkan kearahku.


“Apa ini sayang?” tanyaku sambil menatap dengan teliti botol itu.


“Hai !, presento !, mamano tameni motte kitta no… ! (Yop!, hadiah!, aku bawa khusus buat mama…!)” Jilan bicara sambil tersenyum dengan mata kejoranya, menatapku bangga.


Jilan memang punya kebiasaan memebawakan hadiah apa saja bagiku dan papanya. Biji-bijian atau daun-daun kering berwarna warni, ranting atau batu unik yang ditemukannya dalam kegiatan jalan-jalan pagi disekolahnya. Pokoknya ada saja yang menjadi hadiahnya. Tapi kali ini, hhmm…? kutatap botol plastik bekas yang didalamnya berisi pasir dengan agak bingung.


“Sebenarnya pasir itu tak boleh dibawa pulang, itu dari taman bermain sekolahnya, tapi Jilannisa bersikeras sehingga gurunya akhirnya mengizinkan !” suamiku akhirnya bersuara, melihat tanya dimataku.


“Saat papa menjemput ke sekolahnya, temannya Asami chan rupanya ingin melihat botol itu, tapi dengan tidak sengaja menumpahkan pasirnya sehingga berserakan di halaman sekolah”, tambahnya lagi.


Aku terdiam menatap suami dan anakku bergantian, menunggu.


Syo! Asami chan dame dayo!, mama ni presento agetain gga ya…! (Betul!, Asami chan nakal deh!, padahal ini kan hadiah buat mama…!)” anakku ikut menjelaskan dengan ekspresi marah bercampur mengadu. Bibir bawahnya dimonyongkan kedepan dengan uniknya. Aku ingin tersenyum melihat ekspresinya, juga mendengar logat daerah Kanazawanya yang kental. Tentu akibat pergaulan dengan teman-teman sekolahnya.


“Jilannisa tanpaknya marah dan sedih. Sambil menagis ia berusaha mengumpulkan lagi pasir yang bertebaran dihalaman itu sedikit demi sedikit, memasukkan kembali dengan susah payah ke mulut botol yang kecil itu. Papa yang tadinya ingin membantu malah ikut terkena marahnya, ia ingin melakukannya sendiri…!”.


Jilannisa menatap papanya dan aku bergantian seperti membenarkan.


“Gadis, sayang mama…” bisikku lirih.


Aku kaget, takjub, dan terharu membayangkan anakku telah bersusah payah mengumpulkan pasir-pasir yang berserakan di halaman dengan tangan-tangan kecilnya, hanya agar bisa membawa pulang hadiah yang sudah diniatkannya untukku. Aku, mamanya, yang tadi malam telah tega memarahinya hanya sesaat sebelum ia tertidur!.


Kupeluk anakku, kudekap sekuatnya, kukatakan betapa aku senang dengan hadiahnya. Jilan melepaskan diri dari dekapanku, menatapku lekat, lalu tersenyum teramat manis. Seperti ada rasa lega dimatanya… 


Adakah juga lega dimataku yang basah?




Kanazawa, 17 July 2005


Henny Herwina


***********************************


Catatan:


Kanazawa; nama kota setingkat kecamatan di Jepang


*= Kebiasaan mandi malam lebih umum daripada mandi pagi di Jepang, biasanya dengan berendam didalam bak mandi berisi air hangat.


(Kupersembah buat suamiku Edian Enif. Terimakasih atas limpahan pengertian, pengorbanan, kesabaran dan cintanya. Kamipun sangat mencintaimu papa…, sangat...., selalu...).



40 comments:

  1. huhuuhuu...terharu banget mbak bacanya, ngebayangin mbak mengetik journal ini sambil mencucurkan air mata...ihik...ihik....

    ReplyDelete
  2. Mbak Henny, jadi terharu nih..hiks..:(
    Saya kadang juga suka sedih kalo tiba-tiba volume suara lebih tinggi dari biasanya, jika Habibie menggigit kalo lagi nenen ASI...harusnya kan ditahan untuk menjaga perasaannya. trus dia akhirnya nangis dengan wajah yang sedih..jadilah ikutan nangis juga karena sakit plus liat wajahnya yang sedih..hiks..Cuma kadang anak-anak itu cepat sekali ya melupakan kesedihan, sebentar dia sedih, sebentar dia gembira...beda dengan kita yang sudah besar.
    Mudah2an Jilannisa menjadi anak sholehah...amin

    ReplyDelete
  3. Baiknya dirimu Titim, ikut memikirkan diriku...jadi terharu lagi...
    Kita ambil hikmahnya, Tuhan senantiasa membimbing kita dengan berbagai cara...
    Sendainya saja kita selalu mau menyadari, melihat, merasakan...
    Terimakasih sahabat...

    ReplyDelete
  4. Maaf mba Linda, jadi mengingatkan, saya juga dengar banyak cerita kesedihan para ibu setelah dengan terpaksa memarahi anaknya. Ketika mengalami sendiri, apalagi waktunya tidak tepat, ternyata berat sekali ya...
    Semoga kita senantiasa dibimbingNYA, dengan selalu bersamaNYA dalam melangkah. Amin...
    Salam sayang buat Habibie...Cup!

    ReplyDelete
  5. iya, terharu deh bu mbacanya...salam buat si kecil yaa

    ReplyDelete
  6. huhuhu...aku jadi kangen sama anakku di rumah...:(
    susah sekali ya menahan emosi setelah seharian berada di luar rumah, padahal justru karena itu kan harusnya kita bisa membuat pertemuan yang cuma berapa jam itu sangat berkualitas...

    ReplyDelete
  7. iya d sama! tapi sejurus kemudian aku slalu langsung minta maaf sama anaku! padahal kn dia baru 4 bln! gk ngerti kali: yg ada kalo aku suka ngobel ke dia krn rewel, dibalasnya dgn tertawa2! anyway, sabar kali ya kata kunci utk mengendalikan emosi, hny kitanya yg terkadang lupa atau terpancing! smg henny gk sedih lg d!

    ReplyDelete
  8. huhuhuhuhuhuhu.....
    terharu bangeeetttt....!!!!
    jadi seorang mama memang amazing banget ya....

    *hmm..hhmm.... kapan yah titin tiba gilirannya?

    ReplyDelete
  9. Sebagai Ibu, pasti dech aku juga terharu. Memang penyesalan selalu datang terlambat... Katanya sih gpp yang penting kita terus introspeksi. Paling enggak anak kita tau bahwa kita juga manusia, kadang kita juga nggak bisa nahan emosi.
    Selamet ya udah bisa melewatinya dengan baik. Salam cayang untuk Jilan.

    ReplyDelete
  10. didoakan dalam waktu yang terbaik menurut Allah ......... amiiiinnnn....
    semoga menurut Allah itu secepatnya........amiiiinn lagi....

    ReplyDelete
  11. Salam kembali buat Yusuf yang pintar...
    Thanks...

    ReplyDelete
  12. Benar mba Nisa, semoga kita senantiasa tabah dan sabar untuk mewujudkannya..Amin.
    Semoga bisa cepat pulang dan bisa memeluk sikecil yang nggemesin lagi ya...
    Salam cayang....

    ReplyDelete
  13. Tul mba, anak-anak biasanya cepat memberi maaf, mereka pemurah, saya jadi banyak belajar, kitalah seharusnya yang lebih bisa menahan diri...

    Nga..nga...sudah ngga sedih, makasih perhatiannya sahabat...

    Cu sayang buat sikecil yang pasti, lucu dn nggemesin ya...
    Baru 4 bulan? yang banyak minum cucu ya sayang....

    ReplyDelete
  14. Tul mba, anak-anak biasanya cepat memberi maaf, mereka pemurah, saya jadi banyak belajar, kitalah seharusnya yang lebih bisa menahan diri...

    Nga..nga...sudah ngga sedih, makasih perhatiannya sahabat...

    Cu sayang buat sikecil yang pasti, lucu dn nggemesin ya...
    Baru 4 bulan? yang banyak minum cucu ya sayang....

    ReplyDelete
  15. Kita bantu ngedoain ya...semoga segera, amin....
    Khan udah kangen buanget.....sama "pelangi" kun tea... he he

    ReplyDelete
  16. Kita bantu ngedoain ya...semoga segera, amin....
    Khan udah kangen buanget.....sama "pelangi" kun tea... he he

    ReplyDelete
  17. wah gilee.... saya ga sanggup baca ampe akhir mbak.. ini aja dah mo nangis rasanya. Tar ah diterusin lagi di rumah.. abis ini di kantor sih malu ma temen2

    ReplyDelete
  18. Ganbatte para Ibu...
    Sabar dan selau minta petunjukNYA.
    Masih pertanyaan apakah sebenarnya ini telah lewat, karena anak-anak punya memori yang kuat, semoga...akan menjadi lebih baik setelah ini...
    Salam sayang kembali...kiss buat anak-anak...

    ReplyDelete
  19. Mba Vera lembut sekali hatinya...kepanjangan kali mba ya...?
    Jadi kasian...jangan sampe saya membuat mba Vera malu sama teman-teman nih...he he

    ReplyDelete
  20. mataku jadiikut berair deh baca tulisanmu Mbak..yang tabah ya..kadang memang kita sebagai orang tua buat salah,tapi selalu ada kesempatan untuk memperbaikinya..
    salam buat Jilan dan suami..

    ReplyDelete
  21. Mba Vera lembut sekali hatinya...kepanjangan kali mba ya...?
    Jadi kasian...jangan sampe saya membuat mba Vera malu sama teman-teman nih...he he

    ReplyDelete
  22. Mba Dian yang baik...terharu dengan tulisanmu yang menghibur...
    Mark tentu bahagia mempunyai Ibu sepertimu...mba...
    Salam kembali buat sikecil dan papanya...

    ReplyDelete
  23. Mba Dian yang baik...terharu dengan tulisanmu yang menghibur...
    Mark tentu bahagia mempunyai Ibu sepertimu...mba...
    Salam kembali buat sikecil dan papanya...

    ReplyDelete
  24. hiks...hiks....hiks...terharu nih...
    Ibu juga manusia bisa khilaf juga...
    Salam tuk keluarga ya, Mbak!!

    ReplyDelete
  25. assalamu'alaikum mbak henny...

    subhanallah, bagus dan menyentuh mbak tulisannya. memang, ketika kita menulis sesuatu yg pernah dialami sendiri akan lebih terasa 'aura'nya...^_^
    salam sayang buat jilan-chan.....jangan nangis lagi ya..:)

    wassalam
    ulie

    ReplyDelete
  26. Senangnya mbak..bisa memeluk anak mbak tersayang...saya belum bisa memeluknya kembali sejak saya berangkat ke sini 13 September yang lalu...Saat itu dia berumur 16 bulan....Mungkin sekarang dia sudah melupakan saya....Ah.saya jadi makin kangen...

    ReplyDelete
  27. iya loh, saya juga merasakan begitu...
    ceritanya kok menggambarkan isi hatiku ya? hehehe
    (Ambopun acok manyasa kalo berang ka anak...)

    ReplyDelete
  28. Mungkin hampir semua ibu pernah mengalami hal seperti ini dalam kesehariannya, saya hanya sedang belajar mencoba meghadirkan dalam bentuk tulisan saja.
    Benar mba, kita bisa khilaf, tapi kalau bisa memilih, pengen diminimalkan ya he he
    Salam sayang kembali buatmu dan keluarga mba... Sekali lagi, tabah ya mba, soal yang wanita karir di jurnal mba itu...

    ReplyDelete
  29. Iya say, nanti saya sampaikan, ini dinihari, mereka berdua dah lelap saya bangun lagi, maksud hati mo belajarsich he he. Tapi kesini dulu ah..seperti biasa...menemui sahabat hati...
    Sekali lagi terimakaih hlo Mba...

    ReplyDelete
  30. Waalaikumsalam WW
    Mba Ulie yang penyiar kita bukan? maaf kalo salah, belum sempat ngintip rumahnya lagi ...
    Ngga kok mba, udah ngga nangis, duh, jadi malu hati.
    Kadang tapi nangis juga karena hal yang lain, saat presentasi ttg Aceh misalnya, tapi biasanya engga sendiri...
    Good luck dikerjaannya ya Mba...kapan-kapan pengen dengar suaranya, ntar kita crita-crita lagi ya...
    Salam, henny

    ReplyDelete
  31. Mba Nita...
    maafkan kalau cerita saya telah membuatmu jadi semakin sedih..., bukan maksud hati...suer!
    Ya Allah, betapa lemahnya saya berkeluh kesah tentang diri sendiri, sedangkan dirimu temanku yang jauh malah terpaksa terpisah dulu dari buah hati yang sedang lucu-lucunya.
    Tak sanggup saya berkata-kata, tapi saya dapat merasakan beban yang kaupikul teramat tidak ringan saudariku.
    Hanya kubantu dengan doa, semoga Tuhan memberimu kekuatan untuk menjalankan semua ini. Amin...
    Sering seringlah berbagi ya mba...saya akan senang mendengarkan, membaca goresanmu. Ah, sendainya saya mampu melakukan sesuatu untukmu...
    Sabar ya Mba Nita sayang...

    ReplyDelete
  32. Mba Dina bisa saja,
    Maap hlo, hatinya ikut tergambar..:)
    Namanya juga perempuan mba...kemana-mana juga...
    (Iyo, yo, sayangnyo panyasalan itu suko datangnyo kudian yo Uni, cubo sabalunnyo tantu lain jadinyo, jadi apo yo? he he)

    ReplyDelete
  33. Duh...Jilannisa kok kayak Jasmine yah...kalau habis dimarahin malah ngirim surat cinta "I love you Mom"...kan marahnya jadi kagok :).

    ReplyDelete
  34. Benar ya mba, kalau dia tahu kita marah beneran, bukan teguran biasa, langsung natap dan minta di peluk, hlo...? bener kagok...

    Wah...asyik ya kalau seperti Jasmine sudah pintar menulis, suatu hari pengen juga dapat surat cinta seperti itu..kapan ya...
    Maksudnya suratnya sajah, tanpa proses pendahuluan yang berat tea he he

    Salam sayang buat Jasmine yang jelita, pemenang Award disekolahnya...

    ReplyDelete
  35. hiks hiks....1000x :'(
    udah di baca cerpennya....eh bukan ding true story-nya mbak...
    jadi beneran terharu nih......habis ekspresif sih (siapa lagi kalo bukan mbak henny :p )
    kebayang ya susahnya bagi waktu buat keluarga....
    apalagi ngikutin jadwal "babe" kita yg "luar biasa" itu....
    kasian deh nisa....
    semoga mbak henny cepet lulus nih...amin amin...!!

    btw puresento-nya nisa dikoleksi gak?
    hehehe buat kenang2an ntar kalo pulang ke indonesia...
    n ntar kalo nisa dah gede bisa diceritain...dulu prakarya-nya kayak gini pas mamanya sekolah di jepun.....ii nee...

    ReplyDelete
  36. Wah arigatou nih, akhirnya mau baca juga, Jeng Indah adalah temen selabku nih temans, tapi karena sibuk bersama lalatnya, ya itu, baru sempat mampir kesini sekarang he he
    Makasih doanya tante Indah cayang...
    hari ini mau bikin PP presentasi, kan masih seminggu lagi, jangan ikutan stress buat aku ya...InyaAllah nanti lebih fokus menyiapkan ujiannya...

    Koleksi hadiahnya? ada-ada, simpai sinaide...
    btw, headshotnya tante indah keren deh, hidup suasananya, siapa dulu yang ngambilin fotonya he he
    (note: tante Indah yang paling depan, setelahnya tante Ida, lalu Jilannisa chan, trus tante Lina and Om Jonathan. Mama ? yang ngambilin foto, saat lagi pada nonton papa main bola di Ecology cup 2005-Osaka. demikianlah saudara-saudara, keterangan headshotnya Indah he he)

    ReplyDelete
  37. wah pengalaman yang menarik uni, nanti saya ceritakan lagi ke istri saya, biar jadi pengalaman bagi dia

    ReplyDelete
  38. yang ini juga uni. unik dan menggetarkan...
    hehe, maaf saya jadi ngubek lagi mp uni henny. inget deh ada banyak tema yang cocok buat akm sih ^-^

    ReplyDelete