Tuesday, April 28, 2009

Hina Ningyo (Hadiah untuk gadisku) 1

 “Jilan pasti lelah ya sayang? Mama juga Nak…,” ujarku pada gadis mungil yang tengah terlelap dalam pelukanku.

Tanpa mengharapkan reaksinya, pelan-pelan kubaringkan bayiku di atas futon yang terhampar di ruang keluarga lalu akupun ikut merebahkan diri di sampingnya. Nikmat sekali rasanya berbaring seperti ini karena aku agak kelelahan. Kami baru saja pulang dari rumah sakit untuk menjalani proses pemeriksaan ibu dan bayi (kuperkirakan merupakan prosedur wajib bagi ibu yang baru melahirkan) dengan Tango sensei, dokter yang membantu persalinan sebulan yang lalu. Janji pertemuan inipun telah dibuat sejak kami diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Walau sudah berangkat sejak pagi, menjalani segala prosesnya membuat kami akhirnya kembali ke rumah setelah menjelang sore seperti ini.

Amat kunikmati kenyamanan berada kembali di apartemen kami. Sebuah pemanas ruangan dengan bahan bakar minyak tanah di ruang keluarga sudah cukup memadai untuk melawan rendahnya suhu musim dingin di Kota Kanazawa, provinsi Ishilawa, daerah tempat kami bermukim sementara ini. Aku lega sekali melihat Jilan bisa tidur dengan nyaman sekarang setelah sejak pagi sampai sore ini ia tak pernah lepas dari gendonganku. Kupastikan ia merasa lebih baik kini sehingga akupun merasa tenang untuk sejenak beristirahat. Melalui kaca jendela yang berembun masih terpantau olehku salju yang  sedang turun dengan deras di luar sana.

“Ting Tong!”

Suara bel mengagetkan aku yang baru saja mencoba memejamkan mata.

“Tamu? Siapa ya...?” pikirku

Aku yang baru saja amat mensyukuri nikmatnya berbaring rasanya begitu enggan untuk melangkah ke pintu. Apalagi aku tak merasa punya janji dengan siapapun sore ini. Teman-temanku biasanya selalu mengabari dulu melalui telepon jika akan datang berkunjung. Suamikupun baru saja keluar untuk arbaitonya dan kalau tiba-tiba pulang, ia punya kuncinya sendiri.

“Paling-paling mereka…,” pikirku sambil membayangkan beberapa orang Jepang yang sering datang mengetuk pintu apartemenku untuk mensosialisasikan kepercayaan yang mereka sebut dengan Jehovah Witness.

Ugh…, aku tak ada waktu untuk melayani mereka atau bahkan untuk sekedar berbasa basi... Lebih baik aku diam saja aah…, sampai mereka pergi sendiri,” pikirku sambil kembali memejamkan mata.

Tapi perkiraanku meleset.

 Gomen kudasai...! Sumimasen…!” tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dari arah jendela.

Aneh dan menggagetkanku. Jendela itu posisinya di bagian belakang apartemen dan tak pernah ada orang lain yang datang dari arah itu, kecuali oya san untuk tujuan bersih-bersih. Sekitar dua meter dari jendela itu hanya ada tebing, lalu bukit kecil. Dengan cuaca seperti saat ini, pastinya salju tengah menumpuk dengan ketebalan puluhan sentimeter.

“ H a..i k?” aku terpaksa bersuara, dengan intonasi setengah menjawab dan setengah bertanya.

“ Henny san, Atsuko desu! Ojamashimasu…!”

“At...su...ko...?”

Aku berusaha memutar otak.

“Haik!, teman waktu kita sama-sama dirawat di Rumah Sakit Nasional Kanazawa! Tolong bukakan pintunya ya..., saya membawa sesuatu untuk bayimu!” jelasnya.

“Rumah sakit?, Ooh...? O, haaik..., Baiklah, Atsuko san sendirian kan? Dari depan saja ya...”, balasku setengah berteriak setelah berhasil mengingat bahwa Atsuko san adalah kenalan saat aku sempat dirawat di rumah sakit bagian penyakit dalam sekitar setahun yang lalu.

Kami dirawat dalam satu kamar bersama dengan dua orang lainnya. Aku masih ingat bahwa Atsuko san dibawa ke rumah sakit karena anaknya menemukannya dalam keadaan terluka di bagian kepala akibat pingsan mendadak di rumahnya. Sebelum ini, ia pernah datang berkunjung sekali.

Walaupun enggan menerima tamu dengan kondisi badan yang kurang fit begini, setengah terpaksa aku melangkah juga ke ruang depan. Saat kubukakan pintu, Atsuko san tengah berdiri dengan senyum lebar. Tubuh kurusnya dibalut mantel musim dingin berwarna coklat yang menjulur panjang sampai ke betis. Rambutnya yang juga panjang dan lurus tampak basah, menutupi sebahagian wajah putihnya yang tirus.

"Henny san, saya membawa hadiah buat bayimu, douzo!" kata Atsuko san sambil menunjuk dua buah kotak kertas di sampingnya.

"Hadiah? Bukankah Atsuko san sudah memberi hadiah di rumah sakit dulu? Itu sudah cukup, jangan merepotkan…tidak usah…!" ujarku, merasa tidak enak.

"Ayolah…Henny san, ini benar-benar dari hati saya. Saya tidak punya anak perempuan seperti anakmu, jadi saya senang sekali. Di Jepang, hadiah ini khusus diberikan untuk anak perempuan. Saya ingin menyambut kehadiran anak perempuanmu. Saya antar ke dalam saja ya?"

"Tapi…"

“Tak apa, biar saya jelaskan bagaimana memajangnya!" katanya melangkah masuk sambil mengangkat kotak besar yang tampaknya lumayan berat.

Aku ragu sesaat, tapi akhirnya tak tega melihat Atsuko san yang tengah menahan beban sambil menunggu persetujuanku.

"Yah…silahkan…," aku akhirnya membiarkannya mengangkat hadiah itu ke ruang tengah.

Sambil duduk menyusui Jilan yang terbangun, aku memperhatikan Atsuko san ketika ia mulai sibuk membuka hadiahnya. Ternyata ia membawa Hina Ningyo yaitu satu set boneka tradisional yang tersusun pada tatakan berupa tangga sedemikian rupa, kemudian di atas tangga tersebut dipajang beberapa boneka yang kelihatannya adalah raja, permaisuri, putri-putri dan pemain musik. Pakaian yang dikenakkan boneka itu adalah kimono yang didominasi warna merah dan keemasan. Semuanya dalam posisi duduk bersila. Di bagian paling kiri dan kanan masing-masingnya terdapat miniatur lampu lentera, bunga sakura dan persik. Beberapa benda tradisional lainnya tersebar sedemikian rupa di tangga paling bawah. Satu set boneka dengan segala atribut pendampingnya itu dilingkupi oleh semacam kotak kaca yang besar. Apik sekali.

(bersambung)

Catatan:

Sensei: panggilan untuk dokter, guru atau pakar dlam bidang tertentu

Futon: kasur khas jepang

Arbaito: kerja paruh waktu

Gomen kudasai, Sumimasen: Maaf, permisi (diucapkan saat memanggil tuan rumah ketika hendak bertamu)

Ojamashimasu: mengganggu sebentar, diucapkan ketika masuk rumah/ruangan orang untuk bertamu

Oya san: pemilik rumah

Douzo: silahkan

Hina Ningyo: Satu set boneka terdiri dari boneka kaisar, permaisuri, puteri istana (dayang-dayang), dan pemusik istana yang menggambarkan upacara perkawinan tradisional di Jepang. Dipajang disaat HinaMatsuri (Pestival Anak Perempuan), setiap tanggal 3 Maret.

 

4 comments:

  1. Mbak... saya pernah tau ada yg kayak boneka2 gini tapi isinya lebih banyak lagi orgnya sampe super gede banget kotaknya tu sama2 hina Ningyo juga y? emang klo di sana Hina Matsuri dirayain seperti apa ya? filosofinya Hina Ningyo?

    *maaf ya mbak tanya2.. just wanna know ajah ^_^*

    ReplyDelete
  2. Benar Mbak Dewi, ada yang lebih banyak lagi tingkatan tangganya, tambah lagi bonekanya (sampe lima tingkat). Kalo yang ini "versi simple"nya dan di kacain. Untuk yang besar biasanya tak berkaca, bisa di simpan dan disusun ulang lagi setiap merayakan Hina Matsuri. Ada yang lebih simple lagi, bonekanya hanya sepasang...

    Hinamatsuri (雛祭り, ひなまつり ?) atau Hina Matsuri adalah perayaan setiap tanggal 3 Maret di Jepang yang diadakan untuk mendoakan pertumbuhan anak perempuan. Keluarga yang memiliki anak perempuan memajang satu set boneka yang disebut hinaningyō (雛人形 ?, boneka festival).

    Satu set boneka terdiri dari boneka kaisar, permaisuri, puteri istana (dayang-dayang), dan pemusik istana yang menggambarkan upacara perkawinan tradisional di Jepang. Pakaian yang dikenakan boneka adalah kimono gaya zaman Heian. Perayaan ini sering disebut Festival Boneka atau Festival Anak Perempuan karena berawal permainan boneka di kalangan putri bangsawan yang disebut hiina asobi (bermain boneka puteri).

    Walaupun disebut matsuri, perayaan ini lebih merupakan acara keluarga di rumah, dan hanya dirayakan keluarga yang memiliki anak perempuan. Sebelum hari perayaan tiba, anak-anak membantu orang tua mengeluarkan boneka dari kotak penyimpanan untuk dipajang. Sehari sesudah Hinamatsuri, boneka harus segera disimpan karena dipercaya sudah menyerap roh-roh jahat dan nasib sial

    Hidangan istimewa untuk anak perempuan yang merayakan Hinamatsuri antara lain: kue hishimochi, kue hikigiri, makanan ringan hina arare, sup bening dari kaldu ikan tai atau kerang (hamaguri), serta chirashizushi. Minumannya adalah sake putih (shirozake) yang dibuat dari fermentasi beras ketan dengan mirin atau shōchū, dan kōji. Minuman lain yang disajikan adalah sake manis (amazake) yang dibuat dari ampas sake (sakekasu) yang diencerkan dengan air dan dimasak di atas api.

    Informasi di http://id.wikipedia.org/wiki/Hinamatsuri ini lumayan lengkap

    Salam Mbak Dewi....trims komennya ya...

    ReplyDelete
  3. kalau dimainin kayak barbie boleh gak yah?
    hihi gak usah dipajang mending dimaenin kan yah jilan?

    ReplyDelete
  4. Kalau yang pernah dibaca dr buku Halal dan Haramnya Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, boneka boleh buat mainan anak perempuan Ummu, bahkan yang berbentuk pengantin juga boleh. Kalau Hinan Ningyo memang lebih berat ke pemajangan ya Ummu ya? Simpai desune ne, chotto....

    ReplyDelete