Monday, June 22, 2009
Kopdar Padang (mba Seri dari Nipon)
Alhamdulillah, bisa ketemuan di darat, sebelumnya cuman di milis dan mp
Semoga senantiasa terjalin silatuirahmi yang indah ya Mbak Seri..Amin...
Sunday, June 7, 2009
Hubungan Tugas Sekolah Anak dan Orang Tua
“Ma, tolong Jilan dipebanyak lagi porsi latihannya untuk tulisan tegak bersambung dan pemakaian huruf besarnya di rumah ya Ma… Disekolah Jilan sering tak menyelesaikan PS dengan alasan susah dan capek…”, begitu isi sms dari Usatazah Mega.
“Hm..tampaknya ada masalah serius…” batinnya. Lanisa mengira-ngira di tengah rutinitas kerjanya yang padat. Ia adalah seorang wanita yang bekerja sebagai pengajar dan beberapa kegiatan terkait lainnya.
Lanisa gelisah. Ia yakin jika persoalan anaknya kali ini cukup serius. Jika perkara sederhana saja, ustadzahnya hanya perlu menuliskan pesan di buku penghubung orang tua dan guru yang selalu diperiksanya setiap hari. Baru kali ini ustazah Mega meng-sms-kan problem anaknya di sekolah. Ini berarti ustazahnya sudah hampir kehabisan akal mengarahkan Jilan.
”Jilan..., kenapa ya sayang....?”, Lanisa terus memikirkan anak perempuan semata wayangnya sambil jari-jarinya mulai menuliskan balasan sms untuk ustazah Mega.
”Ya Ustazah, baiklah, terima kasih...”, tulisnya sambil otaknya terus berputar-putar penuh tanya.
Hanya beberapa kata sederhana itu yang mampu ditulisnya karena ia sendiri tak habis pikir. Menurut pemikirannya, Jilan telah sering diberi pengertian tentang pentingnya segala bentuk proses belajar dan agar selalu patuh pada guru di sekolah. Berkomunikasi efektif versi tatap-menatap mata yang sering disarankan pakar komunikasipun telah dipraktekkan oleh Lanisa. Jilan biasanya berjanji akan menjadi lebih baik setelah percakapan mengenai sikapnya yang perlu dikoreksi. Tapi setelah itu, sikap santainya dapat segera kambuh lagi.
Yah, Jilan memang tak pernah dilaporkan telah mengganggu temannya atau melakukan kenakalan sejenis itu. Tapi kalau terlalu tak peduli dan santai, tentu bukanlah masalah ringan. Saking santainya Jilan, kalau ada teman yang mendapat hukuman dengan tidak boleh ikut belajar pada jam pelajaran tertentu, Jilan malah memilih ikut mendampingi temannya itu di luar kelas. Ah... Untuk kasus ini ustazahnyapun berkesimpulan, Jilan adalah anak yang punya rasa kesetiakawanan yang sangat tinggi, tapi salah tempat.
***
Dirumah, Lanisa masih terus kepikiran akan sms dari guru anaknya. Kalau melihat perkembangan aktifitasnnya, sejak balita Jilan memang lebih suka pada permainan atau kegiatan fisik. Ia seakan punya tenaga ekstra untuk aktifitas yang menantang olah tubuh. Berdiam diri terlalu lama di dalam ruangan membuatnya tak betah. Tapi sekarang ia sudah kelas 1 SD dan sifat ”mau yang enaknya saja” seharusnya tidak boleh dipertahankan. Ada aturan kegiatan sekolah yang harus pula diikuti.
Walaupun nilai rapor semester dan bulanan Jilan tergolong baik, Lanisa tak berhenti dilanda kebimbangan dengan perkembangan anaknya di sekolah. Dalam suatu diskusi langsung dengan wali kelas anaknya ketika menerima rapor bulanan beberapa waktu lalu, ia mendapat cerita bahwa Jilan terkesan merasa bangga kalau namanya termasuk di dalam ”daftar anak kudis (kurang displin) hari ini” yang ditulis guru di papan tulis.
***
”Pa, sepertinya mama telah mencoba mencari-cari penyebab keacuhan Jilan, tapi ndak ketemu juga...”, Lanisa mencoba berdiskusi dengan suaminya.
:
”Memangnya kenapa lagi?” suami Lanisa bertanya, sedangkan matanya masih pada koran yang tengah dibacanya.
”Yaa..., dia masih saja bersikap acuh dan tampak tak peduli kalau tidak menyelesaikan pekerjaan sekolah, sampai-sampai gurunya mengirim sms tadi! Kalo dipikir-pikir....mama-kan bukan tipe seperti itu dari kecil. Seingat mama, mama ini orangnya selalu patuh pada guru dan rajin mengerjakan tugas hlo... Jilan kok beda ya Pa?”.
”Jilan, papa bilang apa berkali-kali? Jangan bersikap acuh terhadap tugas dan perintah dari guru!..... Apalagi tidak menyelesaikan pekerjaan sekolah, tidak baik! Jilan akan sangat ketinggalan dari teman lainnya...!” suaminya menasehati anak mereka, alih-alih menjawab soal perbedaan Lanisa semasa kecil dengan anaknya.
”Iya Papa...”, Jilan yang tengah menonton acara kegemarannya di TV menoleh dan menjawab takzim. Tak ketinggalan pula wajahnya yang amat jelita menurut versi orangtuanya itu dihiasi dengan tatapan minta maaf yang meluluhkan hati. Jadinya Lanisa dan suaminya hanya mampu menatap prihatin pada putri mereka.
”Pa..., jangan-jangan... kelakukan anak kita ini ada unsur genetisnya hlo. Karena kalau upaya kita lebih kurang sudah cukup untuk pembinaan...Jangan-jangan dulu semasa sekolah, papa juga acuh dengan tugas dari guru...?” pancing Lanisa ketika mereka tinggal berdua di ruang keluarga.
”Woooo, kalo papa selalu menyelesaikan dan mengumpulkan tugas guru, nggak pernah nggaak laah..” jawab suaminya menonjolkan dada, senyumnya terkembang.
”Ah, yang benaar....? Waktu mama sekolah dulu, banyak sekali hlo... terutama anak laki-laki yang malas bikin tugas, apalagi prakarya dan sejenisnya....” kenang Lanisa sambil mengingat kalau ia sendiri selalu mendapat nilai tinggi karena selalu sungguh-sungguh mengerjakan tugas sekolah.
Lanisa menatap suaminya. Kali ini tatapannya lurus dan lama. Ia jadi semakin curiga, jangan-jangan memang sifat anaknya yang acuh dan santai itu diturunkan dari suaminya. Karena sikap dirinya ketika kecil ternyata tak membekas pada anaknya. Kalaupun benar, ia harus menerima kenyataan ini dengan lapang dada, dan tak berputus asa membimbing terus putrinya.
”Benar kok Ma!”, suaminya masih ngotot membela diri melihat Lanisa menatapnya terus.
”Ndak percaya! Wah iya...., sangat besar kemungkinannya sikap anak kita sekarang ini adalah turunan dari sifat dan sikap papa ketika sekolah dulu... Ayo ngaku ajaaaa! ” kejar Lanisa, semakin penasaran melihat gejala pembelaan diri suaminya.
”Ya...ndak tauuu....., tapi benar kok! Sungguh! Papa ini dulu selalu rajin mengumpulkan tugas....!”
”Yakiiin? Coba pikir lagi, ingat-ingat duluuu... Papa kan cerita sendiri waktu kecilnya dulu agak nakal, tetap saja suka mandi-mandi di sungai sembarang waktu walo sudah dilarang ortu... Katanya sampai kena hukum kurungan di dalam gudang beras segala...? Ayo.... ”, Lanisa menatap suaminya penuh arti.
”Yakin! Papa selalu mengumpulkan tugas, ndak pernah ndak! Tapi dulu itu...memang... kebanyakannya teman papa yang membuatkan...ehm...”
”NAH!, kaaaaaan...?
Dan bantalan kursipun berterbangan di rumah Lanisa.
Thursday, May 28, 2009
Menguji Wali Kelas
Ini hari yang istimewa bagiku karena ditugaskan sebagai penguji bagi wali kelasku ketika SMA dalam sebuah forum ilmiah. Alhamdulillah Ibu Yulnetti, guru wali kelasku di SMA 1 Payakumbuh (1989-1991) berhasil menyelesaikan sidang akhir beliau dalam mempertahankan tesis untuk meraih gelar Master Sains di Program Studi Pasca Sarjana Biologi UNAND siang tadi. Meskipun statusku sebagai penguji kali ini, posisi itu tak sedikitpun mengurangi rasa hormat dan sayangku pada Bu Neti. Aku tetap mengagumi beliau sebagaimana seorang murid mengagumi dan menghormati gurunya. Apalagi, diusia yang tidak muda lagi, disaat anak-anak beliau telah remaja, dengan penuh semangat beliau masih mau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Berkendara 2-3 jam antara Payakumbuh-Padang tak menyurutkan niat baiknya.
Bu Neti memang mengagumkan. Rasa percaya diri beliau yang tinggi tampak jelas sekali. Tegar dan selalu penuh senyum. Meskipun beberapa pertanyaan penguji tak terjawab tuntas, beliau tidak serta merta menyerah. Bahkan, ketika pimpinan sidang mencoba “menggoda” beliau beberapa saat sebelum hasil sidang diumumkan dengan mempermainkan kata seolah-olah beliau harus “mengulang lagi mendaftar…”, Ibu Neti masih menjawab dengan senyum bahwa beliaupun telah siap dengan hasil seperti itu. Siap juga mencari dana lagi untuk perpanjangan studi jika diperlukan (selain mengajar sebagai guru SMA, beliau juga berwiraswasta, berjualan di pasar dengan mobil). Tak mempan digoda, ketua sidang terpaksa menerangkan bahwa Ibu Neti “diminta mengulang lagi mendaftar… untuk ikut upacara wisuda!” he he he.
Semua terharu ketika Ibu Neti memberikan kesan dan ucapan terima kasih beliau pada pembimbing dan penguji. Pada pernyataan terakhir, beliau berterima kasih pula atas support dariku sambil berlinangan air mata haru. Padahal sejujurnya, partisipasiku dalam pendidikan S2 beliau di labku nyaris tak ada, tertutupi oleh kesibukanku sendiri. Paling-paling jika sempat berbincang saat berjumpa dalam waktu-waktu yang sempit, materinya lebih kepada keluarga dan nostalgia. Walaupun begitu, dari percakapan kami yang jarang sekali itu aku semakin tahu bahwa Ibu Neti adalah sosok bunda jelita yang selalu membimbing dan mengajar muridnya dengan lembut namun tetap tegas dan disiplin. Beliau termasuk guru yang menentang “sikap galak” dalam membina murid. Ini saaangat…. cocok sekali denganku.
Aku memang tak melihat perlunya bersikap keras dan berlebihan agar mahasiswa atau murid menyegani dan patuh pada kita, seperti pendapat yang dipaksakan orang-orang tertentu padaku. Sebagaimana sikap lembut Bu Neti padaku di SMA 1 dulu, sebagaimana sikap pak Intan dan Pak Soelaksono yang begitu memberi kepercayaan dan harapan besar padaku saat di ITB, sebagaimana Pak Dahelmi pembimbing skripsiku yang sangat yakin dan bangga pada kemampuan akademis dan prestasiku sejak aku masih S1, seperti itu pulalah aku memandang para mahasiswaku. Alih-alih bersikap galak dan seram, bagiku mahasiswa adalah sosok istimewa dan unik, yang perlu diajak bersahabat dan diberi kepercayaan bahwa mereka semua berpotensi dan punya harapan kedepan.
Berbekal sikap positif yang pernah aku terima dari para guru tercintaku selama ini termasuk Bu Neti, aku yakin sekali akan perlunya selalu bersikap positif terhadap orang lain. Sekali lagi kuingin mengucapkan selamat atas kelulusannya Bunda… Aku selalu bangga menjadi muridmu.
Saturday, May 23, 2009
Dijadikan tokoh fiksinya Fauzul Izmi (2)
DOSEN MULTITALENTA (II)
oleh: Fauzul Izmi
Ketika launching buku GANS (Getar Asa Negri Sakura) sekalian membedahnya beberapa bulan yang lalu di gedung Bagindo Aziz Chan Padang beliau jadi pembicaranya. Aku pun berusaha membantu mengangkatkan acara tersebut walaupun tidak maksimal.
Beliau terharu saat mengisahkan kehidupan sehari-hari mahasiswa muslim dan muslimah yang kuliah di Jepang. Beliau berusaha menggambarkan situasi orang muslim melaksanakan puasa, berjilbab, shalat ditengah ketidakpedulian orang Jepang terhadap agama. Sesaat kemudian beliau sesenggukan. Tak kuasa menahan tangis. Butiran bening itupun luruh menandakan betapa menggetarkan sekali kisah yang beliau alami. Setelah menghapusnya dengan sebuah sapu tangan, beliau kembali bercerita. Sementara hadirin semakin khusyuk mendengarkan. Sampai-sampai ada diantara mereka yang tak kuasa menahan tangis.
* * *
Aku menemui beliau menjelang pergi Silnas FLP ke Jakarta. Ada harapan agar beliau membantu memasukkan proposal kami ke instansi yang ada. Maklum beliau lebih banyak punya link dengan perusahaan atau pihak-pihak terkait. Di daerah kami sungguh sulit sekali mendapatkan dana untuk kegiatan organisasi. Hanya beberapa instansi yang mau membantu dan itupun ada juga birokrasinya yang berbelit-belit dan memakan waktu yang lama sampai dana turun. Kalaupun ada itupun tidak membantu banyak. Kami harus merogoh kocek dalam-dalam dari kantong sendiri. Kesabaran sebagai penulis benar-benar ditempa.
Handphoneku bergetar. Sebuah sms masuk. Dari Buk Henny rupanya. Segera kubuka.
“Assw. Kapan jadinya pergi silnas FLP di Jakarta? Ibuk mau membantu tapi tidak banyak. Mungkin hanya bisa untuk jajan di jalan. Silahkan datang besok ke gedung Rektorat. Ibuk tunggu! Wass
Membaca sms tersebut perasaanku tidak enak. Aku tidak ingin menyusahkan siapa-siapa. Tapi menolak pemberian itu juga bukan hal yang tepat. Pasti buk Henny akan kecewa, ujarku dalam hati. Setelah dipikir-pikir lagi karena dana yang juga kebetulan minim maka akupun memenuhi tawaran itu meski dengan hati yang gugup.
Esoknya aku langsung berangkat ke kampus dan menemuinya. Setelah berbincang-bincang beberapa menit, ia menyerahkan sebuah amplop.
“Ini sedikit dari Ibuk, jangan ditolak! Titip salam ya untuk teh Pipiet, mbak Helvy, Asma, FLP Jepang dan teman-teman FLP lainnya disana. Semoga acaranya sukses”, tambah beliau kemudian.
Sekali lagi aku terharu dibuatnya. Meskipun isi amplop itu tidak banyak tapi bagiku sebagai mahasiswa sudah sangat membantu selama perjalananku ke Jakarta. Baru kali ini seorang dosen memberikanku uang secara percuma. Baru kali ini aku melihat potret perjuangan seorang wanita lebih dekat. Tak kenal menyerah sebelum menggapai apa yang dicita-citakannya. Itulah Buk Henny. Dosen serba bisa yang telah menginspirasiku untuk terus menempa diri.
21 Agustus 2008
Pasar Baru, Padang
Fauzul Izmi kelahiran Bukittinggi, 23 November 1984. Saat ini menjabat sebagai Sekretaris Forum Lingkar Pena Sumatera Barat. Karya-karyanya sudah terbit di harian lokal Sumbar, majalah Islam SABILI, dan media kampus. Puisinya berjudul: Tadarus Hujan tergabung dalam Antologi Cerpen dan Puisi FLP Sumbar 2008. Selain itu pernah beberapa kali memenangkan lomba menulis tingkat daerah di kota Padang. Masih tercatat sebagai mahasiswa tingkat akhir di Fakultas Ekonomi Universitas Andalas Padang.
(tamat)
Dijadikan tokoh fiksinya Fauzul Izmi (1)
Melalui email, Fauzul mengirimkan karyanya yang lolos seleksi saat diperuntukkan dalam antologi bertemakan ahkwat padaku. Dijelaskan bahwa karya ini fiksi dan jika ada kesamaan nama dan tempat memang disengaja he he.
Aku terheran-heran dengan kemampuannya mengumpulkan data, me-review kebelakang. Hal yang dilebih-lebihkan olehnya, membuatku tersenyum-senyum sendiri..
Terlepas dari semua itu, tulisannya memaksaku untuk lebih berinstrospeksi. Semoga Fauzul dan adik-adik FLP Sumbar terus berkibar menebar karya bermakna. Amin...
DOSEN MULTITALENTA (I)
Oleh: Fauzul Izmi
Panas mentari tak lagi mencucuk hingga ubun-ubun. Awan gelap menggumpal di langit. Biasanya seusai kuliah aku menyempatkan diri untuk selalu hadir dalam setiap diskusi FLP unit yang diadakan setiap hari rabu pukul 16.00 di kampus Unand, Limau Manis Padang. Kadang peserta yang hadir membludak. Kadang yang hadir tidak sampai
Begitulah memang, selalu ada ujian yang datang terhadap organisasi kepenulisan ini. Meskipun begitu aku tidak ingin mengecewakan anggota FLP yang sudah bersusah payah pergi ke kampus untuk mengikuti diskusi rutin. Aku harus selalu datang karena sudah ditunjuk sebagai ketua unit kampus. Kalau aku tidak datang maka bisa dipastikan diskusi tidak akan jalan jika ikhwannya 1 orang dan akhwatnya 1 orang.
Segala upaya telah dilakukan untuk memberitahukan kepada mahasiswa agar mengikuti diskusi tersebut. Termasuk melalui sms, pamflet, dari mulut ke mulut, dan sebagainya. Sayang, hanya beberapa orang saja yang tetap konsisten. Yang lainnya jarang datang dan ada pula yang mundur tanpa berita seolah-olah diskusi adalah suatu hal yang paling menakutkan bagi mahasiswa. Begitulah kebiasaan kami di kampus. Ketika yang lain pulang kuliah kami tetap mengisi waktu sampai sore dengan mendiskusikan karya-karya yang ada. Berharap dari tangan-tangan kami akan lahir karya-karya yang mencerahkan ummat.
* * *
HP bututku menjerit beberapa kali. Lantunan ringtone Hai Mujahid Mudanya Izzis membangunkan tidur siangku. Sms Azwar masuk. Segera kubuka.
“Assw. Akhi, ada dosen UNAND Padang yang dulunya bergabung dengan FLP Jepang. Namanya buk Henny. Silahkan dihubungi. Mudah-mudahan beliau mau jadi pembina kita. Salam".
Beberapa saat kemudian kuterima nomor orang yang dimaksudkan. Segera kusimpan dalam memory card.
“Assalamu’alaikum. Ini dengan Ibuk Henny?" tanyaku setengah gugup
“Wa’alaikumsalam”
“Ya saya sendiri. Ini siapa?” balasnya kemudian
“Kami dari FLP Sumbar. Dapat nomor Ibuk dari Azwar. Beliau mengusulkan agar Ibuk menjadi pembina FLP Sumbar. Katanya Ibuk dulu tergabung dengan FLP Jepang. Bersediakah Ibuk jadi pembina kami?”
Entah shock atau apa, terdengar suara helaan nafas dari seberang
“Salam kenal untuk rekan-rekan FLP Sumbar ya. Saya baru disini dan tidak pantas menjadi pembina. He-he. Banyak yang lebih dalam ilmunya dari saya yang hanya lulusan Eksakta dan tidak mendalami bidang sastra. Yang lain saja. Nanti saya akan silaturrahim dengan rekan-rekan FLP Sumbar”, ujarnya ramah.
Sejak saat itu aku selalu mengajak beliau untuk mengikuti diskusi rutin FLP baik di unit kampus maupun di wilayah yang biasanya diadakan sekali dua minggu di taman budaya Sumatera Barat
Gayungpun bersambut. Beliaupun berjanji akan datang dalam diskusi sekalian ingin berkenalan dengan keluarga besar FLP Sumbar. Dalam ta’aruf singkat bertempat di sebuah mushola di Taman Budaya Sumatera Barat aku mulai mengenal sosok itu. Henny Herwina Hanif. Itu nama lengkapnya. Lahir di kota Payakumbuh 35 tahun yang lalu. Kuliah di jurusan biologi Unand Padang tahun 1991. Kemudian melanjutkan S2 di ITB dan S3 di sebuah Universitas Kanazawa Jepang. Aku pikir gelar beliau baru S1 atau S2. Sudah doktor ternyata. Dan hebatnya ketika lulus dari ITB IPKnya 3,83. Subhanallah!Puluhan peserta diskusi yang hadir waktu itu terkagum-kagum. Di akhir acara tersebut beliau menyerahkan buku berjudul Getar Asa Negri Sakura persembahan FLP Jepang.
Aku belajar banyak dari beliau yang biasa kupanggil buk Henny. Aku belajar tentang kerja keras, keuletan, kesabaran, keikhlasan, pantang menyerah dan lain sebagainya yang terlihat dari sikapnya. Menurutku ini tidak berlebih-lebihan karena aku sudah melihat dengan mata kepala sendiri. Ia adalah salah seorang akhwat yang mengabdikan hidupnya untuk orang banyak. Gigih berjuang dan terus menggali potensi yang dimiliki. Selain itu ia juga supel, dekat dengan siapapun apalagi dengan anak didiknya para mahasiswa.
Aku juga belajar kesederhanaan dari seorang doktor yang sudah merasa puas dengan handphone bermerek Nokia 3315 itu. Takjub!Ya, aku sangat takjub padanya. Disamping seorang dosen dan Ibu rumah tangga, ia juga seorang penulis, asisten Pembantu Rektor Unand, penyiar, presenter, MC, pemain film( pernah berakting dengan Gusti Randa). Semuanya dilakoni. Itu baru profesi yang ku ketahui. Mungkin ada lagi profesi yang lainnya.
Dengan kesibukan seperti itu beliau masih sempat untuk menulis dan menghasilkan goresan kata penuh hikmah dari setiap ujung jarinya. Beliau masih sempat menghasilkan tulisan untuk antologi kisah FLP Jepang berjudul Getar Asa Negri Sakura yang sangat mengharukan itu. Catatan cinta suami istri menyusul kemudian. Aku saja yang mengaku-ngaku sudah menulis di surat kabar harian daerah dan nasional sudah berbangga diri dengan prestasi kecil itu. Padahal masih banyak waktu yang kumiliki untuk mengasah kemampuan dan potensi diri yang ada untuk lebih baik lagi.
(bersambung)
Wednesday, April 29, 2009
Hina Ningyo (Hadiah untuk gadisku) 3
"Are? Korewa brando desyo...!" pekik Ogawa san tetangga kami terheran-heran, ketika aku sengaja menelepon dan memintanya datang ke apartemenku keesokan harinya.
Beliau lebih heran lagi ketika kujelaskan bahwa hadiah itu diberikan oleh orang Jepang kenalan kami ketika dulu sama-sama dirawat di rumah sakit.
"Aneh ya..., biasanya Hina Ningyo dibelikan oleh kakek dan nenek untuk cucu perempuannya. Lalu nanti orang tua si anak akan mengembalikan pemberian itu dalam bentuk lain, uang misalnya, secara berangsur-angsur...," jelasnya.
"Kami ingin mengembalikannya saja Ogawa san..."
"Hm...mungkin tak bisa lagi..."
"Begitukah? Kenapa? Kami sangat berterimakasih tapi tak dapat menerimanya karena..."
"Matte! Apakah Atsuko san itu, wanita yang beberapa hari lalu juga datang kesini saat saya dan anak saya Akiko san melihat bayimu?"
"Benar"
"Hmm... terus terang saya agak khawatir dengan kehadirannya di rumahmu saat itu. Ia tampak berani dan lancang. Masaka, ia mau mencoba menumpang menginap di rumahmu hanya gara-gara salju yang deras? Dia juga merokok dengan santainya sementara ada bayi dan rumahmu kecil begitu, benar-benar tidak pantas! Apa dia sering kesini ?"
"Hanya akhir-akhir ini, sudah dua kali sejak Jilan lahir... Kami juga agak kebingungan dengan kehadirannya yang tidak biasa Ogawa san, makanya kami ingin mengembalikan agar tak ada urusan lagi dengannya. Kami menghawatirkan anak kami..." aku menjelaskan dengan pedih, apalagi setelah mendengar pendapat tetanggaku ini.
"Saya sarankan, ceritakan saja pada senseimu, agar ia menyurati wanita itu secara baik-baik!"
Pada awalnya aku amat tidak enak hati untuk melibatkan Nakamura sensei Profesor pembimbingku, terutama karena masalahku kali ini bersifat pribadi, tak ada kaitannya dengan studiku di Universitas Kanazawa. Tapi karena merasa tak ada jalan lain, akhirnya aku menuruti saran Ogawa san. Nakamura sensei yang memang selalu sangat memperhatikan aku dan keluarga, kemudian meminta waktu untuk bertemu Ogawa san di rumahnya agar mendapat keterangan yang lebih detail. Hasil dari rembukan mereka, aku disarankan menyimpan saja Hina Ningyo di rumahku dan jika merasa takut boleh menutupnya dengan kain. Aku tak tahu apa yang ditulis Nakamura sensei dalam suratnya, tapi sejak saat itu Atsuko san tak pernah datang lagi.
***
Tiga setengah tahun kemudian.
Jilan putri kami tumbuh dengan sehat. Ia lucu dan ceria, menjadi tumpahan cinta dan harapan kami. Sejak usianya delapan bulan, saat aku ke kampus dan papanya bekerja, ia menghabiskan waktu bersama teman-teman dan para guru di Wakamatsu Hoikuen, semacam taman kanak-kanak yang lokasinya tak begitu jauh dari apartemen kami. Sampai telah duduk di kelas empat sekarang ini, ia sangat menyayangi teman dan gurunya. Seiring dengan rasa takjub dan syukur melihatnya tumbuh, terkadang aku jadi teringat pada Atsuko san. Mungkin, dia juga akan ikut bahagia melihat perkembangan gadisku kini. Namun keinginan untuk berhubungan dengannya kutahan kuat-kuat, mengingat pengalaman masa lalu yang agak tidak biasa. Semoga Allah memaafkan aku, yang masih khawatir untuk berinteraksi kembali dengannya.
Sejak Jilan mulai masuk Hoikuen banyak pengalaman berharga yang kudapat. Petunjuk praktis dalam membesarkan anak, maupun membenahi pengetahuan dan pemahaman keislamanku sendiri, terutama dalam menyesuaikan dan menyikapi berbagai kebiasaan dan budaya Jepang yang diterapkan di sekolahnya dengan tuntunan hidup dalam Islam. Perlahan tapi pasti, dengan lebih banyak belajar dari buku dan teman, aku dan keluarga senantiasa berusaha berjalan dalam alurNya.
Sampai pada suatu hari.
"Pa, kita harus melakukan sesuatu dengan Hina Ningyonya Jilan..." kataku pada suami.
"Maksud mama...?"
"Iya, mama diingatkan oleh teman. Kemaren kan Mbak Neny istrinya Pak Herri shalat di sini. Kehadiran boneka itu tampak mengganggunya..."
"Yaah, walaupun kita tak menjadikannya sebagai alat peribadatan, dan menurut Koji san teman kita Hina Ningyo tidak disembah orang Jepang, papa setuju, karena kita terus-menerus telah dibuat bimbang. Coba kita cari tambahan informasi di internet ya..." ujarnya sambil menuju komputer.
"Masalahnya, mau kita bagaimanakan? Tidak mungkin kita membuangnya di tempat sampah. Bagaimanapun, Atsuko san telah memberikannya untuk Jilan. Mama tidak tega Pa, benar-benar tidak tega! Karya seni sebagus ini... Terus terang mama ingin sekali membawanya ke Indonesia, tentu semua mata akan kagum memandangnya. .."
"Nah! Kalau begitu, kita memang harus mengatakan sayonara pada benda itu"
"Hlo?"
"Iya, ada unsur ingin pamer dalam hati Mama, bermegah-megah, itu dilarang dalam agama kita...!"
"Astagfirullah Al'aziim..., iya ya Pa...?"
"Yup! Nah..., ternyata orang Jepang percaya bahwa Hina Ningyo dapat menyerap roh jahat dan nasib sial!" seru suamiku setelah menemukan informasi dari internet.
"Ohh?...Astagfirullah..., gimana nih Pa? Kenapa kita baru mencari informasi lebih jauh tentang hal ini sekarang? Ya Allah, betapa lalainya kita..."
"Sudahlah... Sebaiknya kita memberikannya pada orang Jepang yang memang membutuhkannya. Hmm, mencari orang yang mau menerimanya pun tidak mudah... Coba saja tanya Jilan, temannya kan banyak satu sekolahan, siapa tahu ada yang mau dikasih!"
"Cerdas! Kenapa baru bilang sekarang Pa!" pekikku girang.
" JILANNISA... !!"
Jilan yang sedang asyik dengan boneka harimau Shimajironya terkaget-kaget mendengar mama dan papanya memanggilnya serempak dengan suara yang heboh.
"Haik? Mama, Papa, doshita no?" mata bolanya menatap heran.
"Begini sayang..., mama dan papa berencana memberikan Hina Ningyo Jilan itu kepada seseorang, sebab kita tidak dianjurkan untuk memilikinya. .. Bagaimana kira-kira Nak...? bujukku.
"Dame na no? Niku mitai no?"
"Iya, kalau daging yang dari sekolah tidak boleh kita makan karena hewannya tidak disembelih dengan menyebut nama Allah, tapi kalau yang mama beli dari Mushala boleh karena memotongnya sudah sesuai aturan agama... Begitu juga untuk memiliki benda-benda tertentu, ada yang tidak boleh juga sayang ..."
"Ii yoo!" jawabnya tersenyum.
"Tapi mama belum tahu, mau diberikan pada siapa... Kira-kira teman Jilan ada yang mau nggak ya?”
"Ettoo...," matanya menatap keatas, keningpun berkerut tanda berfikir.
Ah sayang, kamipun tak begitu berharap pada jawabanmu.
"Kasiin buat sekolah Jilan saja Ma, Pa!"
"Buat sekolah?" tanya papanya.
"So dayo! Sekolah Jilan kan punya Hina Ningyo, tapi sudah jelek karena furui, tidak secantik punya kita... Kalau lagi Hina Matsuri suka dipajang di ruang depan kan? "
"Wah, benar juga, usul yang hebat Nak! ujarku sambil meraih gadisku dan memeluknya kuat-kuat.
***
Hina Ningyo itu akhirnya kami serahkan ke sekolah Jilan setelah sebelumnya meminta persetujuan Kepala Sekolah. Meskipun heran, mereka dapat mengerti ketika dijelaskan bahwa kami tak memerlukannya karena tidak mempunyai tradisi merayakan pestival anak perempuan. Akhirnya pemberian Atsuko san bagi kelahiran Jilan mendapatkan tempatnya sendiri...
TAMAT
Kenangan menjadi bunda di negeri sakura, Wakamatsu Machi- Kanazawa, Maret 2005
Catatan:
Are? Korewa brando desyo...!: Wah, ini barang bermerek mahal hlo...!
Matte!: Tunggu!
Masaka: Masak sih
Doshita no?: Ada apa?
Dame? Niku mitai no?: Nggak boleh? Sama halnya dengan daging?
Ii yoo!: Iya ndak apa-apa!
So dayo!: Benar!
Furui: Tua
Hina Ningyo (Hadiah untuk gadisku) 2
Aku terkagum-kagum menyaksikan keindahan hadiah yang dibawa Atsuko san. Pajangan tradisional yang biasanya aku lihat mulai banyak dijual dan dipajang di supermarket pada setiap bulan Februari untuk nantinya akan digunakan saat pestival anak perempuan (Hina Matsuri) kini menyemarakkan apartemenku. Tak cukup hanya itu, dari kotak yang lebih kecil Atsuko san kemudian mengeluarkan semacam kotak musik yang bila diputar akan mengeluarkan alunan melodi lagu Hina Matsuri, yang merupakan lagu khusus untuk pestival tersebut. Terakhir, ia juga mengeluarkan semacam raket kayu ukuran besar yang hampir seluruh bagiannya dihias membentuk tubuh wanita berkimono tigaperempat badan.
"Aduuh…cantik luar biasa! Ruang keluargaku menjadi lebih semarak, dan… akan bagus sekali kalau nanti bisa dibawa pulang ke Indonesia…," bisik hatiku.
Jilan anakku mulai terlelap kembali. Sebaliknya, aku dilanda kebimbangan.
"Bagaimana orang Jepang memperlakukan Hina Ningyo ini? Apakah mereka mempecayai bahwa boneka ini dapat melakukan sesuatu...?" batinku.
Berbagai hal yang tak terpikirkan sebelumnya, tiba-tiba menjadi pusat kekhawatiran bagiku. Baru kusadari bahwa suamiku sedang tidak ada sehingga tak ada yang bisa diajak berdiskusi untuk menyikapi kejadian mendadak ini. Telepon genggamnya tak bisa kuhubungi. Kucoba menelepon Pak Edi dan Pak Dadang yang aktivis PPI dan pelajar senior di kota kami. Mereka berdua mengatakan tidak apa-apa, lebih menyerahkan keputusan padaku dan menurut mereka memang demikian adanya orang Jepang menyamput kehadiran anak perempuan.
Anehnya, aku tetap tak merasa tenang.
"Haik, dekimashita !" kata Atsuko san, yang bangga bahwa ia telah selesai menata hadiahnya.
"Atsuko san, begini... suami saya sedang tidak ada sekarang... Bagaimana ya?" aku berusaha menjelaskan bahwa saat ini suamiku sedang tidak ada dan untuk menerima hadiah darinya sebaiknya aku mendengarkan pendapat suamiku dulu.
"Tidak apa-apa! Ini benar-benar tulus dari hati saya. Sekarang saya akan pergi, silahkan beristirahat kembali ... Ojamashimashita..." ujarnya ringan, lalu melangkah ke arah pintu.
Seperti terbius, aku membiarkan Atsuko san berlalu dan segera mengunci pintu dengan perasaan tak menentu. Setelahnya, rasa bersalah menghinggapiku.
Seharusnya aku tak membiarkan Atsuko san masuk dan menata hadiahnya, tapi memintanya untuk membawa pergi kembali. Dan boneka-boneka itu? Indah sekali memang, tapi kenapa aku malah jadi takut sekarang?
Bermunculan kembali berbagai kekhawatiran dalam hatiku. Ingatan bahwa dalam film misteri, ada boneka yang bisa bergerak pada saat-saat tertentu dan mencelakan orang lain menghantuiku.
Bagaimana kalau salah satu dari boneka ini juga ada apa-apanya ? Wuaa...!
Aku berharap suamiku segera pulang.
***
"Semua terjadi begitu saja dan aku penuh kebimbangan, sehingga beginilah jadinya.. Bagaimana dong...," aduku pada suami.
"Ya sudah tenang saja, orang memberi hadiah niatnya kan baik..." suamiku menjawab santai tapi kemudian terheran-heran mengamati perubahan suasana rumah kami karena adanya pajangan baru nan menyolok mata.
"Tapi... aku punya firasat agak aneh... Entahlah... Pertama, hadiah ini kan mahal sekali Da, kalau dirupiahkan bisa puluhan atau minimal belasan juta. Apakah anak kita pantas menerima hadiah semahal itu dari Atsuko san, walaupun bagusnya luar biasa? Kedua, aku mengingat kembali dari ceritanya sendiri ketika dulu kami sama-sama dirawat, Atsuko itu adalah seorang janda beranak satu dan hidup sehari-hari dari tunjangan pemerintah dengan semacam program asuransi. Jadi, mengherankan sekali kalau dia justru bisa menghamburkan uang hanya untuk memberi kita hadiah seperti sekarang ini... Ketiga, walau tadinya sempat bersyukur diberi hadiah bernuansa tradisional Jepang, aku malah jadi takut dengan kehadiran boneka-boneka itu... Disamping pernah melihat keanehan boneka misteri di film horor yang walau aku tahu itu hanya imajinasi pembuatnya, tetap saja aku ketakutan... Gawatnya lagi, kita tidak tahu apakah orang Jepang memakai boneka ini sebagai sesuatu yang disembah atau bagaimana..., Uda tahu?" kicauku panjang lebar.
"Jangan berprasangka buruk, apalagi pada orang yang berniat baik pada kita. Tapi... kalau justru membuat kebimbangan terlalu banyak seperti itu, kita kembalikan saja pada Atsuko san. Rasanya pernah baca, bahwa malaikat memang tidak menyukai rumah yang ada patung dan sebangsanya...," suamiku membantu memutuskan.
Ia kemudian asyik memperhatikan putri kami yang seolah berbicara dengan mulut mungilnya yang dimaju-mundurkan, atau menghadiahkan senyum yang sangat menggemaskan. Kaki kecilnya menendang-nendang dengan riang. Ia baru saja mandi dan minum susu.
"Benar Da, itu lebih baik. Walaupun ada bagian hati yang merasa sayang dan senang dengan keunikan dan kemegahan hadiah ini. Apalagi akan hebat sekali kalau nanti bisa kita bawa sampai pulang ke Indonesia. Tentu akan menjadi benda kenangan khas Jepang bagi anak kita.... Tapi tak apa, kita harus mengembalikannya..." jawabku yakin.
"OK!, Yokatta ne..."
"Tapi tunggu! Apakah Atsuko san nantinya tak akan tersinggung oleh penolakan kita? Bagaimana kalau dia marah, lalu meneror kita ? Bagaimana kalau penolakan kita justru akan mengancam keselamatan Jilannisa putri kita? Bagaimana kalau saat kita keluar rumah, ia akan menyerang kita? Atau keselamatan papa kalau akan pergi bekerja? Bukankah Atsuko san itu agak berbeda? Hari ini, dia nekat memanggilku lewat belakang!" mataku mulai menghangat.
"Hm..."
Suamiku tampak berfikir keras mendengar penuturan dan kecemasanku yang semakin menjadi. Ia mendekati dan menatap Jilannisa putri kami cukup lama. Ia cium kening gadis mungil itu perlahan. Jelas ia sangat terpengaruh dengan ucapanku.
Kehadiran seorang anak adalah anugrah terbesar dari Allah bagi rumah tangga kami. Amanah yang harus dijaga sepenuh jiwa. Meski tanpa pengalaman merawat bayi, bahu-membahu kami berdua berusaha memberikan yang terbaik bagi si buah hati. Siapa sangka ada kejadian seperti ini.
"Kita harus berdiskusi dengan Ogawa san," suamiku akhirnya bersuara.
Aku hanya mampu memandang suamiku.
"Besok pagi saja, sekarang sudah larut dan cuaca buruk, salju masih lebat sekali. Sini!" suamiku menenangkan dengan pelukan.
(bersambung)
Catatan:
Yokatta ne...! : Syukurlah ya...!