Saturday, May 21, 2005

Surat Buat Sahabat Fahima



Assalamualaikum WW



Salam
hangat buat rekan Fahima semua, tanpa bisa


menyebutkan
satu persatu, baik buat rekan sesama


pendatang
baru maupun yang sudah senior namun dengan


kebaikan
hati mau kembali memperkenalkan diri.


Arigatou....



Mba
Nisa arigatou tanggapannya, secepatnya saya pengen


chat
nih kapan ya...




Ibu-ibu
semuanya makasih atas ketulusannya...




Mba
Neny, selamat Ultah buat Adil kun, semoga menjadi


anak
Sholeh...




Ijinkanlah
saya memperkenalkan diri lagi, saya diberi


nama
Henny Herwina, biasa dipanggil Henny, atau Neny


(dilingkungan
keluarga aja, baik juga sih supaya nggak


nabrak
sama Mba Neny (ummuqonita) he he).


Sekarang
lagi berusaha untuk menyelesaikan S3 di


Kanazawa
univ, Kanazawa, Ishikawa ken, Japan,  walau


sudah
molor setahun, alasannya, bejibun he he. Tinggal


bersama
seorang suami dan seorang gadis kecil,


Jilannisa
Hanifa, 3.3 th.




Sehungungan
dengan anak, dan juga bahan diskusi


belakangan
ini tentang wanita, saya punya pengalaman


menjadi
ibu sambil nyambi sekolah, apapun


namanya...n....yang
menyedihkan dan menyenangkan....




Seperti
kita tahu, kalau sekolah disini, kebanyakannya


tidak
cukup kalau di sekolah sampai sore, seringnya


sampai
malam, misalnya di lab saya, karena memang


sibuk
dan dicocokkan dengan jadwal Prof kita. Prof


saya
adalah orang yang super sibuk, karena juga aktif di


kegiatan
luar kampus yang dipimpinnya bersama


masyarakat
sekitar kampus, pokoknya diantara sesama


dosenpun
kayaknya termasuk yang top deh sibuknya.


Otomatis,
waktu full buat mahasiswa bagi beliau justru


Sabtu
dan Minggu, sehingga kamipun muridnya lebih


banyak
stand by di lab ketika orang lain pergi


berlibur.
Hiks...




Sebagai
seorang Ibu, hal ini menjadi masalah


tersendiri
bagi saya yang ingin sebanyak mungkin


mempunyai
waktu buat sikecil. Untunglah suami sangat


membantu
dengan pengertian dan kesediaan bersama


sikecil,
misalnya sekarang sehabis menjemput dari


sekolah/hoikuen
sore hari sampai saya pulang kerumah


malam
harinya. Ini memang sudah dibicarakan sebelum


kami
memutuskan mau punya bayi, 3 th setelah menikah


(sekarang
sudah 6 th red), alasannya, ya karena saya


harus
sekolah. Saya memang bukan tipe ambisius dikarir


saja,
tapi akan serius dan selalu ingin melakukan yg


terbaik
kalau punya tugas, sehingga saya berkeinginan


menyelesaikan
pula sekolah saya dengan ijin suami.


Terkadang
atau lebih tepat seringnya, sampai makan


malampun
suami hanya berdua anak saya yang balita.


Saya
sendiri hanya bisa menatap sedih dan terharu dari


laboratorium
ke layar komputer yang seringnya saya


pasangi
Webcam YM agar sikecil juga melihat saya dan


saya
juga melihatnya (Ngga bisa ngobrol karena comp.


di lab
saya YMnya ga punya fasilitas voice euy..).


Padahal,
saya percaya kalau hal terbaik yang bisa kita


berikan
bagi anak, apalagi saat balita adalah waktu


untuk
kebersamaan yang cukup dan kasih sayang orang


tua,
terutama Ibu.




Adalah
kesedihan yang mendalam bagi saya bahwa saya


hanya
bisa bermain dengan bidadari tercantik diistana


saya
dipagi hari sebelum dia ke hoikuen (sudah sekolah


sejak
masih bayi, umur 8 bulan) dan malam hari sebelum


tidur
akhir-akhir ini (ketika masih dibawah 2 th, saya


menjemputnya
dari hoikuen (mirip play group tapi juga


mirip
sekolah, banyak bermain, keterampilan olahraga,


persiapan
sampai masuk SD?) jam 3.30, makan malam


bersama,
memandikan, lalu terkadang ke lab./kampus


lagi
sampai lewat jam 10, dia sudah tertidur dengan


papanya.
Sejak masuk kelas 3, setahun yang lalu  dia


boleh
di hoikuen sampai jam 5, jadi suami yg


menjemput,
saya di lab terus sampai sekitar jam 7.30,


kadang
kurang, tapi seringnya  lebih dari itu(kalau


sensei
keluar kota saya suka cabut pulang agak sorean


dan
menjemput anak disekolahnya hi hi).




Pernah
suatu pagi, ketika anak saya berumur 1.5 tahun,


duduk
di kelas dua hoikuen, saya sedih sekali ketika


harus
menyerahkan anak saya ke senseinya (gurunya),


sebab
malam sebelumnya saya pulang jam 11 malam dan


tak
sempat menidurkannya, dia sudah tertidur kecapen.


Paginyapun,
hanya sekitar satu jam saya bisa bertemu


karena
sikecil baru bangun sekitar jam 8 pagi. Itupun


dengan
segala persiapan buat kesekolah bagi dia,


sebenarnya
tidak bisa main sih, karena saya selalu


cemas,
ga enak kalo telat..., walau seringnya telat


hu.....


Dalam
hati saya tak ingin dia sekolah hari itu, agar


bisa
bersama lebih lama, saya sangat ingin dan seperti


kehausan,
juga merasa sangat bersalah karena tak bisa


untuk
mengurusnya, memeluknya, menatapnya, atau hanya


ada
bersamanya (anak saya semata wayang, Jilannisa,


yang
sudah berkomunukasi dengan saya sejak di masih


didalam
perut ,  ketika kehamilan saya menginjak 5


bulan......yang
saya tunggu-tunggu kelahirannya dengan


tak
sabar...). tapi.... saya tak bisa, karena saya


harus
pergi sekolah juga hari itu . Ketika senseinya


bertanya
(mungkin saya keliahatan beda pagi itu?) dan


ketika
saya ceritakan perasaan saya, tangis saya tak


terbendung,
tergugu saya menumpahkan perasaan,


bagaimana
sebenarnya saya masih ingin bersama sikecil


sepanjang
hari, tapi hari itu saya tak bisa


meliburkannya...,
suami juga harus pergi bekerja...


Entahlah
bagaimana kesan sensei yg nihonjin itu pada


kecengengan
saya, tapi menurutnya saat itu di Jepang


sudah
tak banyak orang tua yg merasa seperti


saya...dia
bilang itu perasaan baik....Entahlah, saat


itu
saya hanya merasa saya dan anak saya sangat


malang....



Pada
saat seperti itulah saya merindukan ingin menjadi


ibu
rumah tangga full saja tanpa punya tugas-tugas


sekolah,
namun dalam waktu bersamaan saya berfikir


bahwa
saya sudah memulai sekolah sebelum punya anak


dan
harus siap dengan konsekwensinya.


Karenanya,
bersyukurlah rekan Fahima yg sebagian besar


ibu
rumah tangga penuh, punya seluruh waktu yang bisa


dicurahkan
bagi buah hati, suami dan segala urusan


rumah
tangga. Karena kesuksesan kita menjadi istri dan


Ibulah
justru yang akan menjadi ukuran ibadah kita


bagi
Allah, jika kita meniatkannya memang karena


Allah.



Satu
hal yang membuat saya terhibur dan bersyukur


tentang
anak saya adalah, bahwa dia menyukai sekolah,


guru
dan teman-temannya (mungkin karena sistim


pendidikan
sekolahnya juga bagus, kemudian dia punya


kegiatan
bermain yg terstruktur, yang tak bisa


didapatkannya
kalau dia tak sekolah, atau menurut saya


salah
satunya juga karena konsisi sebuah rumah di


Jepang
sini berbeda dari rumah kita di Ina, hanya ada


satu
pintu masuk didepan, jendela yang banyak malah


dibelakang,
juga ruang tamu, jadi anak tidak bisa


berinteraksi
dengan tetangga apalagi dengan anak


tetangga
untuk bermain secara alami seperti di


Indonesia
dulu sering saya lihat, kecuali kalau kita


bisa
menyempatkan waktu keluar rumah, taman, pusat


perbelanjaan
agak lebih sering).




Tetapi
dengan ijin Allah, berjalannya waktu dan saling


pengertian
antara kami bertiga, Alhamdulillah, gadis


saya
saat ini tumbuh menjadi anak yang percaya diri,


sehat
dan cerdas untuk usianya, dan tentu saja bagi


saya
adalah bunga tercantik di taman cinta dalam rumah


kami.
Sehingga walaupun pada awalnya saya tidak tega


untuk
"menyekolah bayi saya", dengan berbagai


kecemasan
seorang Ibu, setelah beberapa bulan, saya


mulai
lega dengan perkembangannya. Karena kami hanya


bertiga
disini dan saya baru pertamakali punya anak,


banyak
hal yang saya pelajari juga dari sensei/guru


bayi
saya, kapan harus diberi makanan padat, dan


ini-itu
yang kalau saya di Indonesia mungkin kita


dapat
dari orang tua, baca buku dll.




Undokai
(hari pertandingan olahraga, hapyokai ( hari


presentasi/
unjuk kebolehan diakhir tahun ajaran),


dll,
disekolahnya adalah hari bahagia bagi anak dan


orangtua.
Apalagi sekarang ketika gadis saya mau masuk


ke
kelas 4 hoikuen, April depan, saya bahkan sangat


menikmati
ketika harus menyiapkan segala perlengkapan


dan
seragam barunya, belanja ini itu, membayangkan


kegembiraannya
menjadi one-chan.(kakak/anak


perempuan)...bukan
kodomo lagi (bukan bayi lagi),


keinginannya
memiliki alat-alat yang lagi trend


seperti
punya temannya (jangan-jangan malah sangat


menimati
dari anak saya sendiri he he jangan sampai


..).



Dia
juga sangat dekat dengan saya, Ibunya, walaupun


sebenarnya
dia punya waktu lebih banyak dengan guru


dan
Ayahnya. Saya merasakan ini sebagai anugrah tak


terhingga
dari Allah, karena saya sangat mencemaskan


adanya
kelainan perkembangan jiwanya dengan kurangnya


waktunya
bersama saya, figur Ibu. Semoga perkiraan


saya
terhadap perkembangan psikologi anak saya ini


benar,
dan tidak ada efek yang justru muncul


dikemudian
hari.  Namun, bagaimanapun, saat ini saya


adalah
masih seorang Ibu yang selalu dahaga, tidak


pernah
puas dan selalu kangen secepatnya bertemu anak


saya,
walaupun hanya beberapa menit lebih cepat, saya


akan
sangat mensyukurinya. Ya Allah, bimbinglah


saya......Amin.....



Wah...akhirnya
jadi panjang gini, rekan Fahima, gomen


ne/maaf
ya, kepanjangan, semoga bisa jadi pertimbangan


bagi
yang masih single, masukan bagi yang


simpai/bingung
dan cemas ketika baru mau menyekolahkan


anak......



Yoroshiku
onegaishimasu.......




.

Henny,
Kanazawa




NB.
Buat rekan yang di Indonesia
atau tempat lain,


maaf
kalau keselip beberapa kata Jepang, saya usahakan


menulis
artinya juga tapi mungkin juga ada yang lupa




6 comments:

  1. pengalaman sekolah sambil membersarkan anak memang luar biasa. kebetulan saya punya pengalaman yg sama, sering meninggalkan anak karena kerjaan di lab yg banyak menyita waktu. mudah-mudahan sekolahnya cepat selesai mbak..dan bisa punya banyak waktu untuk bermain bersama si kecil..:)

    ReplyDelete
  2. Mba Amalia,
    thanks sudah berkunjung, terimakasih pula doanya...
    Mba udah kelar ya...bagi pengalaman ya...
    Salam untuk sikecil berdua...imut dan sehatnya....

    ReplyDelete
  3. assalamu alaikum, mba
    ini rieska-temen di fahima dan FLP
    baca tulisan ini kok kayaknya pas banget sama apa yang sedang saya pikirkan.
    kapan2, klo sempet tolong tulis/ceritakan yaa...apa kiat2nya saat harus menjalani double peran seperti itu (ibu/istri dan pelajar), terutama saat anaknya masih bayi/balita. makasih ya mbaa...eh uni :)
    wassalam,
    rieska

    ReplyDelete
  4. Waalaikumsalam...
    Eh, Mba Rieska...
    senangnya...
    bagaimana cilukba-nya?, ganbatte ne...
    BTW, invite dong plizz, tadi ngunjungin "risvya", kok nggak bisa diinvite...

    Oh iya, selamat dulu sudah jadi Ibu (kan baby udah jelas ada, jadi kalo menurut saya sih udah ibu, bukan calon lagi). Bahagia bukan? sudah bulan ke berapa mba..? saya juga sempat baca puisi di blognya, habis baca komen mba Ries to armanbelajar tentang ngebacain dongeng. Kalau ada waktu saya pengen ikutan bantu, seneng soalnya...
    Cuma belum pernah denger langsung, mba ulie dah janji mo ngasih denger rekaman, blum aja euy...
    Wah jadi ngelantur kemana-kemana, intinya saya ikut bahagia...dan salut...

    Menjadi Ibu dan belajar? memang tidak mudah, soal waktu terutama. Saya tidak punya dasar ilmu untuk membantu menceritakan hal yang terbaik yang bisa dilakukan, lebih kepada logika dan pengalaman saja mungkin bisa dicoba. Nanti kalau ada waktu saya coba menulisnya ya Mba... (kan baru belajar, kalo dicoba ketik disini langsung, ntar ngeditnya wah...)

    Luv
    Henny

    ReplyDelete
  5. Assalaa mualaikum wr wb
    Mbak Henny, salam kenal :)
    Membaca tulisan mbak yang ini, wah.. perjuangan yang berat. Dan alhamdulillaah, akhirnya bisa terlalui, selamat ya Mbak. Semoga Jilannisa tumbuh menjadi muslimah yang sholehah, dan semoga ilmu yang mbak Henny dapatkan bermanfaat dunia akhirat.. aamiin.
    Wassalam,
    ayu - toyohashi

    ReplyDelete
  6. Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh
    Ini pertama kali nulis saat baru gabung dimilis, terus kecurhatan he he

    Terimakasih komen, harapan dan doanya Mba Ayu....
    Semoga Mba Ayu sekeluarga juga selalu bahagia dan perjalanan hidup dimudahkan-Nya.
    Amin...
    Salam sayang untuk Dila...

    ReplyDelete